Mengapa Alasan Kita Tidak Permanen? (Bahasa Indonesia)
Kita semua memiliki alasan, pembenaran dan pikiran mengapa kita tidak bisa melakukan hal ini dan itu. Terkadang kita suka menggunakan alasan dan menjelaskan pada orang lain sampai kita merasa lawan bicara kita menganggap alasan kita masuk akal. Mereka mungkin percaya atau tidak percaya dengan keabsahan alasan kita, tetapi satu hal yang pasti, bila kita meyakini alasan kita, maka kita akan kalah. Kita akan tertinggal di belakang. Memang benar ada orang yang memiliki alasan yang valid, tetapi kita harus menyaring mana alasan yang nyata dan mana yang hanya dipersepsikan. Apapun alasannya, alasan tersebut dapat diubah. Karena karma tidaklah bersifat tetap. Karena sifat karma tidak tetap, maka hasilnya juga bisa berbeda bila kita menciptakan sebab yang baru. Kita perlu mengerti bahwa ‘validitas’ di belakang alasan pada akhirnya tidak mengandung eksistensi yang stabil/permanen atau nyata, karena bila tidak, ke-Buddha-an tidaklah mungkin. Jangankan ke-Buddha-an, bila alasan ini permanen, maka tidak akan ada perbaikan dalam kondisi sehari-hari di kehidupan sekuler kita. Semua hal mungkin terlihat solid, kekal dan permanen ketika kita duduk saja dan tidak berbuat apa-apa. Ketika kita melihat hari-hari kita, mungkin tidak banyak yang terjadi, tetapi ketika kita melihat sepuluh atau duapuluh tahun kebelakang, banyak hal yang telah terjadi dan berubah. Usia kita juga bertambah. Tidak ada hal yang tetap sama walaupun perubahan ini terjadi perlahan-lahan tanpa disadari.
Shantideva menyatakan bahwa alur pikiran kita tidaklah terbatas pada bentuk jasmani kita. Pikiran kita sebenarnya bebas dan tidak tergantung pada ada atau tidak adanya tubuh khususnya untuk makhluk di alam tanpa bentuk. Karena pikiran kita tidak semakin tua atau muda, ia tetap ‘konstan’. Karena pikiran kita konstan tanpa usia dan penuaan, pikiran kita bisa belajar, beradaptasi dan menyesuaikan bila memang itu pilihan kita. Karenanya, menggunakan alasan seperti saya terlalu tua, terlalu terbiasa, atau ini adalah kebiasaan saya benar-benar membuat perbaikan bagi hidup kita dan orang lain tidak memungkinkan. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, tidak ada hal yang permanen atau solid dan semua hal mengalami perubahan; bahkan pegunungan, ruang dan planet bumi kita juga mengalami perubahan. Bila benda ‘sesolid’ bumi berubah, mengapa kita tidak bisa mengubah batasan diri yang kita tetapkan sendiri bila kita menginginkannya? Tentu saja setiap hal bisa diubah. Tidak peduli dimana ruang tempat kita berada sekarang ini, setiap hal bisa diubah menjadi lebih baik karena pencerahan itu benar-benar ada. Bila kita tidak bisa berubah, maka kita menolak eksistensi para Buddha dan pencerahan mereka. Sebelum tercerahkan, para Buddha mengerti bahwa semua kondisi pikiran tidaklah kekal karena ketergantungan mereka pada faktor-faktor yang tidak permanen. Setelah faktor-faktor ini diubah, hasilnya juga turut berubah. Karenanya, dengan pengertian fundamental yaitu kebijaksanaan, mereka bisa berusaha mencapai pencerahan dan menjadi Buddha. Hal ini sama seperti kita dan semua makhluk. Bagaimana mungkin kita berlindung pada sesuatu (Buddha) yang kita tiadakan eksistensinya. Tentu saja sang Buddha tidak bisa ditiadakan, tetapi ketidaklogisan pikiran kita sangatlah jelas di sini.
Bila pikiran kita menua, maka ketika kita lahir di kehidupan ini, pikiran kita juga sudah tua, tidak bisa belajar dan beradaptasi. Tetapi kita mengetahui bahwa anak-anak cenderung lebih mudah beradaptasi dan berubah ketika masih kecil. Tetapi, anak-anak adalah produk dari kehidupan mereka terdahulu yang meninggal pada usia lanjut. Bila memang seperti ini adanya, bila kebanyakan dari kita meninggal dalam usia lanjut di kehidupan terdahulu dengan kebiasaan yang ‘solid’ dan sulit diubah, maka bagaimana mungkin kita bisa berubah pada saat lahir dan berusia muda lagi di kehidupan ini? Bila kita meninggal pada usia lanjut, kita juga harus kembali pada usia lanjut. Bila kita meninggal pada usia lanjut, bagaimana mungkin kita kembali dengan pikiran yang masih muda? Tidak logis. Karenanya, pikiran kita tidak mengenal usia. Terlepas dari muda atau tuanya tubuh kita, pikiran kita tetap sama. Memang benar, secara psikologi, usia kita bisa bertambah dan beberapa agregat melemah seperti penglihatan, pendengaran, dll., tetapi melemahnya agregat kita tidak menyebabkan melemahnya pikiran kita yang hanya terhubung dengan tubuh ini untuk sementara waktu dan bukan merupakan bagian darinya. Sederhana saja, bila pikiran kita menua, maka kita semua terlahir tua tanpa kemampuan beradaptasi, belajar dan bertumbuh. Beberapa orang berusia lanjut dan beberapa dari mereka yang masih relatif muda suka berkata bahwa mereka sudah terlalu tua/terbiasa untuk belajar ini dan itu. Maka bila mereka meninggal dunia, di kehidupan selanjutnya, apakah mereka juga terlalu tua untuk belajar? Bukankah hal ini tidak masuk akal? Karena tidak masuk akal, maka lebih logis meyakini bahwa pikiran kita tidak menua dan pikiran kita tidak mengenal usia dan tanpa batasan dari tubuh. Karena pikiran kita tidak terlalu tua atau terlalu terbiasa untuk mempelajari hal baru, maka berubahlah dan bertransformasilah. Bukankah kita harus segera melakukannya sebelum kita kehilangan lebih banyak kesempatan? Sebelum kita kehilangan lebih banyak sahabat sejati dan saudara/i spiritual? Betapa membebaskannya bila kita segera menerapkan logika ini.
Perasaan mendesak diperlukan untuk berubah. Urgensi adalah kesadaran mengenai sifat sebenarnya dari keberadaan – yaitu tidak ada hal yang kekal, dan kita berpegang pada kekekalan, kita menderita dan membuat orang lain menderita. Mungkin pernyataan ini terdengar sederhana, tetapi bila kita memikirkan lebih dalam dan bermeditasi mengenai perubahan dan bagaimana perubahan hidup kita disebabkan oleh rasa takut, kekawatiran dan perlawanan dalam beberapa kasus. Rasa takut akan perubahan tidak disebabkan oleh perubahan itu sendiri yang merupakan sifat dari semua fenomena, tetapi perlawanan kita terhadap kebenaran yang mutakhir – bahwa tidak ada yang kekal. Karena tidak ada hal yang kekal, bagaimana mungkin kita bisa mengandalkan sesuatu yang tidak permanen untuk memberikan KEBAHAGIAAN PERMANEN dan kedamaian pikiran? Ketidakkekalan tidak bisa membawa kekekalan adalah kebenaran yang perlu kita rangkul dan terapkan. Karenanya, tidak ada kebahagiaan kekal yang bisa didapat dari apapun yang kita yakini karena hal yang kita yakini tidak bersifat permanen. Tidak ada gunanya menjadi putus asa mengenai hal ini karena masalahnya adalah keinginan kita untuk mendapatkan solusi permanen dengan mengandalkan faktor-faktor tidak permanen adalah pelakunya. Ini adalah musuh kita yang sebenarnya, ‘mengandalkan hal tidak permanen’ adalah musuh yang sebenarnya. Musuh ini menyebabkan kita hidup dalam kondisi keberadaan yang membingungkan yang membawa pada keinginan akan kebahagiaan yang tidak kekal dan tidak pasti. Inilah sebab dari keberadaan kita dan juga lingkaran kelahiran kembali yang harus kita alami tanpa akhir. (Untuk referensi dan meditasi yang lebih ekstensif, kalian bisa merujuk pada karya tulis Lama Tsongkhapa dan Shantideva.)
Kurangnya urgensi dari sisi diri dikarenakan kurangnya pengetahuan. Tidak hanya pengetahuan biasa, tetapi pengetahuan akan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah pikiran yang membawa pada dihentikannya tindakan tak berguna dan hasilnya dalam jangka panjang. Ingatlah, akhir adalah awal baru dan awal baru akan menjadi akhir dan kemudian menjadi awal lagi dan seterusnya. Kita tidak boleh membatasi pertumbuhan spiritual kita atau perbaikan sebagai manusia dengan menyalahkan faktor-faktor yang dapat diubah. Semua faktor dapat diubah atau setidaknya lebih mudah bila kita memiliki tekad untuk berhasil. Memiliki kebijaksanaan di belakang perubahan mekanis dan bagaimana kita menggunakan ketidakkekalan sebagai inspirasi daripada sesuatu hal yang menjatuhkan akan sangat membedakan hasilnya. Hal ini seperti kesadaran instan yang membawa pada perbaikan instan dalam sikap kita sehari-hari.
Ketika kita ingin mencapai sesuatu, sangat penting untuk tidak mengeluh kepada orang lain, mengenai orang lain atau situasi kita. Simpati adalah hal yang baik, tetapi simpati juga bisa berubah atau membuat orang lain merasa jijik kepada kita. Khususnya, bila kita selalu menggunakannya sebagai alasan untuk gagal dan tidak melakukan sesuatu untuk berubah. Simpati itu seperti hutang, kita harus membayarnya kembali walaupun dalam jangka pendek kita menikmatinya. Tidak berbuat sesuatu mengenai situasi kita akan menjauhkan semakin banyak orang karena mereka kehabisan simpati ketika mereka mengetahui bahwa kita bisa berbuat sesuatu tetapi tidak melakukannya.
Setiap orang menyukai pemenang. Tidak ada yang menyukai pecundang khususnya bila orang tersebut memilih menjadi pecundang. Ini adalah fakta hidup terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak. Kita bisa pindah ke padang rumput yang ‘lebih hijau’ dan berharap simpati dari sekelompok orang akan berlangsung lebih lama karena keahlian kita dalam membangkitkan simpati meningkat, tetapi pada akhirnya kita harus percaya bahwa orang itu pandai dan akan mengetahui yang sebenarnya walaupun memakan waktu lebih lama. Kemudian, seperti pengelana, kita harus mencari padang rumput baru ketika simpati ini habis. Walaupun banyak padang rumput untuk dijelajahi, tentunya waktu kita akan habis dan kita kehilangan banyak kesempatan karena sibuk berpindah ke padang rumput yang baru.
Jadi tempat terbaik untuk berubah adalah tempat kita berada sekarang. Kita mengenal orang-orang di sekitar kita dan orang-orang di sekitar kita juga mengenal kita. Kita tidak perlu meningkatkan kewaspadaan ketika berada di tempat yang kita kenal dengan baik pada saat bertransformasi, sehingga kita bisa berfokus pada metamorfosis yang indah ini. Sudah pasti kita bisa berubah dan memberi inspirasi pada orang lain.
Sudah pasti kita bisa berubah dan menginspirasi orang lain ketika kita menerapkan informasi yang saya bagikan di sini. Simpati bisa menjadi sahabat atau lawan tergantung seberapa sering kita menggunakannya. Jadi lebih baik tidak usah menggunakan situasi untuk mencari simpati. Simpati bisa digunakan sebagai senjata penghancur massa. Mengapa? Dengan simpati, kita mencari alasan untuk tinggal dalam zona nyaman yang pada hakekatnya merusak diri, meminta orang lain ‘memaafkan’ ‘kesalahan’ yang kita buat berulang kali yang kita klaim sebagai kesalahan, atau memaafkan kesalahan kita yang disengaja tetapi disembunyikan dalam jubah ‘kesalahan’. Tetapi, bila mereka memang benar ‘kesalahan’, mengapa kita mengulangnya? Kesalahan dilakukan karena kebodohan, dan kita mengerti atau seperti yang telah ditunjukkan baik-baik oleh orang lain atau diri sendiri, kita harus berhenti melakukan kesalahan ini. Titik.
Pada akhirnya, pikiran kita tidak menua atau tidak terlalu terbiasa untuk bisa diubah. Kita bisa berubah kapan saja bila kita menyadari pikiran tidak mengenal waktu seperti yang dijelaskan oleh Sang Pertapa, Shantideva. Berlindunglah pada kebijaksanaan Shantideva yang didasari oleh ajaran sang Buddha dan bukan dari ‘kekekalan’ kebiasaan kita yang didasari oleh pandangan yang salah. Kebiasaan kita karena ‘usia’ atau zona nyaman berasal dari pandangan salah dan bisa diubah. Benar-benar sebuah kebebasan yang indah untuk menerapkan hal ini.
Tsem Rinpoche
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Biografi Singkat Tsem Rinpoche Dalam Foto (Bahasa Indonesia)
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- 35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
- Kyabje Zong Rinpoche: Kelahiran, Kematian & Bardo (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details