Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)

Jun 9, 2020 | Views: 8,150
Borobudur

Sebuah lukisan Borobudur, kompleks candi yang dibangun oleh Dinasti Shailendra. Sekarang menjadi lokasi wisata dan ziarah yang terkenal di dunia, dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Shailendra (yang dieja Sailendra, Syailendra atau Selendra) adalah turunan dari gabungan kata-kata Sanskerta ‘Śaila’ dan ‘Indra’ yang bermakna “Raja Pegunungan”. Dinasti Shailendra, yang muncul di Jawa (Indonesia) selama abad ke-8 Masehi, sangat dipengaruhi oleh budaya India dan memainkan peran penting dalam kebangkitan budaya di daerah tersebut. Sebagai penyebar Buddhisme Mahayana yang berkuasa, Shailendra membangun monumen Buddhis di seluruh Jawa Tengah. Salah satu monumen, yaitu stupa besar Borobudur, telah dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO dan merupakan salah satu situs paling populer di Jawa bagi para peziarah dan wisatawan saat ini.

The Indonesian archipelago in Southeast Asia, here highlighted in beige, consists of over 17,000 islands. Two of the largest ones are Java and Sumatra. At various points in history, the Shailendra Dynasty was the ruling family of the Medang Kingdom of Central Java and the Srivijaya Kingdom in Sumatra.

Kepulauan Indonesia di Asia Tenggara, di sini ditunjukkan dengan warna krem, terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Dua yang luasnya lebih besar adalah Jawa dan Sumatra. Di berbagai masa dalam sejarah, Dinasti Shailendra adalah keluarga penguasa Kerajaan Medang di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Klik untuk memperbesar.

Shailendra adalah para pelaut yang berkuasa di seantero samudra Asia Tenggara. Meskipun mereka adalah kerajaan maritim, Dinasti ini juga merupakan pembudidaya pertanian dan sangat bergantung pada pertanian padi di Dataran Kedu. Dataran Kedu, juga dikenal sebagai Lembah Sungai Progo, terletak di antara Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro di barat, serta Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di timur. Sekarang, lokasi ini berada di Kabupaten Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, Indonesia.

The Kedu Plain marked out on a map of Java Island, as it would have appeared during the time of the Medang Kingdom.

Dataran Kedu ditandai di peta Pulau Jawa, sebagaimana ketika masa Kerajaan Medang (abad ke-8 sampai 11 M). Klik untuk memperbesar.

Pada berbagai masa dalam sejarah, dinasti penguasa samudra ini rupanya berasal dari keluarga penguasa Kerajaan Medang di Jawa Tengah dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Pemain kunci dalam sejarah Shailendra meliputi:

  • Dapunta Selendra, pendiri Dinasti Shailendra
  • Sri Sanjaya (diperdebatkan; sebagai gantinya beberapa mengatakan bahwa ia adalah anggota Dinasti Sanjaya)
  • Rakai Panangkaran, penganut Buddhis (memerintah 760 – 775 M)
  • Dharanindra, Penakluk Musuh yang Gagah Berani (memerintah 775 – 800 M)
  • Samaratungga, pemersatu kerajaan (memerintah 812 – 833 M)
  • Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan (memerintah 840-an – 856 M)
  • Balaputradewa, donatur Universitas Nalanda (memerintah 860 -? CE)
  • Sri Kesari Warmadewa, keturunan Dinasti Shailendra yang menjadi penguasa di Bali (memerintah 882 – 914 M)
  • Maharaja Sanggrama Vijayatunggavarman, raja terakhir

Daftar ini sama sekali belum lengkap, juga belum terselesaikan karena banyaknya informasi tentang Dinasti Shailendra yang menjadi bahan perdebatan oleh para cendekiawan dan sejarawan. Sejarawan telah berusaha merekonstruksi daftar definitif dari penguasa Shailendra dan wilayah mereka, tetapi mereka belum dapat mencapai konsensus. Tantangan yang mereka hadapi meliputi:

  1. Kurangnya informasi. Informasi yang diperoleh dari prasasti seringkali sangat terbatas dan sulit untuk diuraikan.
  2. Shailendra tampaknya telah memerintah banyak kerajaan seperti Kalingga, Medang dan Sriwijaya, dan seringkali kerajaan dan tempat bertumpang tindih.
  3. Ejaan nama dan tempat juga sangat bervariasi, karena perbedaan bahasa, penggunaan julukan, pergolakan dan perubahan politik, fakta bahwa peristiwa ini telah terjadi begitu lama di masa lampau, dll.

Meski demikian, adanya daftar tentatif sebagai rujukan, berguna ketika mencoba memahami sejarah Shailendra yang luas beserta dampaknya terhadap wilayah kekuasaan dan agama Buddha.

 

Sumber Historis

Abhayagiri stone inscription (dated 792 CE). Click to enlarge.

Prasasti batu Abhayagiri (bertajuk tahun 792 M). Klik untuk memperbesar.

Sebagian besar informasi sejarah tentang Dinasti Shailendra dapat diperoleh dari prasasti batu yang ditemukan di Indonesia, semenanjung Melayu, sampai sejauh India, di mana ada sebutan historis dari Shailendra yang dieja dalam berbagai versi. Prasasti adalah ukiran tulisan pada sesuatu yang terbuat dari batu atau logam; salah satu contoh populer yang dikenal banyak orang adalah Batu Rosetta.

Prasasti-prasasti yang mendokumentasikan sejarah Shailendra sebagian besar merupakan piagam yang ditulis dalam berbagai bahasa seperti bahasa Sanskerta, Jawa Kuna, Bali Kuna, Melayu Tua, dan bahkan dalam bahasa Sunda Kuna. Prasasti ini menjadi dasar bagi dokumentasi kronologis sejarah Indonesia. Beberapa prasasti adalah salinan yang ditulis beberapa abad setelah penanggalan aslinya, sebagian besar selama periode Majapahit. Meskipun aslinya hilang, salinan umumnya dianggap membawa keakuratan historis dari aslinya.

Terlepas dari prasasti batu dan tembaga, ada juga teks-teks yang disusun di atas daun palem (dikenal sebagai lontar) ng telah ditemukan di Jawa, Bali dan Sunda. Teks-teks ini sebagian besar adalah tentang sejarah yang ditulis dengan gaya sastra klasik.

A palm leaf text manuscript from Indonesia

Naskah teks daun lontar dari Indonesia.

Sumber-sumber lain tentang Dinasti Shailendra berasal dari teks-teks Tiongkok, Muslim, dan India. Dari Tiongkok, Shailendra dirujuk dalam Catatan Kerajaan (Pen Chi), yang merupakan catatan terperinci tentang hadiah atau upeti yang diterima oleh Kaisar Tiongkok dari berbagai utusan asing. Pejabat Pengadilan Tiongkok mencatat nama raja beserta turunannya dan utusannya dari negeri asing, hadiah yang diterima, dan tanggal kapan diterima.

Sumber informasi lain dari Tiongkok adalah Sejarah Dinasti, di mana tertulis di pemberitahuan (Chuan) tentang catatan masing-masing negara. Pen Chi dan Chuan tidak saling berhubungan, maka dengan demikian memberikan akurasi catatan yang lebih besar akan peristiwa yang terjadi. Catatan Tiongkok memainkan peran penting dalam mencatat sejarah Indonesia, terutama selama periode sebelum abad ke-8 M ketika sebagian besar informasi sejarah tentang Jawa dan Bali dapat terlacak asal-usulnya di catatan Tiongkok ini.

Berbeda dengan orang Tiongkok yang mencatat peristiwa, catatan Muslim (kebanyakan dalam bahasa Persia dan Arab) sering ditulis oleh pelancong dan geografer yang lebih tertarik pada ciri-ciri negara daripada kejadian yang didokumentasikan. Dengan demikian, catatan-catatan ini memberikan perspektif yang berbeda tentang tanah air Indonesia kuno.

Dari India, prasasti tembaga memberikan informasi penting tentang Jawa dan Sumatra dari abad ke-9 M hingga abad ke-11 M. Naskah-naskah awal yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dan Pali, juga ada sejak masa awal Masehi; yang menyebutkan berbagai bagian dari kepulauan Indonesia, menunjukkan bahwa India mengenal mereka dengan baik.

Claudius Ptolemaeus (sekitar 100 - 170 CE)

Ahli Geografi Yunani Claudius Ptolemy (sekitar 100 – 170 M). Klik untuk memperbesar.

Beberapa dokumen dari Kamboja dan Vietnam memberikan sedikit informasi namun penting tentang Indonesia zaman dahulu dan akhirnya, beberapa sumber Yunani, seperti dari geografi Claudius Ptolemy (juga dikenal sebagai Klaudius Ptolemaeus; s. 100 – 170 M), juga menyebutkan beberapa nama tempat di Indonesia.

Selain dari sumber-sumber informasi asing di atas, masih ada banyak prasasti dan dokumen sejarah yang belum diuraikan dan diterjemahkan, seperti prasasti batu yang ditemukan di Sumatra yang masih sebagian dalam penerjemahannya. Tidak ada keraguan bahwa kekayaan sejarah Indonesia akan terungkap lebih jauh jikalau lebih banyak sejarawan dan pemerintah Indonesia mengambil peran yang lebih besar dalam proses penerjemahan.

Dinasti Shailendra merupakan masa yang penuh keagungan dalam sejarah Indonesia, ketika dengan gaya pelautnya menaklukkan sebagian besar kepulauan Indonesia dan memperluas perdagangan serta hubungan bilateral ke India, Tiongkok, dan Asia Tenggara. Dalam prediksinya, Raja Sri Sanjaya meminta pewaris tahtanya, Rakai Panangkaran (yang juga dikenal sebagai Rakai Panaraban), untuk memeluk Buddhisme Mahayana, yang berdampak lestari selama periode pemerintahan Dinasti Shailendra dan seterusnya. Selama masa ini, Dinasti Shailendra mendirikan banyak situs sakral dan bersejarah, seperti kompleks Candi Borobudur, sekaligus menghasilkan banyak artefak relijius.

 

Prasasti Batu

Menurut prasasti batu yang diketemukan di Sumatra, Dinasti Shailendra kemungkinan telah memerintah Kerajaan Medang di Jawa Tengah, serta Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Shailendra membuat prasasti batu menggunakan tiga bahasa: Jawa Kuna, Melayu Tua dan Sanskerta, baik dalam aksara Kawi atau skrip pra-Nāgarī.

Penggunaan berbagai bahasa ini telah memunculkan spekulasi tentang kemungkinan asal usul Shailendra. Penggunaan bahasa Jawa Kuna tampaknya menunjukkan bahwa kedudukan politisnya ada di tanah Jawa, sedangkan penggunaan bahasa Melayu Tua tampaknya menempatkan asal mereka di Sumatra; sementara itu, penggunaan bahasa Sanskerta sangat menunjukkan sifat resmi dan/atau religius dari peristiwa yang digambarkan prasasti batu tersebut.

Sojomerto inscription (dated 725 CE). Click to enlarge.

Prasasti Sojomerto (bertajuk tahun 725 M). Klik untuk memperbesar.

Prasasti Sojomerto (sekitar 725 M) yang ditemukan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, bertuliskan ‘Dapunta Selendra’ dan ‘Selendranamah’. Nama ‘Selendra’, ejaan lain dari ‘Shailendra’, menunjukkan bahwa Dapunta Selendra bisa jadi adalah pendiri Shailendra di Jawa Tengah. Prasasti itu menunjukkan bahwa keluarga tersebut pada awalnya adalah penganut Hindu Saiwa, salah satu aliran utama dalam tradisi Hindu dengan Siwa sebagai pujaan dewa utama mereka. Praktek ini terlaksana sebelum memeluk Buddhisme Mahayana.

Prasasti Kalasan (sekitar 778 M) adalah prasasti paling awal yang ditemukan di Jawa Tengah. Dengan menyebut Shailendra sebagai ‘Śailēndravamśatilaka ’, kita berkenalan dengan Rakai Panangkaran, penguasa yang memperingati peresmian Candi Kalasan (atau Kuil Kalasan), sebuah candi Buddhis yang didedikasikan untuk Dewi Tara.

Prasasti Kelurak (sekitar 782 M) dan prasasti Karangtengah yang kemudian (sekitar 824 M) juga menyebutkan nama ‘Śailēndravamśatilaka’.

Prasasti Ligor (juga dikenal sebagai prasasti Chaiya; sekitar 775 M), yang ditemukan di semenanjung Melayu, dan prasasti Nalanda (sekitar 860 M), yang ditemukan di India, termaktub di dalamnya tulisan nama ‘Shailendra’. Isinya menunjukkan adanya kemungkinan Rakai Panangkaran sebagai pembuat prasasti Ligor dan penakluk Kerajaan Sriwijaya, yang berbasis di Sumatra tetapi berpengaruh pada sebagian besar Asia Tenggara.

 

Kemungkinan Asal Muasal Dinasti Shailendra

Kembali ke Tab

Kemungkinan Asal Muasal Dinasti Shailendra

Kedu Plain, Central Java

Dataran Kedu di Pulau Jawa

Asal usul Shailendra yang sebenarnya merupakan suatu topik perdebatan, meskipun telah diketahui bahwa kemunculan mereka berasal dari Dataran Kedu di Jawa Tengah. Ada pendapat bahwa mereka berasal dari Sumatra, India atau bahkan Kamboja. Namun, penelitian baru-baru ini mendukung kemungkinan bahwa Dinasti Shailendra berasal dari Jawa, terlepas dari hubungan kuat mereka dengan semenanjung Thailand-Melayu dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

 

India

Bahwa Shailendra awalnya berasal dari Kalingga di India Timur pertama kali digagas oleh Dr Ramesh Chandra Majumdar, seorang sarjana India yang menulis 11 volume Sejarah dan Budaya Rakyat India, yang membahas Periode Weda hingga tahun 1955. Ia menyusun ini setelah 26 tahun pembelajaran, penelitian, dan suntingan.

The Indian Historian, Dr Ramesh Chandra Majumdar

Sejarawan India Dr Ramesh Chandra Majumdar

Klaim Dr Majumdar juga sama dengan Nilakanta Sastri, seorang sejarawan terkenal di India Selatan, dan J.L. Moens, seorang pakar otodidak dari Belanda yang juga pemerhati ikonografi artefak sejarah Hindu-Jawa. Moens menjelaskan bagaimana Shailendra berasal dari India dan menetap di Palembang, Indonesia. Di kemudian hari, dengan kedatangan Dapunta Hyang Sri Jayanasa dari Sriwijaya pada 683 M, Shailendra dipaksa oleh Dapunta Hyang dan pasukannya untuk bermigrasi ke Jawa.

 

Kamboja

Teori lain, yang diajukan oleh cendekiawan Prancis George Cœdès, mengklaim adanya hubungan antara Shailendra dengan Kerajaan Funan di Kamboja, yang meyakini hubungan itu terletak pada kesamaan dalam nama-nama mereka.

Nama ‘Shailendra’ adalah turunan dari kata-kata Sanskerta ‘Śaila’ dan ‘Indra’. Ketika digabungkan, arti namanya adalah ‘Raja Gunung’. Menurut Cœdès, para penguasa Funan dirujuk dengan gelar yang mirip yaitu ‘Tuan Gunung’. Namun, banyak spesialis sejarah Kamboja menolak teori ini, karena tidak ada bukti historis gelar tersebut dipergunakan pada masa periode Funan.

 

Jawa, Indonesia

Teori saingan lainnya menempatkan Shailendra sebagai dinasti Jawa asli, dengan Dinasti Sanjaya sebagai percabangan dari Shailendra. Ini bermula dari anggapan bahwa Raja Sri Sanjaya dan anak-anaknya adalah anggota keluarga Shailendra, yang semula adalah penguasa Saiwa di Kerajaan Medang. Lewat Rakai Panangkaran yang beralih memeluk Buddhisme Mahayana, Shailendra menjadi terhubung dengan agama Buddha.

The 16th century manuscript of Carita Parahyangan

Naskah Abad ke-16 M, Carita Parahyangan

Dituliskan dalam Carita Parahyangan, manuskrip abad ke-16 M, sebuah kisah tentang Raja Sri Sanjaya yang sakit-sakitan menuruti sentimen masyarakat atas pilihan mereka akan agama Buddha yang cinta damai, daripada Siwa yang ditakuti yang disembah oleh keluarga kerajaan. Raja Sri Sanjaya memerintahkan putranya untuk masuk agama Buddha. Prasasti Raja Sankhara juga rupanya menjelaskan peralihan Panangkaran memeluk agama Buddha karena ketakutan rakyatnya terhadap keyakinannya pada Siwa. Sayangnya, prasasti Raja Sankhara telah hilang sehingga ini tidak dapat dikonfirmasi.

 

Kerajaan Sriwijaya (Sumatra, Indonesia)

Beberapa cendekiawan mengklaim bahwa kerajaan Buddhis Sriwijaya terlibat dalam kemunculan Dinasti Shailendra. Klaim-klaim ini menekankan hubungan dalam lindungan Buddhisme Mahayana dan pernikahan silang antara kaum Shailendra dan Sriwijaya, sebagaimana tertulis dalam prasasti batu Ligor. Beberapa prasasti, yang ditulis dalam Bahasa Melayu Tua, semakin memperkuat hubungan yang diklaim dengan Sriwijaya.

Lebih jauh, prasasti Sojomerto (725 M) menyebut pendiri Dinasti Shailendra sebagai Dapunta Selendra, memposisikannya sebagai leluhur Shailendra. Mengingat bahwa prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Tua (meskipun ditemukan di pantai utara Jawa Tengah), maka kemungkinan fakta adalah Shailendra berasal dari Sumatra atau terhubung dengan Kerajaan Sriwijaya, karena baik Raja Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dan Dapunta Selendra keduanya dijuluki sebutan kehormatan yang sama ‘Dapunta’, sebuah gelar yang digunakan oleh raja-raja Sriwijaya yang sebelumnya.

 

Penyatuan Kekuasaan

Kembali ke Tab

Penyatuan Kekuasaan

Aliansi yang saling menguntungkan antara Shailendra dan Sriwijaya ditempa dan dipertahankan melalui cara-cara damai, termasuk pernikahan antara Raja Shailendra Samaratungga dan Dewi Tara, putri Raja Dharmasetu dari Sriwijaya. Dengan kerjasama yang menguntungkan ini, kedua kerajaan menghilangkan persaingan dan menyebarluaskan akses perdagangan yang mejangkau skala internasional.

An artist's illustration of Pramodhawardhani

Ilustrasi seorang seniman menggambarkan Pramodhawardhani. Klik untuk memperbesar.

Pernikahan antara Raja Samaratungga dan Putri Dewi Tara diduga melahirkan dua anak – seorang putri, Pramodhawardhani (atau Sri/Cri Kahulunan) dan seorang putra, sang pewaris tahta Balaputradewa.

Nampak seperti para leluhurnya, Pramodhawardhani sangat spiritual. Didokumentasikan dalam prasasti Karangtengah 824 M bahwa Pramodhawardhani mendirikan Candi Jinalaya yang suci. Kebetulan saja, prasasti itu juga menyebutkan pendirian bangunan suci Buddhis lainnya, yaitu Venuvana (artinya ‘Hutan Bambu’), oleh Raja Dharanindra untuk menampung jasad kremasinya.

Lebih jauh lagi, dalam prasasti Tri Tepusan, yang bertanggal 842 M, di dalamnya menceritakan tentang Pramodhawardhani yang membebaskan penduduk setempat dari pajak tanah sehingga tambahan penghasilan mereka dapat digunakan untuk pemeliharaan Bhumisambhara (yang lebih dikenal sebagai Borobudur).

Pramodhawardhani menikahi Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya, yang nantinya akan menjadi penyebab berakhirnya pemerintahan sang adik, Balaputradewa, di Jawa Tengah. Pada tahun 852 M terjadi perang saudara antara kedua orang itu, setelah Balaputradewa menemukan bahwa Rakai Pikatan mengerahkan para bangsawan setempat untuk melawannya. Perang saudara berakhir dengan kekalahan Balaputradewa dan ia terpaksa kembali ke Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, di mana ia mengambil peran sebagai pemimpin tertinggi mereka.

A painting by G.B. Hooijer (sekitar 1916 - 1919) of Borobudur as it would have appeared in its heyday. Click to enlarge.

Sebuah lukisan karya G.B. Hooijer (sekitar 1916 – 1919) dari Borobudur seperti yang terlihat di masa kejayaannya. Klik untuk memperbesar.

Periode sejarah Shailendra ini, serta asal usul leluhur mereka, diperdebatkan. Beberapa sejarawan percaya bahwa Samaratungga adalah putra dan pewaris Raja Samaragrawira sementara sejarawan lainnya seperti N.J. Krom dan George Cœdès menganggap Samaragrawira dan Samaratungga sebagai pribadi yang sama.

Belakangan seorang sejarawan bernama Slamet Muljana dari Indonesia, tidak setuju dengan hal ini. Ia berteori bahwa Samaragrawira sebenarnya memiliki dua putra – Samaratungga, yang lebih tua dan Balaputradewa, yang lebih muda. Klaimnya didukung oleh:

  • Prasasti Malang, yang menyatakan bahwa Samaratungga hanya memiliki satu putri (dan tidak memiliki putra)
  • Prasasti Nalanda, yang mencatat Balaputradewa sebagai putra Samaragrawira, yaitu sebagai saudara, dan bukan putra, dari Samaratungga.

Jadi, menurut Pak Muljana, Balaputradewa bukan putra Samaratungga tetapi sebenarnya adalah adik laki-lakinya. Jika ini benar, maka itu akan memberi Balaputradewa klaim yang lebih besar untuk berkuasa dan bertahta di Jawa; seandainya Samaratungga meninggal tanpa seorang putra dan pewaris yang sah, maka adik lelakinya yang jadinya mengambil alih tahta setelah kematiannya, bukan putrinya.

Maka dengan memposisikan Balaputradewa sebagai saudara laki-laki, dan bukan anak laki-laki, hal ini menantang legitimasi Pramodhawardhani dan pemerintahan suaminya, Rakai Pikatan.

 

Era pasca-Balaputradewa

Kembali ke Tab

Era Pasca-Balaputradewa

Belanjong Pillar (dated 914 CE). Click to enlarge.

Prasasti Belanjong, berasal dari tahun 914 M. Klik untuk memperbesar.

Setelah masa pemerintahan Balaputradewa berakhir, muncullah raja Shailendra yang lain, yaitu Sri Kesari Warmadewa, yang merupakan raja pertama di Bali yang meninggalkan prasasti tertulis. Ia menulisnya di Pilar prasasti Belanjong di Sanur, Bali dan menyatakan bahwa dirinya adalah anggota Dinasti Shailendra yang memimpin ekspedisi militer ke Bali untuk mendirikan pemerintahan Buddhis Mahayana.

Jadi, seperti kaum Shailendra yang memerintah sebelumnya, Sri Kesari adalah seorang raja Buddhis. Sri Kesari dianggap sebagai pendiri Dinasti Warmadewa. Oleh karena itu Pilar prasasti Belanjong, yang bertajuk 914 M, menarik hubungan antara Dinasti Warmadewa dengan Shailendra.

Shailendra juga menjaga hubungan dengan Kerajaan Chola di India Selatan, sebagaimana didokumentasikan dalam banyak prasasti India Selatan. Sebuah prasasti abad ke-11 M menyebutkan wihara Buddhis di India yang dibangun oleh Raja Sriwijaya pada tahun 1005 M, yang memberikan pendapatan pajak sebagai biaya pemeliharaannya. Namun, pada tahun 1025 M, hubungan antara kedua dinasti itu hancur.

Raja Rajendra Chola menginvasi Kekaisaran Shailendra, yang berbasis di Sriwijaya, menaklukkan beberapa wilayah penguasa Shailendra dan menghancurkan mereka yang berada di jalur lintasan. Maharaja Sanggrama Wijayatunggavarman, raja terakhir Shailendra, ditangkap dan disandera. Tanpa pemimpin, Shailendra tidak pernah benar-benar pulih dari kehancuran besar-besaran ini, secara efektif mengakhiri dinasti yang berkuasa di Sumatra ini.

Kerajaan Chola dan Shailendra mampu memulihkan hubungan yang lebih damai sebelum akhir abad ke-11 M. Pada tahun 1090 M, piagam baru diberikan kepada Sriwijaya, prasasti terakhir yang menyebutkan Shailendra. Namun, karena tidak memiliki pewaris Shailendra yang sah, keluarga kerajaan dari Sriwijaya yang lain menggantikannya naik tahta, dimulai dengan Maharaja Sri Deva yang dinobatkan dan, bersama dengan itu, sebuah dinasti baru mulai memerintah Sriwijaya.

The bas relief in Borobudur depicting a palace scene of the King and Queen accompanied by their subjects, based on the Shailendran royal court.

Relief timbul di Borobudur menggambarkan adegan istana Raja dan Ratu diikuti oleh rakyatnya, berdasarkan istana kerajaan Shailendra.

 

Rentang Waktu Kejadian-Kejadian di Dinasti Shailendra

Berikut ini adalah tonggak penting dan kejadian terkait dengan Dinasti Shailendra, yang dapat memberikan beberapa kejelasan tentang aktivitas dan warisan keluarga yang mulia ini:

  • 674 M – Dapunta Selendra, pendiri Dinasti Shailendra dikisahkan telah lahir.
  • 683 M – Dapunta Hyang Sri Jayanasa tiba di Kerajaan Sriwijaya.
  • Abad ke-8 M – Kerajaan Medang, juga dikenal sebagai Kerajaan Mataram, pada awalnya didirikan oleh Raja Sri Sanjaya dari Dinasti Sanjaya.
  • 775 M – Rakai Panangkaran melepaskan tahtanya untuk menemukan kedamaian spiritual dan berfokus pada hal-hal relijius.
  • 775-800 M – Pada masa pemerintahan Raja Dharanindra, Dinasti Shailendra memperluas kebijakan perdagangan mereka ke Kerajaan Sriwijaya. Selain itu, Raja Dharanindra terkenal karena meluncurkan berbagai perang yang berhasil. Selama puncak kejayaan Kerajaan Medang, pengaruhnya mencapai Bali, Sumatra, Kamboja, dan Filipina saat ini.
  • 792 M – Samaratungga mengambil alih tahta Kerajaan Sriwijaya.
  • c. 852 M – Damainya hidup berdampingan antara Shailendra dan Dinasti Sanjaya berakhir dengan perang saudara, ketika Rakai Pikatan dan Balaputradewa, putra Raja Samaratungga, saling bertarung. Balaputradewa dikalahkan dan dipaksa untuk meninggalkan Jawa, mengambil tempat tinggal di Sumatra di Kerajaan Sriwijaya di mana ia menjadi penguasa tertinggi.
  • 860 M – Prasasti Nalanda dibuat sebagai penjelasan bagaimana Raja Kekaisaran Pala, Dewapaladewa, memberikan izin kepada Sri Maharaja (yang juga dikenal sebagai Balaputradewa) untuk membangun sebuah wihara di area Nalanda.
  • 1005 M – Sebuah prasasti abad ke-11 M menyebutkan wihara Buddhis di India yang dibangun oleh Raja Sriwijaya, yang menghibahkan pendapatan pajak sebagai biaya pemeliharaannya.
  • 1025 M – Hubungan antara Kerajaan Chola dan Shailendra, yang berpusat di Sriwijaya, rusak. Raja Rajendra Chola menginvasi dan menaklukkan beberapa wilayah Shailendra. Raja terakhir Shailendra yaitu Maharaja Sanggrama Vijayatunggavarman, disandera. Kerajaan Chola dan Shailendra mampu memulihkan hubungan yang lebih damai sebelum akhir abad ke-11 M tetapi tanpa adanya pemimpin, Dinasti Shailendra tidak dapat benar-benar pulih.

 

Kerajaan-Kerajaan Utama

Kembali ke Tab

Kerajaan-Kerajaan Utama yang Terhubung Dengan Dinasti Shailendra

Selama rentang abad ke-8 M dan ke-9 M, pemerintahan Dinasti Shailendra umumnya diyakini hanya terbatas di Jawa Tengah, sedari zaman Rakai Panangkaran hingga Raja Samaratungga. Namun, prasasti yang baru saja ditemukan mengungkapkan masa pemerintahan yang mungkin lebih lama.

Mulai dari abad ke-7 M dengan rujukan tentang kedaulatan di prasasti Sojomerto, hingga awal abad ke-11 M ketika Dinasti Shailendra dikalahkan oleh Raja Rajendra Chola, nampaknya di berbagai masa dalam sejarah, Shailendra memerintah baik Kerajaan Medang maupun Kerajaan Sriwijaya. Area kerajaan-kerajaan ini berhubungan dengan apa yang kita sebut sekarang sebagai Jawa dan Sumatra. Dari waktu ke waktu, kesetiaan dan perkawinan silang dengan keluarga Sriwijaya yang berkuasa, meleburkan kedua keluarga dinasti ini, membuat Shailendra dapat memerintah kedua kerajaan kuno tersebut pada waktu yang berbeda.

Profesor Boechari, seorang sejarawan dan pembuat epigrafi Indonesia, dahulu berusaha untuk membuat daftar asal muasal Dinasti Shailendra berdasarkan prasasti Sojomerto, sementara itu, sejarawan seperti Slamet Muljana dan Profesor Poerbatjaraka mengarahkan perhatian pada periode pertengahan dan setelahnya. Sejarawan lain menghubungkan Shailendra dengan Dinasti Sanjaya dan Sriwijaya berdasarkan prasasti dan naskah Carita Parahyangan.

 

Kerajaan Medang

A map of the Medang Kingdom, which was located on the Java Island of Indonesia (click to enlarge).

Peta Kerajaan Medang, yang terletak di Pulau Jawa Indonesia. Klik untuk memperbesar.

Kerajaan Medang, juga dikenal sebagai Kerajaan Mataram, awalnya didirikan oleh Raja Sri Sanjaya dari Dinasti Sanjaya di abad ke-8 M. Prasasti Canggal (732 M), yang ditulis dengan aksara Pallawa, mencatat pembangunan lingam (simbol Siwa) sesuai instruksi raja. Sejarawan percaya bahwa temuan ini menunjukkan Medang pada mulanya adalah kerajaan Hindu.

Prasasti Canggal juga menyatakan bahwa Raja Sri Sanjaya adalah putra dari saudari Raja Sanna. Raja Sanna, penguasa Jawa sebelumnya, tewas dalam pertempuran. Kerajaan itu jatuh ke dalam kekacauan sampai Raja Sri Sanjaya mengambil alih, mendirikan Kerajaan Medang, mengalahkan penguasa lokal dan memulihkan keharmonisan di Pulau Jawa. Ia dikisahkan memiliki banyak kualitas yang mengagumkan, termasuk penguasaan taktik militer, pengetahuan tentang kitab suci, dan mahir dalam seni bela diri.

Setelah Raja Sri Sanjaya wafat, Rakai Panangkaran menggantikannya. Secara umum diyakini bahwa ia adalah putra atau keponakan Raja Sri Sanjaya, dan Raja Sri Sanjaya meminta pewaris tahtanya memeluk Buddhisme Mahayana.

Pengaruh Dinasti Shailendra tumbuh dengan kecepatan yang signifikan karena keberhasilan kebijakan perdagangan mereka. Awalnya, Kerajaan Medang sangat bergantung pada pertanian padi dan kegiatan agrikultur lainnya, tetapi mereka kemudian beralih bisnis perdagangan maritim. Pada masa pemerintahan Raja Dharanindra (memerintah 775 – 800 M), Dinasti Shailendra memperluas kebijakan perdagangan mereka ke Kerajaan Sriwijaya. Selain itu, Raja Dharanindra dikenal melaksanakan perang yang berhasil. Selama puncak kejayaan Kerajaan Medang, pengaruh mereka sampai ke Bali, Sumatra, Kamboja, dan Filipina saat ini.

Temuan-temuan arkeologis mengungkapkan bahwa pada masanya, Kerajaan Medang kondisinya makmur, padat penduduk, dan sangat canggih. Pada akhir abad ke-8 M, kerajaan telah mengembangkan arsitektur dan seni Jawa yang khas, yang dapat dilihat hari ini di Candi Borobudur, Sewu, Kalasan dan Prambanan yang terkenal se-dunia.

Shailendra dikenal sangat piawai dalam politik. Sebagai contoh, penguasa Shailendra Samaratungga meminang Dewi Tara, putri Raja Sriwijaya Dharmasetu, sehingga menjalin hubungan yang saling menguntungkan antara kedua kerajaan. Bagi Raja Dharmasetu, kerjasama yang baru saja dikembangkan ini menjadikan Kerajaan Medang yang cepat berekspansi tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka. Pada saat yang sama, bagi Raja Samaratungga, pernikahan itu membuat Dinasti Shailendra mendapat akses ke posisi strategis perdagangan internasional Sriwijaya.

The beautiful Prambanan Hindu Temple

Candi Hindu Prambanan yang indah

Namun demikian, setelah Raja Sri Sanjaya wafat, pengaruh Dinasti Sanjaya terus memudar sampai Raja Samaratungga dari Dinasti Shailendra mengatur pernikahan politik antara putrinya, Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan, pangeran Dinasti Sanjaya. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani, agama Hindu sekali lagi mendominasi Kerajaan Medang.

Pada pertengahan abad ke-9 M, kebersamaan yang damai antara Shailendra dan Dinasti Sanjaya berakhir dengan perang saudara, ketika Rakai Pikatan dan Balaputradewa, putra Raja Samaratungga, saling bertarung pada tahun 852 M. Sayangnya Balaputradewa, yang juga merupakan saudara ipar Rakai Pikatan, dikalahkan dan harus mundur ke tanah air ibunya, Kerajaan Sriwijaya, untuk menjadi penguasa di sana.

Kejadian ini, beserta naiknya Rakai Pikatan ke tampuk kekuasaan, menandai dimulainya pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Medang. Selama masa pemerintahan mereka, para penguasa Sanjaya membangun banyak candi Hindu, termasuk Candi Prambanan, yang dianggap sebagai candi Hindu terbesar di Asia Tenggara.

 

Kerajaan Sriwijaya

Shai012

Kerajaan Sriwijaya dahulu adalah kerajaan Buddhis yang mendominasi sebagian besar kepulauan Melayu-Indonesia dari 650 hingga 1377 Masehi. Ia dianggap sebagai pusat penting bagi perluasan agama Buddha sehingga bahkan guru Buddhis yang terkenal, Atisha pergi ke Sriwijaya untuk belajar dengan Suvarṇadvipa Dharmakīrti.

Apa yang kita ketahui tentang Kerajaan Sriwijaya sebagian besar berasal dari prasasti batu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tua, terutama Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu dan Prasasti Kota Kapur. Menurut prasasti-prasasti ini, kota Palembang di Sumatra kemungkinan besar adalah ibukota Kerajaan Sriwijaya. Ini terlihat dari selungkup persegi panjang yang dikelilingi oleh parit, membentuk pemukiman atau kuil yang dikenal sebagai Venuvana (artinya ‘Hutan Bambu’) yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah 824 M.

An artist's illustration of the ruler Dapunta Hyang Sri Jayanasa

Ilustrasi seorang seniman menggambarkan penguasa Dapunta Hyang Sri Jayanasa

Prasasti itu juga menceritakan kisah seorang pemimpin perang bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang bertarung melawan lawannya dan mengumpulkan dukungan dari kota-kota tetangga di sepanjang Sungai Musi. Akibatnya, hal ini mengarahkan pada pembentukan Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang menjadi pendiri dan raja pertama Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya menyebarkan agama Buddha, menetapkan agama ini di daerah taklukkan mereka seperti Jawa dan wilayah Melayu.

Hubungan bilateral antara Sriwijaya dan Kerajaan Medang semakin menguat melalui pernikahan Dewi Tara, putri Raja Dharmasetu dari Sriwijaya dengan Raja Samaratungga dari Medang. Samaratungga kemudian mengambil alih tahta Sriwijaya pada 792 M. Menurut beberapa prasasti, ikatan pernikahannya dengan Dewi Tara memberinya seorang putri, Pramodhawardhani dan seorang putra, Balaputradewa.

Kerajaan Sriwijaya menikmati kemakmuran karena lokasinya yang strategis bagi perdagangan maritim. Pelabuhan mereka menyediakan koneksi antara Tiongkok, Asia Tenggara dan India. Selain itu, kedekatannya dengan muara Sungai Musi memungkinkan untuk pertanian berlimpah di tanah lokal yang subur. Orang Tiongkok sering menyebut Kerajaan Sriwijaya sebagai Jinzhou, atau “Pantai Emas”, karena cadangan emas yang besar ditemukan di kerajaan.

 

VIDEO: Menghidupkan Kembali Masa Kehidupan era Kerajaan Sriwijaya


Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/SriwijyaEmpire-4.mp4

 

Shai013

Kerajaan Sriwijaya juga terkenal sebagai pusat praktik Buddhisme Vajrayana. Menurut prasasti Talang Tuwo (684 M), raja Sriwijaya adalah seorang penguasa relijius yang mengaitkan dirinya dengan kekuatan seorang Bodhisattwa. Sriwijaya sendiri tidak meninggalkan banyak artefak arkeologis Buddhis tetapi menjadi terkenal sebagai pusat pembelajaran Buddhis bagi para cendekiawan dan biksu, terutama di kota Palembang.

Bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya dapat dilacak hingga abad ke-7 M. Seorang biksu dari Dinasti Tang, I-tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Kerajaan Sriwijaya pada tahun 671 M selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu. Dari sana ia melanjutkan perjalanannya untuk belajar agama Buddha di universitas terkenal Nalanda, Bihar, di tempat yang sekarang disebut India. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 11 tahun di universitas, ia kembali ke Kerajaan Sriwijaya dalam perjalanan kembali ke Tiongkok.

Shai014

I-tsing tinggal di Palembang selama dua tahun untuk menerjemahkan berbagai sutra Sanskerta asli ke dalam bahasa Tiongkok. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Tiongkok pada 689 M untuk mendapatkan kertas dan tinta karena dia tidak dapat menemukannya di Sriwijaya, dan ia kembali pada tahun yang sama. Pada 695 M, ia membawa kembali sekitar 400 teks terjemahan ajaran Buddha ke Tiongkok. Dia juga menulis dua buku harian perjalanan berjudul Catatan Praktik Buddha yang Dikirim Pulang dari Laut Selatan dan Ziarah Biksu dari Dinasti Tang, untuk meringkas petualangannya selama 25 tahun di Kerajaan Sriwijaya dan India.

“… Banyak raja dan kepala suku di pulau-pulau di Samudra Selatan kagum dan percaya pada [agama Buddha], dan hati mereka tertuju untuk mengumpulkan tindakan yang baik. Di kota berbenteng Bhoga [Palembang, ibukota Sriwijaya] para bhiksu Buddhis berjumlah lebih dari 1.000, batinnya mengarah pada pembelajaran dan praktik-praktik yang baik. Mereka menyelidiki dan mempelajari semua mata pelajaran yang ada seperti di Kerajaan Tengah [Madhya-desa, India]; aturan dan upacara sama sekali tidak berbeda. Jika seorang bhiksu Tiongkok ingin pergi ke Barat untuk mendengar (ceramah) dan membaca [tulisan suci asli], ia lebih baik tinggal di sini selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan sila dengan tepat, baru kemudian melanjutkan ke India Tengah.”

Sumber: Catatan Praktik Buddhis I-tsing yang Dikirim Pulang dari Laut Selatan, juga dikenal sebagai Nanhai Jigui Neifa Zhuan

Kerajaan Sriwijaya menghasilkan banyak cendekiawan Buddhis terkemuka, termasuk Suvarṇadvipa Dharmakīrti, seorang guru lojong dan bodhicitta yang terkenal pada abad ke-10 M. Ia terkenal sebagai guru Atisha Dipamkara Shrijñana, yang belajar di bawah bimbingan Suvarṇadvipa selama 12 tahun.

Peta Kerajaan Sriwijaya

Kemerosotan kerajaan Sriwijaya dimulai pada tahun 1025 M setelah Raja Rajendra Chola dari Tamil Nadu di India Selatan meluncurkan serangkaian serangan di Kerajaan Sriwijaya. Dia bermaksud menjarah kekayaan kerajaan. Serangan terus menerus Raja Rajendra sangat melemahkan dominasi Sriwijaya, akhirnya menghasilkan pembentukan kerajaan regional yang lebih kecil seperti Kediri, yang memfokuskan ekonomi mereka pada pertanian alih-alih perdagangan pesisir. Kerajaan Sriwijaya yang lemah akhirnya dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit yang mayoritas Hindu.

 

VIDEO: Mengapa Wangsa Chola Menyerbu Kerajaan Sriwijaya?


Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/WhyDidTheCholasInvadeTheSrivijayaEmpire.mp4

 

Penguasa Penting Dinasti Shailendra

Kembali ke Tab

Penguasa Penting Dinasti Shailendra

 

Dapunta Selendra, Sang Pendiri

Menurut prasasti Sojomerto, Dinasti Shailendra dimulai oleh Dapunta Selendra, yang mendaulatkan diri dan keluarganya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dapunta Selendra dikisahkan lahir pada tahun 674 M.

Batang Regency, Central Java

Kabupaten Batang, Jawa Tengah

Dapunta Selendra digambarkan sebagai seorang Hindu Saiwa. Secara umum disepakati bahwa anggota dari Dinasti Shailendra yang berikutnya memeluk Buddhisme Mahayana. Kesamaan gelar antara Dapunta Selendra dan Dapunta Hyang Sri Jayanasa telah membuat para sejarawan percaya bahwa ada hubungan di antara mereka, atau (keduanya) orang yang sama karena ‘Dapunta’ adalah gelar yang digunakan oleh raja-raja Sriwijaya sebelumnya.

Ada beberapa sumber yang mengklaim bahwa raja Shailendra pertama yang diketahui bernama Bhanu, termasuk sejarawan John Villiers yang menyebutkan dalam bukunya:

“… ketika raja Sailendra [Bhanu] yang pertama diketahui muncul.”

Sumber: J. Villiers, Sudostasien von der Kolonialzeit Hal. 96

Klaim tentang Raja Bhanu didasarkan pada prasasti Hampran. Namun, Profesor Boechari, seorang ahli epigraf dan arkeolog Indonesia, percaya bahwa klaim Bhanu sebagai raja Shailendra pertama tidak meyakinkan karena dalam prasasti, Bhanu tidak menggunakan gelar ‘Maharaja’ seperti raja-raja Shailendra lainnya.

 

Rakai Panangkaran, Penganut Buddhis
(memerintah antara 760 – 775 M)

Setelah Raja Sri Sanjaya wafat, prasasti Kalasan menyatakan bahwa ia digantikan oleh Rakai Panangkaran yang juga dikenal sebagai Rakai Panabaran atau Maharaja Dyah Pancapana Kariyana Panamkarana. Berbeda dengan pendahulunya, Rakai Panangkaran memiliki ketertarikan yang besar pada agama Buddha. Ia dikenal sebagai raja yang membangun Candi Kalasan, sebuah tempat ibadah yang didedikasikan untuk Buddha Tara.

Kalasan Temple

Raja Rakai Panangkaran membangun Candi Kalasan, sebuah candi Buddhis yang didedikasikan untuk Buddha Tara. Seorang raja Buddhis, dikatakan bahwa Rakai Panangkaran turun tahta untuk menapak jalan spiritual.

Pada masa pemerintahannya, Rakai Panangkaran membangun banyak candi selain Candi Kalasan, seperti Candi Sari dan Candi Lumbung. Ia juga diyakini telah memprakarsai pembangunan Candi Sewu dan wihara Abhayagiri.

Ratu Boko site

Situs Ratu Boko tempat prasasti Abhayagiri ditemukan. Klik untuk memperbesar.

Sebuah prasasti Abhayagiri bertajuk 792 M menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran turun tahta untuk menemukan kedamaian spiritual dan berkonsentrasi pada religi. Rakai Panangkaran meninggal sebelum Candi Sewu selesai dibangun.

Beberapa sejarawan telah mengembangkan teori untuk menjelaskan bagaimana Raja Saiwa Sri Sanjaya digantikan oleh seorang raja Buddhis, Rakai Panangkaran.

Teori #1
oleh Van Naerssen, Bosch dan Cœdès

Didukung oleh sejarawan Van Naerssen, F.D.K. Bosch dan George Cœdès, teori ini mengklaim bahwa Rakai Panangkaran adalah putra Raja Sri Sanjaya. Namun, pada masa pemerintahannya, Dinasti Sanjaya dikalahkan oleh Dinasti Shailendra, dan Rakai Panangkaran harus membangun Candi Kalasan di bawah instruksi penguasa Shailendra, Raja Dharanindra.

Teori #2
oleh Profesor Poerbatjaraka, Pusponegoro dan Notosutanto

Para sejarawan Prof. Poerbatjaraka, Marwati Pusponegoro, dan Nugroho Notosutanto mendukung teori kedua, yang menyatakan bahwa Dinasti Sanjaya tidak pernah ada. Mereka percaya bahwa Raja Sri Sanjaya dan Raja Rakai Panangkaran berasal dari Dinasti Shailendra, dan Dinasti Sanjaya tidak ada. Dalam lingkup teori ini, Raja Sri Sanjaya meminta putranya Rahyang Panaraban untuk memeluk agama Buddha. Mereka percaya bahwa Rahyang Panaraban adalah orang yang sama dengan Rakai Panangkaran. Kisah ini didasarkan pada Carita Parahyangan, manuskrip abad ke-16 M.

Teori #3
oleh Slamet Muljana

Sejarawan Slamet Muljana tidak setuju dengan teori pertama bahwa Rakai Panangkaran adalah putra Raja Sri Sanjaya yang dikalahkan oleh Raja Shailendra Dharanindra. Menurut Bpk. Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin adalah bawahan atau lebih rendah daripada Dharanindra karena ia dipuji sebagai ‘Sailendrawangsatilaka’ (permata Dinasti Shailendra) dalam prasasti Kalasan.

Slamet Muljana mengemukakan teori ketiga, yang mendukung klaim bahwa Rakai Panangkaran bukan putra Raja Sri Sanjaya tetapi seorang raja Buddhis Shailendra yang didaulatnya sendiri. Kesimpulannya didasarkan pada prasasti Mantyasih yang menyatakan Rakai Panangkaran mengambil gelar ‘Sri Maharaja’, gelar yang digunakan oleh raja-raja Shailendra. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran adalah seorang raja Buddhis Shailendra yang mengalahkan Dinasti Sanjaya dan naik ke tahta Kerajaan Medang.

 

Dharanindra, Penakluk Musuh yang Gagah Berani
(memerintah antara 775 – 800 CE)

Ilustrasi seorang seniman menggambarkan Raja Dharanindra

Raja Dharanindra, yang juga dikenal sebagai Raja Indra, adalah penguasa Kerajaan Medang dan sekitarnya. Ia adalah ahli strategi berbakat dalam menjalankan kampanye militer yang sukses. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil memperluas kerajaannya hingga mencakup Semenanjung Melayu dan Indocina. Ia dihormati oleh orang-orang dan musuh-musuhnya.

Menurut prasasti Kelurak, Raja Indra juga dikenal sebagai Wairiwarawiramardana atau “Penakluk Musuh yang Gagah Berani”. Sebuah prasasti yang ditemukan di Thailand Selatan juga menyebutkannya, di mana ia disebut sebagai Sarwwarimadawimathana. Prasasti tersebut menggambarkan Raja Dharanindra sebagai emanasi Dewa Hindu Wisnu.

Raja Dharanindra berhasil menaklukkan Ligor dan Kamboja Selatan di Delta Mekong. Ia juga meluncurkan serangan terhadap Champa di tempat yang sekarang disebut Vietnam Selatan.

Sewu Temple

Candi Sewu, juga dikenal sebagai Manjushrigrha (Rumah Manjushri)

Mengikuti warisan pendahulunya Rakai Panangkaran, Raja Dharanindra juga dikenal sebagai pembangun yang hebat. Dia adalah raja Shailendra yang membangun Candi Sewu, yang juga dikenal sebagai Manjushrigrha (Rumah Manjushri). Prasasti Karangtengah, bertajuk tahun 824 M, menyebutkan bahwa Raja Dharanindra juga bertanggung jawab atas pembangunan Venuvana, dan perencanaan Candi Borobudur dan Candi Pawon. Saat ini, Candi Sewu dan Borobudur adalah candi Buddhis terbesar kedua dan terbesar di Indonesia.

Peran Raja Dharanindra dalam pembangunan Candi Sewu dijelaskan dalam prasasti Kelurak bertajuk tahun 782 M. Prasasti Kelurak ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan aksara Pranagari. Prasasti itu ditemukan di Pura Lumbung, Desa Kelurak di Jawa Tengah. Saat ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, dengan nomor inventaris D.44.

 

Samaratungga, Pemersatu Kerajaan
(memerintah antara 812 – 833 M)

Samaratungga adalah keturunan Raja Dharanindra, dan ia disebutkan dalam prasasti Karangtengah tanggal 824 Masehi. Semasa hidupnya, Samaratungga mendekatkan relasi antara Kerajaan Medang dan Kerajaan Sriwijaya dengan menikahi Dewi Tara, putri penguasa Sriwijaya, Raja Dharmasetu. Samaratungga kemudian menjadi penguasa tertinggi Kerajaan Sriwijaya dan Medang.

The magnificent Borobudur Temple was completed during the reign of King Samaratungga

Candi Borobudur yang megah selesai dibangun pada masa pemerintahan Raja Shailendra Samaratungga.

Selama pemerintahannya, Samaratungga menyaksikan penyelesaian candi Buddhis yang megah, yaitu Borobudur. Namun, Samaratungga juga kehilangan daerah yang telah ditaklukkan oleh pendahulunya, Raja Dharanindra. Ia menunjuk Jayavarman II sebagai gubernur Indrapura di Delta Mekong. Sayangnya, Jayavarman II membatalkan aliansi dan mengkhianati kepercayaan Samaratungga. Ia menaklukkan area Delta Mekong dan mendirikan Kerajaan Khmer.

Samaratungga dan Dewi Tara memiliki dua anak yang terkenal, putranya Balaputradewa dan putrinya Pramodhawardhani yang menikahi Rakai Pikatan, seorang anggota Dinasti Sanjaya.

 

Pembangunan Candi Borobudur


Or view the video on YouTube at:
https://www.youtube.com/watch?v=TPMLGnKWaXQ
 

 

Informasi Tambahan Tentang Prasasti Karangtengah

The Karangtengah inscription (sekitar 824 CE)

Prasasti Karangtengah (sekitar 824 M). Klik untuk memperbesar.

Prasasti Karangtengah terdiri dari lima keping batu bertajuk tahun 824 M. Prasasti batu itu ditemukan di Dusun Karangtengah di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti Karangtengah ditulis dalam dua bahasa: Jawa Kuna dan Sanskerta.

Prasasti Karangtengah menyebutkan Raja Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani, yang mendirikan sebuah bangunan suci bernama Jinalaya. Prasasti itu juga menyebutkan bangunan Buddhis lain bernama Venuvana yang berarti ‘Hutan Bambu’ dalam bahasa Sanskerta, dan di situlah abu ‘Raja Awan Mega’ dimakamkan. Ada kemungkinan bahwa Raja Awan Mega merujuk pada Raja Dharanindra. Beberapa sejarawan telah mengidentifikasi Jinalaya sebagai Borobudur, sementara Venuvana adalah Candi Mendut atau Ngawen.

Prasasti Karangtengah juga menggambarkan seorang raja bernama ‘Rakai Patapan pu Palar’ yang memutuskan dalam dekrit kerajaannya bahwa sawah ladang di Kayumwungan dibebaskan dari pajak pada tahun 824 Masehi. Rakai Patapan pu Palar mengacu pada Rakai Garung. Sementara sejarawan Slamet Muljana menyarankan bahwa Rakai Garung adalah nama lain untuk Samaratungga, dan yang lain berpendapat bahwa Rakai Garung mungkin adalah bupati yang memaksakan bimbingannya pada putra Samaratungga, yaitu Balaputradewa, yang naik tahta sebagai putra mahkota setelah ayahnya meninggal.

 

Pramodhawardhani, Rakai Pikatan dan Balaputradewa

Kedamaian Kerajaan Medang di bawah pemerintahan Shailendra segera terhempas ke dalam kekacauan disebabkan perang saudara yang terjadi setelah Samaratungga meninggal. Di satu sisi adalah putrinya Pramodhawardhani dan suaminya Rakai Pikatan; lalu di sisi yang bersebrangan adalah putranya Balaputradewa.

Plaosan Temple was built by the Hindu Rakai Pikatan, a devotee of Shiva, for his Buddhist wife Pramodhawardhani, a princess of the Shailendra Dynasty.

Candi Plaosan dibangun oleh Rakai Pikatan, umat Hindu pemuja Siwa, untuk istrinya yang beragama Buddha, Pramodhawardhani, putri dari Dinasti Shailendra.

Pramodhawardhani menikahi Rakai Pikatan, seorang pangeran Hindu dari Dinasti Sanjaya. Setelah ayahnya meninggal, saudara laki-lakinya, Balaputradewa, menjadi penguasa yang sah dari Kerajaan Medang dan Sriwijaya. Namun, Balaputradewa terlibat dalam konflik dengan Rakai Pikatan, dan ini berkembang menjadi perang saudara. Rakai Pikatan mengalahkan Balaputradewa dan merebut tahta Kerajaan Medang. Balaputradewa harus mundur ke Kerajaan Sriwijaya di mana ia menjadi penguasa.

Setelah kekalahan Balaputradewa, Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani secara aktif membangun candi Hindu dan Buddhis yang berdekatan satu sama lain. Candi Hindu Prambanan, Candi Buddhis Plaosan, dan Candi Buddhis Sajiwan semuanya dibangun pada masa ini, yang menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan mereka, terjadi keharmonisan antara agama Hindu dan Buddha.

 

Pramodhawardhani dan Rakai Pikatan
(memerintah antara 840-an – 856 M)

Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga. Ia juga dikenal sebagai Sri/Cri Sanjiwana, Sri/Cri Kahulunan dan Nini Haji Rakryan Sanjiwana. Pramodhawardhani disebutkan dalam beberapa prasasti batu seperti Karangtengah, Tri Tepusan dan Rukam. Ia terkenal akan kecantikannya dan dikisahkan bahwa gambar dewi Durga di Candi Prambanan dibuat serupa dengannya.

Rakai Pikatan (klik untuk memperbesar)

Sebagai insan yang sangat spiritual, Pramodhawardhani menyediakan tanah bebas pajak untuk mendanai dan memelihara Bhumisambhara (Candi Borobudur), menurut prasasti Tri Tepusan bertajuk 842 M. Prasasti Rukam yang bertajuk tahun 907 M menyebutkan Desa Rukam, yang sebelumnya dihancurkan oleh letusan gunung berapi. Desa itu kemudian dipulihkan dan Pramodhawardhani meresmikan pemukiman yang baru saja direstorasi. Prasasti Rukam juga menyebutkan bahwa penduduk Desa Rukam memiliki kewajiban untuk memelihara bangunan suci di Limwung. Bangunan sakral ini telah diidentifikasi sebagai Candi Sojiwan di masa kini.

Pertunangan Pramodhawardhani dengan Pangeran Saiwa dari Sanjaya, Rakai Pikatan, dipandang sebagai rekonsiliasi politik antara Dinasti Hindu Sanjaya dan Dinasti Buddhis Shailendra. Aliansi antaragama ini dicatat dalam prasasti Shivargrha. Prasasti Shivargrha, juga dieja sebagai Shivargha, bertajuk tahun 856 M, masa setelah akhir pemerintahan Rakai Pikatan. Saat ini, prasasti Shivargrha disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta dengan nomor identifikasi D.28.

Prasasti Shivargrha juga menyebutkan bahwa berbeda dengan permaisuri Pramodhawardhani yang Buddhis, Raja Rakai Pikatan sendiri adalah seorang Hindu yang menyembah Siwa. Namun demikian, ia tetap membangun Candi Plaosan sebagai pengabdian kepada istrinya yang beragama Buddha.

Dalam prasasti Shivargrha, digambarkan Rumah Siwa (Shivargrha), yang merujuk ke Candi Prambanan, serta proyek modifikasi Sungai Opak dekat Prambanan. Prasasti ini juga merujuk pada pertempuran suksesi kerajaan di Kerajaan Medang antara Balaputradewa dan Rakai Pikatan.

 

Balaputradewa, Sponsor Nalanda
(memerintah antara 860 -? M)

King Balaputradewa

Ilustrasi seorang seniman menggambarkan Raja Balaputradewa

Menurut beberapa sumber, Balaputradewa adalah putra bungsu dan pewaris Raja Samaratungga dan istrinya Dewi Tara. Sumber lain mengatakan bahwa Balaputradewa sebenarnya adalah adik dari Raja Samaratungga, dan bukan putranya. Teori sebelumnya lebih populer, menjadikan Balaputradewa sebagai pangeran Shailendra yang turun dari garis bangsawan Kerajaan Medang yang terkenal (pihak ayah) dan Kerajaan Sriwijaya (pihak ibu).

Ayah Balaputradewa, Raja Samaratungga, meninggal ketika ia masih kecil. Sebagai pewaris tahta yang masih muda, otoritas Balaputradewa di Jawa Tengah seringkali ditantang oleh para bangsawan setempat; ia bahkan dipaksa menerima bimbingan seorang pria bernama Rakai Garung, seorang anggota Dinasti Sanjaya yang menjadi kerabat Balaputradewa melalui pernikahan putranya, Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani, saudara perempuan Balaputradewa. Hingga pemerintahan Rakai Garung berakhir pada tahun 832 M ditandai dengan menghilangnya dirinya, maka pemerintahan Raja Balaputradewa di Jawa Tengah tetap relatif damai.

Namun akhirnya, keberadaan Shailendra di Jawa menemui ujungnya. Catatan sejarah sebelum prasasti Karangtengah 824 M menunjukkan bahwa Dinasti Shailendra hidup berdampingan dengan damai dengan Dinasti Sanjaya hingga pertengahan abad ke-9 M. Saat itu sekitar tahun 852 M, saudara ipar Balaputradewa yaitu Rakai Pikatan mulai menggalang dukungan para bangsawan setempat, dan Balaputradewa yang khawatir mencoba menekannya. Namun usahanya gagal total karena pengalamannya yang kurang dan akhirnya, Rakai Pikatan mengalahkan saudara iparnya.

Jawa kemudian jatuh ke tangan Dinasti Sanjaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Medang yang bertahan hingga abad ke-11 M, ketika Dinasti Sriwijaya menegaskan kembali dominasi mereka atas Jawa. Namun hingga saat itu, keberadaan Shailendra di Jawa secara efektif berakhir dengan kekalahan Balaputradewa, yang tercatat dalam prasasti Shivargrha. Mereka terpaksa meninggalkan Jawa pergi ke Sumatra, yang merupakan kursi dari Dinasti Sriwijaya dan rumah ibu Balaputradewa, Dewi Tara. Di sana, Balaputradewa menjadi penguasa tertinggi Kerajaan Sriwijaya.

The Nalanda inscription (sekitar 860 CE) found in India

Prasasti Nalanda (sekitar 860 M) ditemukan di India.

Sampai tahun 860 Masehi, Shailendra tidak lagi muncul dan prasasti Jawa manapun tidak menyebutkannya. Baru pada 860 Masehi nama mereka muncul kembali, kali ini di India dan di prasasti Nalanda. Prasasti Nalanda ditemukan di ruang depan Biara 1 di kompleks Biara Nalanda pada tahun 1921. Dalam prasasti yang terukir pada pelat tembaga ini, Balaputradewa dicatat sebagai Raja Suvarṇadvipa (Sumatra modern). Pelat ini mencatat pemberian dari Raja Shailendra Balaputradewa yang, karena “tertarik oleh berbagai keunggulan Nalanda”, telah membangun sebuah biara di sana.

Disebutkan bahwa Balaputradewa mengirim seorang duta besar ke Devapaladeva, Raja Bengala, memintanya untuk memberikan pendapatan dari lima desa untuk pembangunan dan pemeliharaan biara. Devapaladeva, sponsor setia Buddhisme, mengabulkan permintaannya. Bahkan, dikatakan bahwa Devapaladeva juga menyetujui pembangunan banyak kuil dan biara di Magadha, mempertahankan biara di Uddandapura (Odantapuri) dan melindungi Universitas Vikramshila. Tulisan itu berbunyi:

“Kami diminta oleh Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Suwarnadwipa melalui seorang utusan yang saya perintahkan, untuk membangun sebuah biara di Nalanda seiring dengan dekrit penganugrahan penghasilan untuk Buddha Bhagawan, berdiamnya semua kebajikan utama seperti Prajnaparamita; untuk persembahan, persembahan, tempat berlindung, pakaian, sedekah, tempat tidur, kebutuhan orang sakit seperti obat-obatan, dll dari Sangha para bhiksu yang terhormat dari empat penjuru, para Bodhisattva yang fasih dalam tantra, dan delapan tokoh suci agung (yaitu aryapudgalas); untuk proses penulisan dharma-ratna sutra-sutra Buddhis dan untuk pemeliharaan serta perbaikan biara (ketika) rusak.

Ada seorang raja Yavabhumi (Yava atau Jawa), yang dimuliakan dari Dinasti Sailendra, yang kaki teratainya bermekaran oleh kilauan permata di barisan mahkota yang bergetar di kepala banyak pangeran, dan namanya sungguh sesuai yaitu penakluk musuh yang pemberani (vira-vairi-mathana). Kemasyhurannya terjadi saat menginjakkan kakinya di wilayah istana (putih), di bunga lili air putih, di tanaman teratai, keong, bulan, melati dan salju dan dinyanyikan tanpa henti di semua penjuru, meliputi seluruh alam semesta. Pada saat raja mengerutkan kening dalam kemarahan, takdir musuh juga hancur bersamaan dengan hati mereka.”

 

Candi Terkait Dinasti Shailendra

Kembali ke Tab

Candi Terkait Dinasti Shailendra

Dinasti Shailendra adalah pembangun candi yang makmur dan penyebar agama Buddha yang berkuasa. Selama masa pemerintahan mereka, mereka membangun banyak candi Buddhis, banyak di antaranya masih berdiri hingga hari ini.

 

Gaya Arsitektur

Dinasti Shailendra membuat serangkaian monumen yang luar biasa, termasuk salah satunya adalah candi terbesar sepanjang masa yaitu Candi Borobudur yang terkenal di dunia. Dari miniatur stupa Borobudur yang berongga-rongga hingga candi kembar Plaosan, rupang-rupang dari Dinasti Shailendra mengadopsi bentuk dan gaya Jawa Tengah mereka yang khas meskipun asal muasalnya berasal dari seni India.

Borobudur, a world-famous example of architecture from the Shailendra Dynasty

Borobudur, contoh arsitektur terkenal di dunia dari Dinasti Shailendra

Mayoritas kompleks candi dan bangunan besar di Jawa Tengah bersifat Buddhis dan Shailendra berperan atas banyak monumen di sana, seperti Mendut, Pawon, Kalasan, Sewu dan banyak lagi.

Menganalisa dari gayanya, dipetakan ada dua periode pembangunan candi Buddhis selama masa Dinasti Shailendra. Yang pertama adalah pada masa Rakai Panangkaran, dan yang lain pada periode setelahnya, selama masa pemerintahan Raja Samaratungga.

Di masa awal, candi yang dibangun adalah Borobudur, Kalasan, Lumbung, Mendut, Pawon, Sari dan Sewu, sedangkan Plaosan dan Ngawen dibangun pada periode setelahnya.

Seperti yang diilustrasikan dalam The Buddhist temples of the Śailendra Dynasty in Central Java oleh Marijke I. Klokke, ada beberapa perbedaan yang jelas antara arsitektur di kedua periode tersebut. Misalnya, kepala monster di periode awal tidak memiliki rahang bawah dan kaki yang menghadap ke bawah. Di masa awal, struktur bangunan Buddhis yang besar dan candi-candi Hindu kecil ada di daerah pinggiran sedangkan pada masa setelahnya, candi-candi Hindu yang lebih besar dibangun dengan gaya ornamen yang lebih seragam di wilayah yang luas.

008

(Atas) Kepala monster periode awal
(Bawah) Kepala monster periode berikutnya

Pada masa sebelumnya, ornamen antefiks (blok vertikal yang berada di ujung ubin penutup dari atap) profilnya tidak teratur dan mengikuti ornamen pada permukaan yang menghadap ke luar. Sebaliknya, antefiks pada masa selanjutnya memiliki profil yang jelas. Ornamen yang bertalian di masa awal mengulang bentuk-bentuk geometris sementara hiasan-hiasan pada masa berikutnya muncul dalam bentuk bunga dengan empat kelopak, di samping bentuk-bentuk geometris. Motif daun, seperti daun berjari enam atau gulungan daun juga disertakan.

Studi ornamen Jawa Tengah menunjukkan bahwa gaya dan desainnya sudah sangat terlokalisasi, meskipun desainnya berasal dari India. Satu kesamaan adalah ornamen yang bertalian, misalnya, yang terdiri dari bujur sangkar dan lingkaran, ditemukan di Candi Banyunibo yang serupa dengan yang ada pada stupa nazar di Bodhgaya.

Pertukaran budaya, terutama kontak dengan Sri Lanka dan barang-barang dagang yang masuk ke Indonesia selama periode Tang, juga mempengaruhi seni Jawa Tengah selama periode Shailendra. Misalnya, sutra Tiongkok, yang diperkecil menurut ukurannya, digambarkan di bangunan utama kompleks Candi Sewu. Ada juga orang bijak berpenampilan Tionghoa di Sewu dan Merak.

 

Tiga Candi Mendut, Pawon dan Borobudur

Menurut Profesor Lokesh Chandra, Shailendra membangun candi-candi seperti Mendut dan Borobudur sebagai “kesepakatan yang penuh atas stabilisasi kedaulatan cakravartin dari Sailendra”. Serangkaian tiga candi – Mendut, Pawon dan Borobudur – disebutkan sebagai saling berhubungan. Terletak di garis lurus dari utara ke selatan, ketiga candi ini menunjukkan desain rupang yang serupa di badan candi.

Tiga candi Mendut, Pawon dan Borobudur terletak di garis lurus. Klik untuk memperbesar.

Prof. Chandra menyatakan bahwa Mendut dan Pawon terkait dengan kelas carya-tantra. Konstruksi mereka sesuai dengan informasi dalam teks tantra Indonesia, Sang Hyan Kamahayanan Mantranaya, yang mencakup syair ajaran yang diturunkan dari Mahavairocana-sutra dan Adhyardha-satika Prajnaparamita. Sutra Mahavairocana juga disebut sebagai Garbhadhatu mandala dalam tradisi Tiongkok-Jepang, dan istadewata utama dari tantra ini adalah Abhisambhodi Vairochana (bahasa Jepang: Garbhadhatu Vairochana).

Ketika merujuk ke Candi Mendut, Raja Dharanindra disebutkan telah menggunakan istilah teknis, carya-tantra Tathagata-kula. Tathagata-kula memiliki dua komponen, Mahavairocana-abhisambodhi-tantra dan Acala-kalpa, dan keduanya menunjukkan hubungan antara Candi Mendut dan Candi Pawon.

Every year, thousands of Buddhists walk from Mendut Temple to Borobudur Temple, passing through Pawon Temple as part of a Wesak procession commemorating Buddha Shakyamuni's birth, enlightenment and passing.

Setiap tahun, ribuan umat Buddhis berjalan dari Candi Mendut ke Candi Borobudur, melewati Candi Pawon sebagai bagian dari prosesi Hari Waisak untuk memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Buddha Shakyamuni. Klik untuk memperbesar.

Candi Mendut terkait dengan tantra Mahavairocan-abhisambodhi, sedangkan Kuil Pawon terkait dengan Acala-kalpa. Oleh karena itu, Pawon lebih dekat ke Mendut karena kedua candi dikatakan berhubungan, sementara Borobudur yang termasuk dalam yoga-tantra lebih jauh. Jarak antara Pawon dan Mendut adalah 1.150 meter, sedangkan jarak antara Pawon dan Borobudur adalah 1.750 meter – satu setengah kali jarak antara Pawon dan Mendut.

Dalam tradisi Tibet, tantra Mahavairocana segera disusul oleh Acala-kalpa di Kangyur. Karena Kangyur Tibet disusun secara sistematis, dengan urutannya ditentukan oleh keterkaitan antara perkembangan doktrinal, ritual dan filosofis, penempatan Mahavairocana-sutra dan Acala-kalpa di dalam Kangyur bukanlah suatu kebetulan. Sebaliknya, hal ini terjadi untuk menunjukkan hubungan yang dekat dan integral di antara mereka.

Oleh karena itu, jarak yang lebih dekat antara Pawon dan Mendut, serta jarak yang lebih jauh antara Pawon dan Borobudur merupakan indikasi bahwa candi-candi ini direncanakan sesuai dengan norma-norma naskah carya-tantra dan yoga-tantra.

Di era kontemporer, saat bulan purnama di bulan Mei atau Juni, umat Buddhis di Indonesia merayakan upacara Waisak tahunan dengan berjalan kaki (berpradaksina) dari Mendut, melewati Pawon, dan berhenti di Borobudur.

 

Candi Mendut

Lokasi

Candi Mendut ditemukan di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid di Magelang, Jawa Tengah. Berjarak tiga kilometer dari Candi Borobudur. Menurut De Casparis (1950), Mendut adalah “satu kesatuan kompleks dengan Pawon dan Borobudur” dan yang tertua dari antara ketiga candi tersebut.

Mendut01

Candi Mendut (klik untuk memperbesar)

Sejarah

Mendut dibangun oleh raja Dinasti Shailendra, yang diidentifikasi sebagai Samaratungga atau Dharanindra. Asal pastinya tidak jelas; beberapa mengatakan bahwa berdasarkan prasasti Karangtengah tahun 824 M, Samaratungga yang membangun Mendut, sementara sejarawan lainnya menganggapnya sebagai Dharanindra.

Arsitektur

Mendut berbentuk persegi panjang dan tinggi 26,4 meter. Berada di landasan setinggi dua meter dan memiliki 31 panel relief di sekelilingnya, dengan saluran untuk mengalirkan air dari jalan setapak.

Di dalam Candi Mendut, ada “Panca Tathagata” dari Buddhisme Vajrayana, dengan Buddha Wairocana sebagai istadewata utama, diapit oleh Avalokiteswara dan Bajrapani. Empat patung Buddha lainnya sudah tidak ada lagi, menyisakan empat relung kosong.

Di dinding di luar, delapan bodhisattwa berada di sudut, dengan Prajnaparamita di dinding kanan, Akasagarbha di dinding kiri, dan Lokeswara di dinding belakang.

Mendut02

Mendut03

 

Candi Pawon

Lokasi

Candi Pawon terletak di Desa Borobudur di Magelang, Jawa Tengah pada garis lurus yang membentang antara Mendut dan Borobudur. Juga dikenal sebagai Candi Bajranalan, Candi Pawon berjarak dua kilometer ke arah timur laut Candi Borobudur, dan satu kilometer di sebelah tenggara Candi Mendut.

Pawon01

Candi Pawon (klik untuk memperbesar)

Sejarah

Pawon berarti ‘dapur’ dalam bahasa Jawa, yang berasal dari kata dasar ‘awu’ (artinya ‘debu’). Pawon, dari kata ‘Per-awu-an’ (“tempat yang berisi abu”) yang juga dapat berarti sebuah candi penyimpanan abu raja yang dikremasi.

Nama lain Pawon, Bajranalan, berasal dari kata-kata Sanskerta ‘vajra’ (artinya ‘petir’ atau mengacu pada alat upacara Buddha) dan ‘anala’ (artinya ‘api’ atau ‘api’). Di Bali, diketemukan teks yang menggambarkan Vajranala, yang disebutkan duduk dalam kobaran api, murni seperti bulan musim gugur, dengan tiga mata dan empat lengan memegang tongkat, abhaya mudra, tasbih mala dan vas.

Api sebagai bagian dari nama alternatif Pawon sesuai dengan bangunan Pawon yang sebenarnya yang mana jendela-jendela kecil dibangun untuk mengeluarkan asap ketika upacara api pemurnian yang disebut ‘homa’ (atau ‘goma’). Ritual homa berasal dari ritual Weda, tetapi memuja para istadewata Buddhis dan dilakukan oleh para rohaniwan Buddhis.

Istadewata utama yang diseru dalam beberapa tradisi homa, seperti yang ada di Jepang, adalah Acalanatha (Fudo Myoo 不動明王). Dalam Empat Ritus Mudra untuk upacara homa (konsekrasi api) dari Jepang, keempatnya adalah:

  • Ritus pendahuluan 18 Langkah
  • Vajradhatu
  • Garbhadhatu
  • Homa atau Fudo (Acala)

Acala di Jepang selalu dilukiskan dengan nyala api dan segala perlambangannya, yang bersesuaian dengan keberadaannya sebagai Vajra-jval-anal-arka (Vajranala).

Dalam Chu Fo Pú-sa Sheng Hsiang Tsan, yang ditulis Changkya Rolpai Dorje, Jvalanala (bahasa Tibet: me-ltha-hbar-ba) dianggap sebagai manifestasi dari Acala. Oleh karena itu, Candi Pawon pastilah merupakan kuil homa dengan Acala sebagai istadewata utama.

Arsitektur

Kuil Pawon didirikan pada landasan persegi panjang yang naik 1,5 meter dari tanah. Ada landasan 20-sudut di tepi permukaan dasar sementara sisi landasan dihiasi dengan rupang yang menggambarkan bunga dan tanaman merambat menempel. Beberapa pengamat telah mencatat bahwa Candi Pawon lebih menyerupai candi Hindu daripada candi Buddhis lainnya, terutama karena tubuh Candi Pawon ramping.

Pawon02

Pawon03

 

Candi Borobudur

Lokasi

Borobudur adalah candi Buddhis terbesar di dunia dan terletak di kota Muntilan, Jawa Tengah. Berada sekitar 42 kilometer barat laut Yogyakarta, kompleks candi ini dibangun di antara dua gunung berapi kembar, Sundoro-Sumbing dan Merbabu-Merapi, dan dua sungai, Progo dan Elo.

Mendut01

Candi Borobudur (klik untuk memperbesar)

Sejarah

Dikisahkan membutuhkan waktu 75 tahun untuk membangun dan menyelesaikannya pada masa Raja Samaratungga, secara misterius Borobudur kemudian ditinggalkan karena perhatian tergeser ke Timur, dan juga terjadinya konversi Jawa ke Islam. Penemuan kompleksnya adalah berkat Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814. Raffles menindaklanjutinya dengan merujuk pada Hermann Cornelius, insinyur Belanda yang ia kirim untuk menggali situs tersebut. Untuk mengungkap monumen ini, Cornelius dan 200 anak buahnya menebang pohon, membakar tumbuhan dan menggali tanah.

Seluruh kompleks sepenuhnya digali pada tahun 1835 dan sejak itu banyak pekerjaan restorasi dan pelestarian yang telah dilakukan, termasuk yang didanai oleh pemerintah Hindia Belanda, serta pemerintah Indonesia dan UNESCO. Kompleks candi ini terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1991.

Situs suci ini disebutkan dalam dua prasasti. Menurut prasasti Karangtengah bertajuk tahun 824 M, bangunan ini disebut sebagai Jinalaya, “alam bagi mereka yang telah menaklukkan hasrat duniawi dan merealisasi pencerahan”, yang diresmikan oleh Pramodhawardhani, putri Raja Samaratungga. Ia juga diidentifikasi sebagai Bhūmi Sambhāra Bhudhāra, “gunung kebajikan gabungan dari sepuluh tingkat Bodhisattwahood”, dalam prasasti Tri Tepusan bertajuk 842 M.

Arsitektur

Borobudur adalah sebuah keajaiban arsitektur. Sang arsitek, Gunadharma, yang “… membawa tongkat pengukur, mengetahui berbagai penggolongan ketika menilik dirinya terdiri dari bagian-bagian”, dikatakan telah memanjat Gunung Menoreh dan memerintahkan para pembangunnya untuk menyelaraskan konstruksi dengan bintang ‘utara sejati’. Relief sebuah kapal di sebelah timur Borobudur menunjukkan sebuah sampan cadik ganda berlayar di bawah benda-benda langit. Pada zaman dahulu, orang Indonesia dikisahkan telah dapat mengarungi samudra semata-mata berdasarkan posisi bintang-bintang.

Boru06

Butuh sekitar 55.000 meter kubik batu andesit yang dipotong sesuai ukurannya, yang nantinya diangkut ke situs dan diletakkan tanpa mortar untuk membangun monumen ini, dengan sistem drainase berupa 100 moncong berbentuk raksasa atau Makara di setiap sudut.

Kompleks Borobudur merupakan kombinasi dari stupa (struktur hemisfer Buddhis yang dibangun sebagai rumah relik), dengan candi di pegunungan dan mandala Tantra Buddhis, yang merupakan simbol spiritual dan ritual yang mewakili alam semesta, kosmologi Buddhis, dan hakekat batin. Kompleks ini memiliki salah satu perpaduan relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia, dengan 2.672 panel relief dan 504 patung Buddha. 72 patung Buddha, duduk di dalam stupa berlubang yang mengelilingi kubah stupa pusat.

Pondasinya berukuran sekitar 118 meter di setiap sisinya dengan sembilan landasan. Rute dimulai dari dasar monumen, lalu naik ke atas melewati tiga tingkat alam di kosmologi Buddhis:

  1. Kāmadhātu (alam nafsu keinginan) diwakili oleh pondasi landasan.
  2. Rupadhatu (alam bentuk) diwakili oleh lima landasan persegi, dan
  3. Arupadhatu (alam tanpa bentuk) diwakili oleh tiga landasan melingkar yang polos.

Peziarah harus melewati tangga dan koridor dengan 1.460 panel relief naratif di dinding dan langkan. ‘Perjalanan’ ini mirip dengan jalan menuju pembebasan, di mana para makhluk memulai dari tingkat terendah di alam nafsu (kamaloka). Dengan realisasi dan kemajuan spiritual, seseorang bergerak ke alam bentuk (rupaloka) dan, kemudian, ke alam tanpa bentuk (arupaloka).

Tingkat pertama Borobudur, menunjukkan relief yang menggambarkan Mahakarmawibhanga (Sutra Klasifikasi Karma yang Agung) dan Lalitawistara (Sutra Sandiwara Spiritual), menunjukkan cara untuk menemukan penggugahan pribadi dari samsara.

Penggambaran ini diikuti oleh relief-relief yang menggambarkan Gandhavyuha (Jalan Masuk ke Realita Keberadaan) dan Bhadracari (Ikrar Samantabhadra untuk tidak masuk ke dalam nirwana tetapi bertindak untuk mengusahakan pencerahan kepada masyarakat). Ajaran ini menunjukkan jalan Mahayana seorang Bodhisattwa. Gandhawyuha, yang menampilkan Sudhana dan guru-gurunya, menunjukkan bahwa segala jenis orang dapat mengajari kita sesuatu jika kita dapat mengenali kualitas spesial mereka. Masing-masing dari gurunya, dengan yang terakhir Samantabhadra, mengajar Sudhana tentang sifat kebijaksanaan dan welas asih dan kemudian mendorongnya untuk melanjutkan perjalanan.

Boru02

Boru03

Boru04

Boru05

 

Candi Sewu

Lokasi

Candi Sewu terletak di Desa Bugisan di Kecamatan Prambanan di Klaten, Jawa Tengah. Terletak 17 kilometer dari Kota Yogyakarta, situs ini dianggap satu kompleks dengan Candi Prambanan, meskipun terletak dua kilometer di utara Candi Prambanan.

Mendut01

Candi Sewu (klik untuk memperbesar)

Sebagai candi Buddhis terbesar kedua di Jawa, Sewu berarti ‘seribu’, meskipun hanya memiliki total 253 bangunan. Nama ‘seribu kuil’ sesuai dengan legenda lokal Roro Jonggrang yang kisahnya terkait dengan asal usul Candi Sewu.

Sebagai balasan atas serangan sebelumnya, tentara Pengging mengepung Boko, negara tetangganya, dan merebut istana. Dalam prosesnya, pemimpin mereka Prabu Boko dibunuh oleh kekuatan gaib Pangeran Bandung Bandawasa. Saat berada di Boko, Pangeran Bandung Bandawasa dari Pengging menjadi terpesona oleh kecantikan Putri Boko Roro Jonggrang.

Sang pangeran melamar, tetapi sang putri yang berkabung menolak tawarannya. Karena Bandung Bandawasa sangat bertekad, sang putri akhirnya mengalah tetapi dengan dua syarat: pertama, sang pangeran harus membangun sebuah sumur bernama Jalatunda dan kedua, ia harus membangun seribu candi dalam satu malam.

Sekali lagi, menggunakan kekuatan gaibnya, sang pangeran memanggil jin untuk memulai konstruksi. Ketika sumur selesai, ia ditipu untuk masuk ke dalam sumur dan dikubur di dalam sumur. Namun, ia berhasil melarikan diri. Sang pangeran kemudian melanjutkan untuk membangun 999 kuil pertama dan mulai mengerjakan yang terakhir. Untuk menghentikannya dari mencapai tujuan, sang putri dan pelayannya menyalakan api di timur dan menumbuk padi dengan marah, berusaha menipu para jin dengan melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan saat fajar. Para Jin lalu termakan umpan dan buru-buru melarikan diri kembali ke bumi, meninggalkan candi terakhir yang belum selesai.

Ketika sang pangeran mengetahui tentang hal ini, ia sangat marah oleh penipuan itu dan ia mengutuk Roro Jonggrang, mengubahnya menjadi fitur di candi terakhir, yaitu rupang Durga di ruang kamar utara dari kuil utama Prambanan, yang saat ini masih dikenal sebagai Roro Jonggrang atau Gadis Ramping. 1000 candi yang dibangun adalah bagian dari kompleks Candi Sewu.

Beberapa mengklaim bahwa legenda tersebut mencerminkan perebutan kekuasaan historis antara Shailendra dan Dinasti Sanjaya untuk menguasai Jawa Tengah yang terjadi di wilayah tersebut selama abad ke-9 M. Raja Prabu Boko dalam legenda itu terinspirasi oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Shailendra, Pangeran Bandung Bondowoso adalah Rakai Pikatan, seorang pangeran dari Dinasti Sanjaya, sementara Roro Jonggrang adalah Pramodhawardhani, istri Rakai Pikatan dan putri Raja Samaratungga.

Teori lain yang mungkin lebih populer adalah bahwa legenda itu sesuai dengan perebutan kekuasaan antara Balaputradewa, ahli waris Shailendra, dengan saudara perempuannya Pramodhawardhani. Dibantu suaminya Rakai Pikatan, mereka mengakhiri pemerintahan Shailendra di Jawa Tengah dan Balaputradewa-pun mundur ke Sriwijaya.

Sejarah

Pembangunannya dimulai pada abad ke-8 M pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, dan diselesaikan pada masa Raja Dharanindra dan kemudian diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Candi Sewu adalah candi Buddhis terbesar di wilayah dataram Prambanan, dibangun sebelum candi Siwaistik Prambanan dan 37 tahun sebelum pembangunan Candi Borobudur yang megah.

Candi ini berfungsi sebagai candi Buddhis kerajaan karena terletak di jantung kota Mataram dan upacara keagamaan untuk kerajaan secara rutin diadakan di candi ini.

Keindahan candi ini dijelaskan dalam prasasti Manjushrigrha (tanggal 792 M). Ada empat candi lain di dekatnya; Candi Bubrah, yang terletak hanya beberapa ratus meter selatan, dan Candi Gana, yang terletak di sebelah timur Candi Sewu, disebutkan sebagai candi pelindung bagi Candi Sewu.

Ada juga reruntuhan Candi Lor di utara Sewu, dan Candi Kulon di sisi barat, yang keduanya sekarang dalam kondisi yang memprihatinkan.

Dua prasasti terkenal, yaitu prasasti Kelurak dan Manjushrigrha, masing-masing berasal dari tahun 782 M dan 792 M, keduanya menunjukkan bahwa kompleks tersebut mungkin disebut sebagai ‘Manjushrigrha’, yang berarti ‘tempat tinggal Manjushri’. Manjushri, yang berarti ‘kemuliaan lembut’, adalah Bodhisattwa kebijaksanaan transenden.

Karena Candi Sewu sangat dekat dengan candi Hindu Prambanan, kemungkinan menunjukkan hubungan yang harmonis antara komunitas Hindu dan Buddhis ketika candi dibangun. Penguasa zaman itu, Rakai Pikatan, adalah seorang pangeran Hindu yang menikahi seorang putri Buddhis dari Dinasti Shailendra, Pramodhawardhani.

Candi itu tertimbun di bawah puing-puing vulkanik dan akhirnya ditemukan kembali pada awal abad ke-19 M, ketika arkeolog Belanda, Hermann Cornelius, menciptakan litograf pertama candi utama Candi Sewu dan Candi Perwara pada tahun 1807. Gambar Candi Sewu juga dimasukkan di buku Sir Thomas Stamford Raffles berjudul The History of Java. Pembersihan dan rekonstruksi candi utama baru dimulai pada tahun 1908 dan hingga hari ini, upaya rekonstruksi dan restorasi masih terus berlanjut.

Arsitektur

Candi Sewu dibangun di lahan berukuran 185 meter dari utara ke selatan dan 165 meter dari timur ke barat. Pintu masuk utama ada di sebelah timur, meskipun ada pintu masuk di masing-masing dari empat arah mata angin. Anda akan menemukan dua patung Dwarapala di setiap pintu masuk sebagai penjaga gerbang. Kompleks ini terdiri dari 249 bangunan di mandala. 240 candi penjaga, yang dikenal sebagai Candi Perwara yang ukurannya lebih kecil, semuanya dibangun dalam empat baris konsentris persegi panjang. Dua baris di sisi luar terdiri dari 168 candi yang lebih kecil sedangkan dua baris di sisi dalam membentuk 72 candi.

Meskipun mereka menyerupai satu sama lain dalam format bingkai persegi, candi-candi ini tidak menjadi rumah bagi rupang atau orientasi yang sama. Candi pokok berupa poligon dengan 20 sisi berbentuk salib, berdiri di ketinggian 30 meter dan lebar 29 meter. Ada empat bangunan di setiap titik mata angin yang menghadap ke luar, lengkap dengan tangga, pintu masuk, dan kamar. Ada lima kamar di candi pusat; ruangan utama ada di tengah sementara kamar-kamar kecil terletak di masing-masing dari empat arah mata angin.

Sewu02

Sewu03

Sewu04

 

Candi Kalasan

Lokasi

Terletak di Desa Kalasan di barat Prambanan dan 15 kilometer dari Yogyakarta, candi ini khusus didedikasikan untuk Buddha Tara, di sisi selatan jalan utama antara Yogyakarta dan Solo.

Kalasan01

Candi Kalasan (klik untuk memperbesar)

Sejarah

Prasasti Kalasan, ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara Pranagari, yang ditemukan di dekat candi menunjukkan bahwa itu selesai pada tahun Saka 700 Saka atau 778 M.

Arsitektur

Landasan candi berbentuk bak salib Yunani. Tubuh candi penuh hiasan dengan ukiran yang indah dan secara khusus dilapisi dengan getah pohon bajralepa.

Ada sebuah kamar di masing-masing dari empat titik mata angin utama, lengkap dengan tangga dan gerbang. Meskipun tidak ada patung yang ditemukan di dalam candi sekarang, adanya tahta teratai menunjukkan indikasi bahwa kamar-kamar itu pastinya dahulu memiliki rupang Buddha.

Atapnya yang berbentuk segi delapan menampilkan gambar-gambar indah dari para Buddha yang menghadap ke empat titik mata angin, dan setiap gambar Buddha diapit oleh sepasang bodhisattwa sebagai relief.

Kalasan02

Kalasan03

 

Candi Plaosan

Lokasi

Satu kilometer di utara Candi Prambanan terdapat Candi Plaosan, sebuah candi unik yang memadukan simbol agama Hindu dan Buddha dalam ukiran candi mereka yang rumit. Candi ini terdiri dari dua kelompok bangunan, Candi Plaosan Utara yang disebut Plaosan Lor dan Candi Plaosan Selatan yang disebut Plaosan Kidul. Kedua kelompok bangunan ini memiliki kesamaan dan karena itu, juga disebut kuil kembar. Mereka dulunya bagian dari gedung yang sama tetapi sayangnya sekarang dipisahkan oleh jalan umum.

Plaosan01

Candi Plaosan (klik untuk memperbesar)

Kelompok candi timur laut ini berjarak sekitar tiga kilometer dari Candi Prambanan dan sekitar satu kilometer dari Candi Sewu.

Sejarah

Asal usul candi ini dikaitkan dengan persatuan antaragama yang besar antara dua dinasti yang berkuasa di Jawa Tengah selama abad ke-9 M. Putri Buddhis Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga, raja terakhir dari Dinasti Shailendra. Ia menikahi Rakai Pikatan, seorang pangeran dari Dinasti Hindu Sanjaya. Pramodhawardhani menjadi ratu ketika Rakai Pikatan dinobatkan. Beberapa sumber mengatakan bahwa pasangan ini memainkan peran penting dalam pembangunan beberapa candi Hindu dan Budha yang paling megah di Jawa Tengah.

Arsitektur

Candi Plaosan Utara memiliki halaman tengah dengan aula berukuran 21,62 meter kali 19 meter. Pintu masuk ke halaman ada di sebelah barat. Ada tiga altar di bagian timur aula. Di altar timur, anda akan melihat pratima Amitabha, Ratnasambhawa, Wairochana dan Akshobhya. Di altar utara adalah pratima Samantabadhra dan Ksitigarbha, sementara di altar barat adalah gambar Manjushri.

Candi Plaosan Selatan juga memiliki aula di tengah, dikelilingi oleh delapan candi kecil. Anda akan menemukan di sana pratima Tathagata Amitabha, Bajrapani dengan atribut vajra dan Prajnaparamita, yang dianggap “ibu dari semua Buddha”.

Ada relief yang menarik dengan citra pria dan wanita, yang mewakili penyokong kedua biara. Seorang pria duduk bersila dengan tangan dalam gerakan menyembah. Pria lain duduk dikelilingi oleh enam pria yang lebih kecil, dan ia membentuk waradamudra (melambangkan dispensasi anugerah) dengan vas di kakinya. Ada juga rupa seorang wanita yang berdiri dengan buku-buku, palet dan vas di sekelilingnya.

Ada 116 kubah tambahan dan 50 kuil tambahan di kompleks candi ini. Kubah tambahan dan kuil pelengkap terletak di setiap sisi candi utama. Ada juga prasasti yang ditemukan, satu di koin emas di utara candi utama dan satu lagi di atas batu di salah satu candi pelengkap.

Berbeda dari candi-candi lain pada zaman itu, teras Candi Plaosan memiliki permukaan yang halus. Dikatakan bahwa ini disebabkan oleh fungsi candi menjaga sutra-sutra Tripitaka yang dimiliki oleh para bhiksu.

Menurut sebuah teori yang dipaparkan oleh Nicholas Johannes Krom, kepala Masyarakat Arkeologi Belanda awal abad ke-20 M, kedua wihara disponsori oleh para pelindung yang berpengaruh dan dibangun untuk para biarawan pria dan wanita – wihara yang menghadap ke selatan yang menggambarkan sosok laki-laki adalah sebuah biara bagi para bhiksu , sementara bagian utara yang menggambarkan sosok wanita untuk bhiksuni.

 

Candi Ngawen

Lokasi

Merupakan kompleks candi Buddhis dari abad ke-8 M, Candi Ngawen juga dikenal sebagai Kuil Ngawen, terletak di Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Fitur khusus dari candi ini adalah patung singa yang terletak di sudut candi. Ngawen diketemukan membentuk garis lurus dari barat ke timur, bersama dengan tiga candi terdekat lainnya yaitu Mendut, Pawon dan Borobudur.

Sejarah

ngawen01

Candi Ngawen (klik untuk memperbesar)

Ada diskusi bahwa candi ini adalah kuil Venuvana yang dibangun oleh salah satu raja Shailendra, yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah. Kata “Ngawen” berarti bambu, sedangkan “Venuvana” adalah hutan bambu.

Arsitektur

A kinnara is a mythological creature. In Southeast Asia, they are typically depicted in pairs - the Kinnara and Kinnari, his female counterpart. These benevolent half-human, half-bird creatures are believed to come from the Himalayas, watching over the well-being of humans in times of trouble or danger.

Kinnara adalah sosok makhluk mitologis. Di Asia Tenggara, mereka biasanya digambarkan berpasangan – Kinnara dan Kinnari, pasangan wanitanya. Makhluk setengah manusia, setengah burung yang baik hati ini diyakini berasal dari Himalaya, memantau kesejahteraan manusia di saat kesulitan atau bahaya. Klik untuk memperbesar.

Terletak di antara desa dan sawah, kompleks candi ini terdiri dari lima candi, dengan dua candi utama dan tiga candi perwara (tambahan).

Ruang utama memiliki rupang Buddha Ratnasambhava, meskipun sekarang tanpa kepala karena candi ini menderita insiden penjarahan yang mengerikan. Di setiap sudut candi utama, patung singa berdiri sebagai penjaga sementara landasan candi menampilkan kinnara. Anda juga dapat menemukan relung dengan ukiran gaya Jawa kuno yang menjadi tempat rupang zaman dahulu.

Di dua candi, singa digambarkan dalam posisi berdiri dengan kaki belakang dan kaki depan ditekuk. Di tiga candi yang tersisa, singa digambarkan dalam posisi berdiri dengan kaki belakang dan kaki depan menopang kuil. Singa di Ngawen memiliki ekspresi wajah dan bentuk tubuh yang sama dengan singa di Candi Borobudur, walaupun posisinya berbeda.

 

Artefak Terkait Dinasti Shailendra

Kembali ke Tab

Artefak Terkait Dinasti Shailendra

Untuk mengisi candi dan tempat ibadah mereka, Dinasti Shailendra memiliki banyak pengrajin, pematung, pelukis dan pemahat yang membuat patung Buddha dan perlengkapan ritual. Ini hanyalah beberapa artefak luar biasa yang muncul dari hasil penggalian arkeologis.

 

Sosok Manjushri Perak

ShaiArt01

Dinasti Shailendra adalah pelindung Buddhisme Mahayana dan memuja Buddha Manjushri sebagai dewa utama mereka. Pembangunan sebuah candi agung bernama Vajrāsana Mañjuśrīgṛha (Rumah Vajra Mañjuśrī) dijelaskan dalam prasasti Kelurak dan Manjushrigrha. Setelah diidentifikasi sebagai Candi yang saat ini bernama Sewu, bangunan ini adalah candi terbesar kedua setelah Borobudur dan dibangun pada abad ke-8 M.

Sosok Manjushri perak ini ditemukan di Ngemplak Semongan, Indonesia. Manjushri menurut tradisi artistik Shailendra digambarkan sebagai pemuda yang tampan. Gaya ini mirip dengan seni Kerajaan Pala di Nalanda, India. Dia duduk dengan kaki kanan ke bawah, ditopang oleh teratai dan kaki kiri ke atas, sementara telapak tangan kanannya terbuka menghadap ke bawah dan tangan kirinya memegang utpala (teratai biru). Ada gambar corak bunga di setiap telapak tangannya dan Ia mengenakan kalung taring harimau.

 

Timbunan Wonoboyo

ShaiArt02

Timbunan Wonoboyo mengacu pada artefak emas dan perak dari Kerajaan Medang abad ke-9 M di Jawa Tengah, Indonesia. Ditemukan pada bulan Oktober 1990, di Dusun Plosokuning, Desa Wonoboyo, temuan arkeologis yang signifikan ini mencakup lebih dari 1.000 objek upacara, mulai dari mangkuk emas hingga gelang dan cincin.

Desain yang rumit dengan prasasti menunjukkan kualitas dan pengerjaan pengrajin Jawa selama periode waktu itu. Timbunan ini dianggap sebagai milik raja atau individu berkedudukan tinggi selama masa pemerintahan Raja Balitung (899 – 911 M). Ada kemungkinan bahwa lokasi di mana harta ini ditemukan adalah pertapaan kerajaan, karena ditemukannya mangkuk dana emas di gudang Wonoboyo.

A golden bowl with scenes from the Ramayana is part of the collection

Mangkuk emas dengan ilustrasi panorama dari Ramayana sebagai bagian dari penimbunan Wonoboyo.

Large crescent shaped necklace which could have adorned the royal elephants in procession. There were also large anklets that fit the feet of elephants.

Kalung besar berbentuk bulan sabit yang biasa menghiasi gajah kerajaan dalam prosesi. Ada juga gelang kaki besar yang pas dengan kaki gajah.

A golden ladle that was used in rituals, according to the inscription on its rim

Entong emas yang digunakan dalam ritual, sesuai dengan tulisan di pinggirnya.

Barang-barang tersebut sekarang ditampilkan di Ruang Harta Karun di Museum Nasional Indonesia, Jakarta dengan replika di Museum Prambanan.

 

Regalia Emas Suci Jawa

ShaiArt07

Koleksi 38 ornamen ini adalah salah satu set terlengkap yang ditemukan hingga saat ini, karena setiap keping saling berhubungan satu sama lainnya. Barang-barang yang ditemukan termasuk pita lengan, ikat pinggang atau sabuk, hiasan berbentuk daun, dan lainnya. Hiasan berbentuk daun ini memiliki gulungan cakram teratai gaya India menyerupai yang ditemukan di kompleks Candi Borobudur.

ShaiArt08

Set ini dapat dibuat untuk rupang-rupang Buddha, atau dikenakan oleh raja atau ratu karena merupakan kebiasaan bagi raja dan ratu untuk mengenakan harta yang diperuntukkan bagi para dewa pada hari-hari khusus. Karena ornamen ini menyerupai yang dikenakan oleh Manjushri, seperti tali dada, sangat mungkin ornamen ini diperuntukkan bagi rupang Manjushri.

 

Manjushri Batu

001

Bodhisattva Manjushri dari andesit berasal dari abad ke-9 M ditemukan di Jawa Tengah. Saat ini ditempatkan di Rijksmuseum di Amsterdam, Belanda. (Foto oleh: PHAS / Grup Gambar Universal via Getty Images)

Rupang Manjushri ini terbuat dari andesit, batuan vulkanik yang gelap dan berbutir halus yang merupakan unsur umum lava di beberapa daerah. Tangan rupang yang hilang mungkin pernah membuat pose tangan memutar roda Dharma (dharmachakra mudra) untuk melambangkan permulaan pemutaran ajaran pencerahan Buddha.

 

Manjushri Perunggu

004

Ditemukan di Jawa Tengah dan berasal dari paruh kedua abad ke-9 M hingga awal abad ke-10 M. (Sumber: Perunggu Kuno Indonesia: Katalog Pameran di Rijksmuseum Amsterdam dengan Pengantar Umum, oleh Marijke J. Klokke dan Pauline C. M. Lunsingh Scheurleer)

Duduk dalam posisi dhyana-mudra (meditasi), rupang perunggu Buddha Manjushri ini memiliki tali yang melintang di dadanya, sebuah fitur yang dikenal sebagai channawira yang umum dalam perwujudan dewi dan dewa yang berusia di bawah 16 tahun. Fitur lain dari patung ini adalah tiga helai rambut ke atas yang berputar (dikenal sebagai tricira atau sikhandaka), yang merupakan fitur khusus dari gaya memahat Indo-Jawa dan fitur umum pada dewa yang digambarkan dalam rupa anak laki-laki.

 

Ornamen Tongkat Bhiksu dan Genta

002

Berasal antara 930 dan 1.500 M. Terbuat dari perunggu dan tingginya sekitar 18,8 cm dan lebar 11,4 cm.

Ornamen mahkota adalah benda yang menandai bagian atas atau akhir suatu objek, dan sering berfungsi sebagai fitur dekoratif atau hiasan. Ornamen ini menghiasi tongkat bhiksu dengan gemerincing cincin, yang sekarang telah hilang, untuk mengisyaratkan kehadirannya, menghimbau orang-orang di sekitarnya untuk memberikan sedekah. Sebuah bola longgar di dalam genta, yang harus berdiri di atas dasar kaki cabang tiga, bergetar setiap kali genta dipindahkan.

 

Vajrasattva Perak

003

Terbuat dari perak dengan dasar perunggu, dan tingginya sekitar 13,5 cm, lebar 7,7 cm, dan dalam 6,5 cm.

Vajrasattva (artinya ‘makhluk halilintar’), yang praktiknya sangat baik bagi purifikasi karma, merupakan salah satu dewa Buddhis berkedudukan tinggi. Ia digambarkan di sini dengan duduk di atas tahta teratai, dihiasi dengan pakaian kerajaan. Di tangan kanannya, ia memegang bajra sejajar dada dan di tangan kirinya, ia memegang genta yang terletak di pangkuannya.

 

Manjushri Perunggu

006

Berasal dari antara abad ke-9 M dan awal abad ke-10 M. Terbuat dari perunggu dan tingginya sekitar 7 cm, lebar 4 cm, dan kedalaman 5,5 cm.

Manjushri digambarkan di sini ketika duduk di atas tahta teratai dengan kaki terlipat dalam pose padmasana (posisi meditasi lotus penuh). Tangan kanannya membentuk varamudra, diarahkan ke bawah dengan telapak tangannya terbuka, melambangkan pemberian berkah. Tangan kirinya memegang batang utpala (teratai biru), yang berdiri hingga sebahu. Mengenakan rok, ia dihiasi dengan 13 ornamen biasa dari pangkatnya.

 

Genta

005

Berasal dari antara 800 dan 900 M. Terbuat dari perunggu, dan tingginya sekitar 18,5 cm dan kedalaman 8 cm.

Bel tangan, atau ghanta, dibunyikan oleh para bhiksu Buddhis selama ritual. Cakram api melingkar dengan salib di tengahnya menggambarkan chakra, roda yang melambangkan ajaran Buddha. Empat wajah Buddha di atas lonceng menghadap ke empat arah mata angin.

 

Buddha Duduk (dengan tulisan di pangkalan)

Berasal dari abad ke-9 M, patung Buddha duduk perunggu yang indah dan rumit ini ditemukan di Jawa dan tingginya sekitar 9,5 cm.

 

Museum Balaputradewa

Museum Balaputradewa di Palembang, Sumatra berisi banyak artefak berharga dari Dinasti Shailendra.


Atau saksikan di YouTube
https://www.youtube.com/watch?v=gkH1TllMJSo
 

 

Galeri

Kembali ke Tab

Galeri Gambar Berkenaan Dinasti Shailendra

Di bawah ini adalah beberapa karya seni untuk anda nikmati. Semua ini diciptakan oleh pengrajin Dinasti Shailendra, atau oleh seniman yang sejak saat itu telah terinspirasi oleh Dinasti Shailendra termasuk bangunan, monumen dan karya seni yang mereka ciptakan. Dalam beberapa contoh di bawah ini, karya seni ini berusaha menangkap beberapa adegan akan seperti apa kehidupan selama masa kejayaan Dinasti Shailendra.

Sebuah lukisan Borobudur karya Affandi (1907 – 1990), seorang pelukis ekspresionis Indonesia. Klik untuk memperbesar.

Panen Raya Borobudur (atau Grand Harvest Borobudur), sebuah lukisan karya Pardoli Fadli (2009). Klik untuk memperbesar.

Candi Borobudur oleh Splendid Art Prints. Gambar diproduksi sebagai bagian dari buku bergambar anak-anak yang diterbitkan oleh Industrie-Comptoir di Jerman (1790 – 1830). Klik untuk memperbesar.

Sebuah foto tahun 1897 tentang reruntuhan Candi Sewu sebelum pekerjaan restorasi dimulai. Klik untuk memperbesar.

Sebuah tahun 1807 litograf reruntuhan Candi Sewu sedang dibersihkan dan dipulihkan, dibuat oleh arkeolog Belanda Hermann Cornelius. Diberi label salah di sini sebagai ‘Bramin Temple’. Klik untuk memperbesar.

Kesan seniman tentang reruntuhan Candi Prambanan dan Sewu. Klik untuk memperbesar.

Patung Dewi Durga di Candi Prambanan. Dikatakan bahwa patung Durga ini mirip dengan Pramodhawardhani, permaisuri Rakai Pikatan. Klik untuk memperbesar.

Patung Avalokiteswara berasal dari abad ke-9 M, dari periode Sriwijaya. Itu ditemukan di distrik Chaiya, Thailand.

Arca emas Avalokiteswara dari periode Sriwijaya. Karya seni ini ditemukan di Muarabulian di Jambi, Indonesia. Klik untuk memperbesar.

Patung Wairocana perunggu 34 cm dari periode Sriwijaya, berasal dari abad ke-9 M. Klik untuk memperbesar.

 

Kembali ke Tab

Go to top

 

Rekomendasi Bacaan (Unduh Gratis)

Mauro Jambi, the Capital of Srivijaya (klik untuk mengunduh PDF)

An Introduction to Indonesian Historiography (klik untuk mengunduh PDF)

 
Sumber:

  • Wikipedia, The Free Encyclopedia, Shailendra Dynasty, February 5, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Shailendra_dynasty (accessed: 11 May 2019)
  • Soedjatmoko, ‘An Introduction to Indonesian Historiography’, Jakarta, Indonesia, Equinox Publishing, 2007.
  • ‘Shailendra Dynasty’, Encyclopaedia Britannica, https://www.britannica.com/topic/Shailendra-dynasty, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Sailendra’, New World Encyclopedia, 2015, http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Sailendra, (accessed 20 June 2019).
  • ‘The Sailendra Dynasty: Builders of Borobodur, Agents of Buddhism’, Searching in History, 2015, https://searchinginhistory.blogspot.com/2015/04/the-sailendra-dynasty-builders-of.html, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Samaragrawira’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2015, https://en.wikipedia.org/wiki/Samaragrawira, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Balaputra’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Balaputra, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Dharanindra’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Dharanindra, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Mendut’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Mendut, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Mendut Temple: Witness the Holiest Day of the Buddhist Year in Indonesia’, Wonderful Indonesia, 2019, https://www.indonesia.travel/my/en/destinations/java/yogyakarta/mendut-temple, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Plaosan Temples’, Lonely Planet, https://www.lonelyplanet.com/indonesia/attractions/plaosan-temples/a/poi-sig/1217643/356546, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Sewu Temple’, Indonesia-Tourism, http://www.indonesia-tourism.com/yogyakarta/sewu-temple.html, (accessed 20 June 2019).
  • Sparavigna, Amelia Carolina Sparavigna, ‘The Sewu Temple and the Zenithal Passage of the Sun, Available from SSRN, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Sewu’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Sewu, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Sejarah Candi Sewu Singkat dan Legendanya’, SejarahLengkap.com, https://sejarahlengkap.com/agama/buddha/sejarah-candi-sewu, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Candi Sewu’, Alodia, https://www.alodiatour.com/candi-sewu/, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Ngawen’, Wikipedia: The Free Encyclopedia, 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Ngawen, (accessed 20 June 2019).
  • ‘Ngawen Temple, Magelang’, Indonesia-Tourism, https://www.indonesia-tourism.com/forum/showthread.php?52201-Ngawen-Temple-Magelang, (accessed 20 June 2019).
  • andigital, ‘Ngawen Temple’, Temple of Java, http://templeofjava.blogspot.com/2011/01/ngawen-temple.html, (accessed 20 June 2019).

 

Untuk membaca informasi menarik lainnya:

 

Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:

If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team

DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW

Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.

We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.

Leave a Reply

Maximum file size: 15MB each
Allowed file types: jpg, jpeg, gif, png

 

Maximum file size: 50MB
Allowed file type: mp4
Maximum file size: 15MB each
Allowed file types: pdf, docx

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Blog Chat

BLOG CHAT

Dear blog friends,

I’ve created this section for all of you to share your opinions, thoughts and feelings about whatever interests you.

Everyone has a different perspective, so this section is for you.

Tsem Rinpoche


SCHEDULED CHAT SESSIONS / 聊天室时间表

(除了每个月的第一个星期五)
SUNDAY
8 - 9PM (GMT +8)
4 - 5AM (PST)

UPCOMING TOPICS FOR NOVEMBER / 十一月份讨论主题

NOTICE:
Weekly Blog Chat discussion pause from November10th to December 8th, 2024.
Resume on December 15th (Sunday) 8 pm (GMT +8).

Please come and join in the chat for a fun time and support. See you all there.


Blog Chat Etiquette

These are some simple guidelines to make the blog chat room a positive, enjoyable and enlightening experience for everyone. Please note that as this is a chat room, we chat! Do not flood the chat room, or post without interacting with others.

EXPAND
Be friendly

Remember that these are real people you are chatting with. They may have different opinions to you and come from different cultures. Treat them as you would face to face, and respect their opinions, and they will treat you the same.

Be Patient

Give the room a chance to answer you. Patience is a virtue. And if after awhile, people don't respond, perhaps they don't know the answer or they did not see your question. Do ask again or address someone directly. Do not be offended if people do not or are unable to respond to you.

Be Relevant

This is the blog of H.E. Tsem Rinpoche. Please respect this space. We request that all participants here are respectful of H.E. Tsem Rinpoche and his organisation, Kechara.

Be polite

Avoid the use of language or attitudes which may be offensive to others. If someone is disrespectful to you, ignore them instead of arguing with them.

Please be advised that anyone who contravenes these guidelines may be banned from the chatroom. Banning is at the complete discretion of the administrator of this blog. Should anyone wish to make an appeal or complaint about the behaviour of someone in the chatroom, please copy paste the relevant chat in an email to us at care@kechara.com and state the date and time of the respective conversation.

Please let this be a conducive space for discussions, both light and profound.

KECHARA FOREST RETREAT PROGRESS UPDATES

Here is the latest news and pictorial updates, as it happens, of our upcoming forest retreat project.

The Kechara Forest Retreat is a unique holistic retreat centre focused on the total wellness of body, mind and spirit. This is a place where families and individuals will find peace, nourishment and inspiration in a natural forest environment. At Kechara Forest Retreat, we are committed to give back to society through instilling the next generation with universal positive values such as kindness and compassion.

For more information, please read here (english), here (chinese), or the official site: retreat.kechara.com.

Noticeboard

Name: Email:
For:  
Mail will not be published
  • Samfoonheei
    Thursday, Nov 14. 2024 11:37 AM
    Revisit this post again , watching the rare video footage of Dorje Shugden oracles. Awesome ,we are so fortunate to watch this incredible video, where extraordinary footage of Tsem Rinpoche self-arising as the all-powerful Buddha Yamantaka. Its was during Rinpoche’s visit to Tibet in 2009.
    Thank you Rinpoche with folded hands.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/dorje-shugden/never-seen-before-footage-of-dorje-shugden-oracles.html
  • Samfoonheei
    Thursday, Nov 14. 2024 11:35 AM
    Vajrayogini symbolizes the wisdom of all enlightened beings and embodies the impulse of inspiration that drives the Buddhas to attain the perfect enlightenment. Vajrayogini is one of the most effective practices for people today. We can make offerings such as gold or jewel offerings and so on. The offering of gold helps us to collect merits, spiritual attainments, gain a deeper connection to Vajrayogini. It also creates the causes to attain a Buddha’s body.
    Make Offerings to Vajrayogini in Kechara Forest Retreat at Bentong is such an meritorious way for us to collect merits. All thanks to our Guru having conceptualised the idea of having a statue of Vajrayogini for everyone . Recitation of Vajrayogini mantra can be a powerful tool for self-transformation, healing and liberation from samsara.
    Thank you Rinpoche for this sharing with details explanation .

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/kechara-13-depts/make-offerings-to-vajrayogini-in-kechara-forest-retreat.html
  • Samfoonheei
    Thursday, Nov 14. 2024 11:31 AM
    Thank you, Rinpoche for sharing this insightful article. Life is short, and if we enjoy every moment of every day, then we will be happy no matter what happens or what changes along the way.What ever matter to us at the time of death is nothing. In the end, it’s not the years in our life that count it’s what you leave behind that matters. A great soul never dies. It brings us together again and again.Death is the golden key that opens the palace of eternity. A man who lives fully is prepared to die at any time. Learning Dharma and practicing dharma is the our choice that’s matter. Some of the key points to take notes, read, study the Lam Rim and apply it, engage in Sadhana daily and consistently. No one will help us at the moment of death but ourselves. Spiritual practicing is the best choice.
    Thank you Rinpoche for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/buddhas-dharma/last-moment.html
  • Samfoonheei
    Thursday, Nov 14. 2024 11:29 AM
    Well the size of Buddha statues in Tibetan Buddhism is important because it represents the Buddha’s immense ability and vast knowledge. Hence the Buddha statues hold the symbol of satisfaction within, peace and happiness. They are a symbol of inspiration for every human being. When we focus on the Buddha statues, it gives us inner peace that our mind, our heart and our soul gets enlightened.
    We have are so fortunate seeing and circumambulating where the 9-foot Dorje Shugden statue and with 500 mantra stones engraved with Dorje Shugden’s sacred mantra. As Rinpoche had said before the bigger and more Buddha statues helps in planting seeds of enlightenment in people’s mind-streams. It also help us to generate as much merit and purify as much karma as possible. Merely by seeing all those big statues at Kechara Forest Retreat is a blessing.
    Thank you Rinpoche.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/kechara-13-depts/bigger-and-more-buddha-statues-makes-a-difference.html
  • Samfoonheei
    Thursday, Nov 14. 2024 11:27 AM
    The 4th Tagpu Pemavajra Jampel Tenpai Ngodrub, most commonly known as Tagpu Dorje Chang, was a highly accomplished yogi Highly attained lama who had many authentic visions of the Buddhas and even travel astrally to receive direct teachings from them. His recognised line of incarnations stem all the way back to the 14th Century. He is generally regarded as such amongst Gelug lineage holders. He spent most of his time in a hermitage located above Sera Monastery, gave teachings and transmitted many vital practices and lineages to his foremost student Kyabje Pabongka Rinpoche. Besides receiving the complete instructions of Dorje Shugden’s practice, Tagpu Dorje Chang had many other mystical experiences throughout his lifetime. Interesting read biography of a highly accomplished mahasiddha lama.
    Thank you Rinpoche for this great sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/guest-contributors/biography-the-4th-tagphu-pemavajra-jampel-tenpai-ngodrub.html
  • Samfoonheei
    Friday, Oct 18. 2024 06:39 PM
    n Tibetan culture, it is a popular and customary practice for families to invite monks to perform spiritual ceremonies such as Trusol rituals. The monks have had the opportunity to offer such ceremonies for individuals or their families. Such ceremonies purify the elements of the environment which helps those living or visiting there to experience good health, success and well-being. The sacred ritual of ‘bathing’ the Buddhas and consecration through which negativities, sicknesses and obstacles will be cleared. Where by filling those areas with positive energies and good vibes through this Trusol consecration puja. Water is an essential part of this puja and symbolises the cleansing of all negativities and impurities. Through this puja it also pacifies local deities and other unseen beings in the surrounding areas. We are indeed fortunate that Tsem Rinpoche has taught Kecharians this practice and it has benefited many.
    Thank you Rinpoche with folded hands

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/buddhas-dharma/the-second-generation-of-trusol-practitioners.html
  • Samfoonheei
    Friday, Oct 18. 2024 06:37 PM
    Reading this post had me gain some knowledge of Shifter Werewolves. Any article regarding rare creatures or paranormal articles are of my interest since young. In European folklore, a werewolf is a man who turns into a wolf at night and devours animals, people, or corpses but returns to human form by day.They have the ability to transform from an ordinary human appearance to a partially-lupine form with pointed ears, mutton chops, claws and fangs, and a ridged brow . Wow… werewolf tends to be vicious and unable to control his blood thirst. Their underlying common origin can be traced back to Proto-Indo-European mythology. In many depictions, these bloodthirsty beasts are evil where they kill animals and innocent people. They are humans who transition into wolf-like creatures, after being placed under a curse. In folklore, most werewolves originate from being cursed or bitten by another werewolf. That’s what they do believe. According many enthusiasts, there’s many different type of werewolves such as Alpha wolves, Beta wolves , Deltas, Elders, some survive as loners while others move in packs. How true it is no one knows. I do believe their existing . Many interesting stories related to these wolves in the past history.
    Thank you Rinpoche for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/paranormal/werewolves-the-shapeshifters.html
  • Samfoonheei
    Friday, Oct 18. 2024 06:35 PM
    Beautiful Dorje Shugden at Malacca. One should pay a visit there, located at a busy tourist place. It was such an auspicious occasion that a grand Puja was held there. Dedicated students and volunteers were there getting the place ready for the grand puja. Well the Grand Dorje Shugden puja was conducted by very own Kechara puja team to commemorate the chapel’s 3rd anniversary. Many people attended the Puja that’s wonderful to receive the powerful Protector Dorje Shugden blessings. More people will make a connection and get to know Manjushri, the Buddha of Wisdom, in the form of a Dharma Protector. May Dorje Shugden’s practice flourish to benefit those tourists and locals.
    Thank you Rinpoche for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/study-groups/grand-puja-at-malaccas-dorje-shugden-chapel-chinese.html
  • Samfoonheei
    Friday, Oct 18. 2024 06:34 PM
    Venerable Geshe Rabten Rinpoche is a highly realised meditation master known as a debater, scholar, and meditation master, was the first Tibetan Buddhist master to introduce the complete Vinaya-tradition. He had also introduce the study of the five major topics of Buddhism to the West. He became the ‘path breaker’ of the complete and complex teachings of Buddhism in the West. Many masters, who are famous in the West today, were Geshe’s students. enerable Geshe Rabten. Geshe Rabten wrote the beautiful and Manjushri’s prayer called Gangloma and gave a profound explanation. We are so fortunate to learn about this Manjushri’s sacred prayer. May all be blessed by the practice of Lord Manjushri and Geshe Rabten’s explanation.
    Thank you Rinpoche for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/buddhas-dharma/praise-to-manjusri-explanation-by-geshe-rabten.html
  • Samfoonheei
    Sunday, Oct 13. 2024 05:04 PM
    The begging bowl or alms bowl is one of the simplest but most important objects in the daily lives of Theravada Buddhist monks. The alms bowl still stands as an emblem of how all Buddhas, as numerous as grains of sand in the Ganges, practiced to end their desire. All those who receive the alms bowl should focus their mind to act with self-control and self-respect. Almsgiving is a tradition of Theravada Buddhists, majority in Thailand, Cambodia, Myanmar, Sri Lanka and Laos. In those early days of Buddhism, monks would take their bowls and go out begging for food. As today in Thailand one could see monks woke up before dawn every morning and carried his bowl through the roads or paths wherever he was staying. Local people would place food in the bowl as a donation, through the generosity of lay people. They accept whatever food is offered for them and eat whatever been given, serve as a blessing for the giver.
    One bowl has held the food of a thousand families. A solitary monastic travels on his journey of a hundred thousand miles seeking liberation from the cycle of birth and death.
    Thank you H.E. Tsem Rinpoche for explaining the meaning of begging and gave us more reasons to be vegetarian . Create a awareness among us not killing animals to be one.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/one-minute-story/why-buddha-has-a-begging-bowl
  • Samfoonheei
    Sunday, Oct 13. 2024 05:03 PM
    Ajahn Siripanyo, the son of billionaire Ananda Krishnan, chose to abandon his inheritance and become a Buddhist monk in pursuit of spirituality. A Thai-Malaysian monk born in London and educated in UK. He was ordained in Thailand and lived there, leaving behind a life of immense wealth and privilege. He did surprised many and his choice was unexpected. Initially as a temporary measure, but somehow later evolved into a permanent way of life. Ven. Ajahn Siripanyo is now the Abbot of hermitage Dtao Dam on the Thai-Burmese border in Saiyok National Park, Thailand.
    He was in Kuala Lumpur, Malaysia years back giving an enthralling Dhamma talk on the timeless teachings of Ajahn Chah.
    Thank you Rinpoche for this inspiring sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/buddhas-dharma/ajahn-siripanno.html
  • Samfoonheei
    Sunday, Oct 13. 2024 05:02 PM
    The Tibetan diaspora began in 1959 after the People’s Liberation Army entered the country. Thousands of Tibetan and the Dalai Lama fled into exile to India. The Indian government led by Jawaharlal Nehru kind enough to offer land which was scattered throughout the country. The Tibetans as refugees on which the Tibetans would be able to reestablish themselves. After 60 years of protests, campaigns and fundraising, the Tibetan movement has not been fruitful, increase the living welfare condition and Tibetans continue to depend on the kindness of their host countries. Due to these many Tibetan in exile left India to elsewhere and other countries seeking a better future. In the last 60 years, the Tibetan leadership have not been successful in making progress with their political goals. Surprisingly the Tibetan Spiritual leader Dalai Lama said in an interview published letter that Europe has accepted “too many” refugees . While there is many protests and attempts to pressure Europe to accept more refugees.
    Further more the unethical ban against Shugden making life more difficult for many Dorje Shugden practitioners . Because of the ban against Dorje Shugden the whole Tibetan Buddhist world is divided until now. May all be harmonious soon even recently .Dalai Lama had said we could practice Interesting read. Interesting read.
    Thank you Rinpoche and Khong Jean Ai for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/current-affairs/dalai-lama-says-too-many-refugees-in-europe.html
  • Samfoonheei
    Sunday, Oct 13. 2024 05:01 PM
    The Kalmyks are the only traditionally Buddhist people living within Europe. As Tibetan Buddhists, the Kalmyks regard the Dalai Lama as their spiritual leader. Kalmykia is a historical crossroads on the Silk Road. The Western Mongol Kalmyk tribes. The Kalmyks live primarily in the Republic of Kalmykia, a federal subject of Russia located in the southeast European part of Russia. The Kalmyks are the only inhabitants of Europe whose national religion is Buddhism. They embraced Buddhism in the early part of the 17th century and belong to the Tibetan Buddhist. Like other Mongols, the Kalmyk are very spiritual Tibetan Buddhists, but their Buddhism has a strong admixture of indigenous beliefs and shamanistic practices. Buddhism spread among Mongols during the time of the Mongol Empire. They have come a long way till now, with rich traditions in song, dance, music, arts and a powerful heritage ,strong convictions.
    Thank you Rinpoche for this interesting information of the hidden Kalmykia society.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/art-architecture/kalmykia-lore-and-memory-at-the-far-side-of-the-buddhist-world.html
  • Samfoonheei
    Sunday, Oct 13. 2024 05:01 PM
    Thaipusam is a Tamil Hindu festival celebrated on the first full moon day of the Tamil month. The festival is celebrated to commemorate the victory of Hindu God Murugan over the demon Surapadman. The festival commemorates the triumph of good over evil by many devotees throughout Malaysia. For Hindus, Thaipusam is a day to cleanse oneself of sins and to repent for any transgressions in the past year.Devotees place a great deal of emphasis on the Vel. Silver, gold, lead, copper, and iron which is the five metals. It is said to be able to absorb all negative energy, spread positivity, and destroy all dangerous energies. Wearing yellow during Thaipusam as Lord Murugan’s favourite colour. Well Yellow is also associated with new beginnings, peace and happiness. On that day many devotees will be wearing yellow in color. Devotees will carry heavy ornate structures called kavadis while others have their tongues, cheeks and backs pierced with hooks and skewers. They then walk barefoot up 272 steps to the Batu Caves temple. Women devotees will carry the milk pots on that day. Thousands of locals and tourist from around the world of different faith will be there to witness this auspicious festival.
    Thank you Rinpoche for this sharing.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/art-architecture/special-hindu-festival.html
  • Samfoonheei
    Monday, Oct 7. 2024 01:10 PM
    Dorje Shugden controversy began when the Dalai Lama made successive attempts to wrongly assert the nature of the Dharma Protector Dorje Shugden to be a harmful spirit. The great lineage masters such as Kyabje Pabongka Rinpoche and Kyabje Trijang Rinpoche’s teachings are amongst the greatest dharma that forms the foundation of Gelugpa education. As confirmed that Dorje Shugden is an emanation of Manjushri. Dorje Shugden is an enlightened Dharma Protector who manifested about 400 years ago from a lineage of erudite masters. They cant be wrong . Dorje Shugden via the Panglung oracle had helped the Dalai Lama in his great escape out of Tibet. There are so many highly attained lamas who practices Dorje Shugden and their reincarnations have been coming back again and again. Even 5th Dalai Lama composed a prayer to Dorje Shugden and built a Protector chapel dedicated to Dorje Shugden as well. That’s Trode Khangsar in Central Lhasa which is still there. The ban of Dorje Shugden is unnecessary and illogical as the bigger purpose of Dorje Shugden,is the preservation of the Dharma. The Tibetan Leadership (CTA) has instituted this ban against Dorje Shugden for many years and its time to lift the ban. May more people read and understand the ban and the real reason behind this controversy.
    Thank you Rinpoche and Pastor David for sharing this post.

    https://www.tsemrinpoche.com/tsem-tulku-rinpoche/great-lamas-masters/our-lama-vs-the-dalai-lama-the-underlying-reasons-for-the-ban.html

1 · 2 · 3 · 4 · 5 · »

Messages from Rinpoche

Scroll down within the box to view more messages from Rinpoche. Click on the images to enlarge. Click on 'older messages' to view archived messages. Use 'prev' and 'next' links to navigate between pages

Use this URL to link to this section directly: https://www.tsemrinpoche.com/#messages-from-rinpoche

Previous Live Videos

MORE VIDEOS

Shugdenpas Speaking Up Across The Globe

From Europe Shugden Association:


MORE VIDEOS

From Tibetan Public Talk:


MORE VIDEOS

CREDITS

Concept: Tsem Rinpoche
Technical: Lew Kwan Leng, Justin Ripley, Yong Swee Keong
Design: Justin Ripley, Cynthia Lee
Content: Tsem Rinpoche, Justin Ripley, Pastor Shin Tan, Sarah Yap
Admin: Pastor Loh Seng Piow, Beng Kooi

I must thank my dharma blog team who are great assets to me, Kechara and growth of dharma in this wonderful region. I am honoured and thrilled to work with them. I really am. Maybe I don't say it enough to them, but I am saying it now. I APPRECIATE THESE GUYS VERY MUCH!

Tsem Rinpoche

Total views today
0
Total views up to date
27206613
Facebook Fans Youtube Views Blog Views
Animal Care Fund
  Bigfoot, Yeti, Sasquatch

The Unknown

The Known and unknown are both feared,
Known is being comfortable and stagnant,
The unknown may be growth and opportunities,
One shall never know if one fears the unknown more than the known.
Who says the unknown would be worse than the known?
But then again, the unknown is sometimes worse than the known. In the end nothing is known unless we endeavour,
So go pursue all the way with the unknown,
because all unknown with familiarity becomes the known.
~Tsem Rinpoche

Photos On The Go

Click on the images to view the bigger version. And scroll down and click on "View All Photos" to view more images.
According to legend, Shambhala is a place where wisdom and love reign, and there is no crime. Doesn\'t this sound like the kind of place all of us would love to live in? https://www.tsemrinpoche.com/?p=204874
5 years ago
According to legend, Shambhala is a place where wisdom and love reign, and there is no crime. Doesn't this sound like the kind of place all of us would love to live in? https://www.tsemrinpoche.com/?p=204874
108 candles and sang (incense) offered at our Wish-Fulfilling Grotto, invoking Dorje Shugden\'s blessings for friends, sponsors and supporters, wonderful!
5 years ago
108 candles and sang (incense) offered at our Wish-Fulfilling Grotto, invoking Dorje Shugden's blessings for friends, sponsors and supporters, wonderful!
Dharmapalas are not exclusive to Tibetan culture and their practice is widespread throughout the Buddhist world - https://www.tsemrinpoche.com/?p=193645
5 years ago
Dharmapalas are not exclusive to Tibetan culture and their practice is widespread throughout the Buddhist world - https://www.tsemrinpoche.com/?p=193645
One of our adorable Kechara Forest Retreat\'s doggies, Tara, happy and safe, and enjoying herself in front of Wisdom Hall which has been decorated for Chinese New Year
5 years ago
One of our adorable Kechara Forest Retreat's doggies, Tara, happy and safe, and enjoying herself in front of Wisdom Hall which has been decorated for Chinese New Year
Fragrant organic Thai basil harvested from our very own Kechara Forest Retreat farm!
5 years ago
Fragrant organic Thai basil harvested from our very own Kechara Forest Retreat farm!
On behalf of our Puja House team, Pastor Tat Ming receives food and drinks from Rinpoche. Rinpoche wanted to make sure the hardworking Puja House team are always taken care of.
5 years ago
On behalf of our Puja House team, Pastor Tat Ming receives food and drinks from Rinpoche. Rinpoche wanted to make sure the hardworking Puja House team are always taken care of.
By the time I heard about Luang Phor Thong, he was already very old, in his late 80s. When I heard about him, I immediately wanted to go and pay my respects to him. - http://bit.ly/LuangPhorThong
5 years ago
By the time I heard about Luang Phor Thong, he was already very old, in his late 80s. When I heard about him, I immediately wanted to go and pay my respects to him. - http://bit.ly/LuangPhorThong
It\'s very nice to see volunteers helping maintain holy sites in Kechara Forest Retreat, it\'s very good for them. Cleaning Buddha statues is a very powerful and effective way of purifying body karma.
5 years ago
It's very nice to see volunteers helping maintain holy sites in Kechara Forest Retreat, it's very good for them. Cleaning Buddha statues is a very powerful and effective way of purifying body karma.
Kechara Forest Retreat is preparing for the upcoming Chinese New Year celebrations. This is our holy Vajra Yogini stupa which is now surrounded by beautiful lanterns organised by our students.
5 years ago
Kechara Forest Retreat is preparing for the upcoming Chinese New Year celebrations. This is our holy Vajra Yogini stupa which is now surrounded by beautiful lanterns organised by our students.
One of the most recent harvests from our Kechara Forest Retreat land. It was grown free of chemicals and pesticides, wonderful!
5 years ago
One of the most recent harvests from our Kechara Forest Retreat land. It was grown free of chemicals and pesticides, wonderful!
Third picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal.
Height: 33ft (10m)
5 years ago
Third picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal. Height: 33ft (10m)
Second picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal.
Height: 33ft (10m)
5 years ago
Second picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal. Height: 33ft (10m)
First picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal.
Height: 33ft (10m)
5 years ago
First picture-Standing Manjushri Statue at Chowar, Kirtipur, Nepal. Height: 33ft (10m)
The first title published by Kechara Comics is Karuna Finds A Way. It tells the tale of high-school sweethearts Karuna and Adam who had what some would call the dream life. Everything was going great for them until one day when reality came knocking on their door. Caught in a surprise swindle, this loving family who never harmed anyone found themselves out of luck and down on their fortune. Determined to save her family, Karuna goes all out to find a solution. See what she does- https://bit.ly/2LSKuWo
5 years ago
The first title published by Kechara Comics is Karuna Finds A Way. It tells the tale of high-school sweethearts Karuna and Adam who had what some would call the dream life. Everything was going great for them until one day when reality came knocking on their door. Caught in a surprise swindle, this loving family who never harmed anyone found themselves out of luck and down on their fortune. Determined to save her family, Karuna goes all out to find a solution. See what she does- https://bit.ly/2LSKuWo
Very powerful story! Tibetan Resistance group Chushi Gangdruk reveals how Dalai Lama escaped in 1959- https://bit.ly/2S9VMGX
5 years ago
Very powerful story! Tibetan Resistance group Chushi Gangdruk reveals how Dalai Lama escaped in 1959- https://bit.ly/2S9VMGX
At Kechara Forest Retreat land we have nice fresh spinach growing free of chemicals and pesticides. Yes!
5 years ago
At Kechara Forest Retreat land we have nice fresh spinach growing free of chemicals and pesticides. Yes!
See beautiful pictures of Manjushri Guest House here- https://bit.ly/2WGo0ti
5 years ago
See beautiful pictures of Manjushri Guest House here- https://bit.ly/2WGo0ti
Beginner’s Introduction to Dorje Shugden~Very good overview https://bit.ly/2QQNfYv
5 years ago
Beginner’s Introduction to Dorje Shugden~Very good overview https://bit.ly/2QQNfYv
Fresh eggplants grown on Kechara Forest Retreat\'s land here in Malaysia
5 years ago
Fresh eggplants grown on Kechara Forest Retreat's land here in Malaysia
Most Venerable Uppalavanna – The Chief Female Disciple of Buddha Shakyamuni - She exhibited many supernatural abilities gained from meditation and proved to the world females and males are equal in spirituality- https://bit.ly/31d9Rat
5 years ago
Most Venerable Uppalavanna – The Chief Female Disciple of Buddha Shakyamuni - She exhibited many supernatural abilities gained from meditation and proved to the world females and males are equal in spirituality- https://bit.ly/31d9Rat
Thailand’s ‘Renegade’ Yet Powerful Buddhist Nuns~ https://bit.ly/2Z1C02m
5 years ago
Thailand’s ‘Renegade’ Yet Powerful Buddhist Nuns~ https://bit.ly/2Z1C02m
Mahapajapati Gotami – the first Buddhist nun ordained by Lord Buddha- https://bit.ly/2IjD8ru
5 years ago
Mahapajapati Gotami – the first Buddhist nun ordained by Lord Buddha- https://bit.ly/2IjD8ru
The Largest Buddha Shakyamuni in Russia | 俄罗斯最大的释迦牟尼佛画像- https://bit.ly/2Wpclni
5 years ago
The Largest Buddha Shakyamuni in Russia | 俄罗斯最大的释迦牟尼佛画像- https://bit.ly/2Wpclni
Sacred Vajra Yogini
5 years ago
Sacred Vajra Yogini
Dorje Shugden works & archives - a labour of commitment - https://bit.ly/30Tp2p8
5 years ago
Dorje Shugden works & archives - a labour of commitment - https://bit.ly/30Tp2p8
Mahapajapati Gotami, who was the first nun ordained by Lord Buddha.
5 years ago
Mahapajapati Gotami, who was the first nun ordained by Lord Buddha.
Mahapajapati Gotami, who was the first nun ordained by Lord Buddha. She was his step-mother and aunt. Buddha\'s mother had passed away at his birth so he was raised by Gotami.
5 years ago
Mahapajapati Gotami, who was the first nun ordained by Lord Buddha. She was his step-mother and aunt. Buddha's mother had passed away at his birth so he was raised by Gotami.
Another nun disciple of Lord Buddha\'s. She had achieved great spiritual abilities and high attainments. She would be a proper object of refuge. This image of the eminent bhikkhuni (nun) disciple of the Buddha, Uppalavanna Theri.
5 years ago
Another nun disciple of Lord Buddha's. She had achieved great spiritual abilities and high attainments. She would be a proper object of refuge. This image of the eminent bhikkhuni (nun) disciple of the Buddha, Uppalavanna Theri.
Wandering Ascetic Painting by Nirdesha Munasinghe
5 years ago
Wandering Ascetic Painting by Nirdesha Munasinghe
High Sri Lankan monks visit Kechara to bless our land, temple, Buddha and Dorje Shugden images. They were very kind-see pictures- https://bit.ly/2HQie2M
5 years ago
High Sri Lankan monks visit Kechara to bless our land, temple, Buddha and Dorje Shugden images. They were very kind-see pictures- https://bit.ly/2HQie2M
This is pretty amazing!

First Sri Lankan Buddhist temple opened in Dubai!!!
5 years ago
This is pretty amazing! First Sri Lankan Buddhist temple opened in Dubai!!!
My Dharma boy (left) and Oser girl loves to laze around on the veranda in the mornings. They enjoy all the trees, grass and relaxing under the hot sun. Sunbathing is a favorite daily activity. I care about these two doggies of mine very much and I enjoy seeing them happy. They are with me always. Tsem Rinpoche

Always be kind to animals and eat vegetarian- https://bit.ly/2Psp8h2
5 years ago
My Dharma boy (left) and Oser girl loves to laze around on the veranda in the mornings. They enjoy all the trees, grass and relaxing under the hot sun. Sunbathing is a favorite daily activity. I care about these two doggies of mine very much and I enjoy seeing them happy. They are with me always. Tsem Rinpoche Always be kind to animals and eat vegetarian- https://bit.ly/2Psp8h2
After you left me Mumu, I was alone. I have no family or kin. You were my family. I can\'t stop thinking of you and I can\'t forget you. My bond and connection with you is so strong. I wish you were by my side. Tsem Rinpoche
5 years ago
After you left me Mumu, I was alone. I have no family or kin. You were my family. I can't stop thinking of you and I can't forget you. My bond and connection with you is so strong. I wish you were by my side. Tsem Rinpoche
This story is a life-changer. Learn about the incredible Forest Man of India | 印度“森林之子”- https://bit.ly/2Eh4vRS
6 years ago
This story is a life-changer. Learn about the incredible Forest Man of India | 印度“森林之子”- https://bit.ly/2Eh4vRS
Part 2-Beautiful billboard in Malaysia of a powerful Tibetan hero whose life serves as a great inspiration- https://bit.ly/2UltNE4
6 years ago
Part 2-Beautiful billboard in Malaysia of a powerful Tibetan hero whose life serves as a great inspiration- https://bit.ly/2UltNE4
Part 1-Beautiful billboard in Malaysia of a powerful Tibetan hero whose life serves as a great inspiration- https://bit.ly/2UltNE4
6 years ago
Part 1-Beautiful billboard in Malaysia of a powerful Tibetan hero whose life serves as a great inspiration- https://bit.ly/2UltNE4
The great Protector Manjushri Dorje Shugden depicted in the beautiful Mongolian style. To download a high resolution file: https://bit.ly/2Nt3FHz
6 years ago
The great Protector Manjushri Dorje Shugden depicted in the beautiful Mongolian style. To download a high resolution file: https://bit.ly/2Nt3FHz
The Mystical land of Shambhala is finally ready for everyone to feast their eyes and be blessed. A beautiful post with information, art work, history, spirituality and a beautiful book composed by His Holiness the 6th Panchen Rinpoche. ~ https://bit.ly/309MHBi
6 years ago
The Mystical land of Shambhala is finally ready for everyone to feast their eyes and be blessed. A beautiful post with information, art work, history, spirituality and a beautiful book composed by His Holiness the 6th Panchen Rinpoche. ~ https://bit.ly/309MHBi
Beautiful pictures of the huge Buddha in Longkou Nanshan- https://bit.ly/2LsBxVb
6 years ago
Beautiful pictures of the huge Buddha in Longkou Nanshan- https://bit.ly/2LsBxVb
The reason-Very interesting thought- https://bit.ly/2V7VT5r
6 years ago
The reason-Very interesting thought- https://bit.ly/2V7VT5r
NEW Bigfoot cafe in Malaysia! Food is delicious!- https://bit.ly/2VxdGau
6 years ago
NEW Bigfoot cafe in Malaysia! Food is delicious!- https://bit.ly/2VxdGau
DON\'T MISS THIS!~How brave Bonnie survived by living with a herd of deer~ https://bit.ly/2Lre2eY
6 years ago
DON'T MISS THIS!~How brave Bonnie survived by living with a herd of deer~ https://bit.ly/2Lre2eY
Global Superpower China Will Cut Meat Consumption by 50%! Very interesting, find out more- https://bit.ly/2V1sJFh
6 years ago
Global Superpower China Will Cut Meat Consumption by 50%! Very interesting, find out more- https://bit.ly/2V1sJFh
You can download this beautiful Egyptian style Dorje Shugden Free- https://bit.ly/2Nt3FHz
6 years ago
You can download this beautiful Egyptian style Dorje Shugden Free- https://bit.ly/2Nt3FHz
Beautiful high file for print of Lord Manjushri. May you be blessed- https://bit.ly/2V8mwZe
6 years ago
Beautiful high file for print of Lord Manjushri. May you be blessed- https://bit.ly/2V8mwZe
Mongolian (Oymiakon) Shaman in Siberia, Russia. That is his real outfit he wears. Very unique. TR
6 years ago
Mongolian (Oymiakon) Shaman in Siberia, Russia. That is his real outfit he wears. Very unique. TR
Find one of the most beautiful temples in the world in Nara, Japan. It is the 1,267 year old Todai-ji temple that houses a 15 meter Buddha Vairocana statue who is a cosmic and timeless Buddha. Emperor Shomu who sponsored this beautiful temple eventually abdicated and ordained as a Buddhist monk. Very interesting history and story. One of the places everyone should visit- https://bit.ly/2VgsHhK
6 years ago
Find one of the most beautiful temples in the world in Nara, Japan. It is the 1,267 year old Todai-ji temple that houses a 15 meter Buddha Vairocana statue who is a cosmic and timeless Buddha. Emperor Shomu who sponsored this beautiful temple eventually abdicated and ordained as a Buddhist monk. Very interesting history and story. One of the places everyone should visit- https://bit.ly/2VgsHhK
Manjusri Kumara (bodhisattva of wisdom), India, Pala dynesty, 9th century, stone, Honolulu Academy of Arts
6 years ago
Manjusri Kumara (bodhisattva of wisdom), India, Pala dynesty, 9th century, stone, Honolulu Academy of Arts
Click on "View All Photos" above to view more images

Videos On The Go

Please click on the images to watch video
  • Pig puts his toys away
    5 years ago
    Pig puts his toys away
    Animals are so intelligent. They can feel happiness, joy, pain, sorrow, just like humans. Always show kindness to them. Always show kindness to everyone.
  • Always be kind to animals-They deserve to live just like us.
    5 years ago
    Always be kind to animals-They deserve to live just like us.
    Whales and dolphins playing with each other in the Pacific sea. Nature is truly incredible!
  • Bodha stupa July 2019-
    5 years ago
    Bodha stupa July 2019-
    Rainy period
  • Cute Tara girl having a snack. She is one of Kechara Forest Retreat’s resident doggies.
    5 years ago
    Cute Tara girl having a snack. She is one of Kechara Forest Retreat’s resident doggies.
  • Your Next Meal!
    5 years ago
    Your Next Meal!
    Yummy? Tasty? Behind the scenes of the meat on your plates. Meat is a killing industry.
  • This is Daw
    5 years ago
    This is Daw
    This is what they do to get meat on tables, and to produce belts and jackets. Think twice before your next purchase.
  • Don’t Take My Mummy Away!
    5 years ago
    Don’t Take My Mummy Away!
    Look at the poor baby chasing after the mother. Why do we do that to them? It's time to seriously think about our choices in life and how they affect others. Be kind. Don't break up families.
  • They do this every day!
    5 years ago
    They do this every day!
    This is how they are being treated every day of their lives. Please do something to stop the brutality. Listen to their cries for help!
  • What happened at Fair Oaks Farm?
    5 years ago
    What happened at Fair Oaks Farm?
    The largest undercover dairy investigation of all time. See what they found out at Fair Oaks Farm.
  • She’s going to spend her whole life here without being able to move correctly. Like a machine. They are the slaves of the people and are viewed as a product. It’s immoral. Billions of terrestrial animals die annually. Billions. You can’t even imagine it. And all that because people don’t want to give up meat, even though there are so many alternatives. ~ Gabriel Azimov
    5 years ago
    She’s going to spend her whole life here without being able to move correctly. Like a machine. They are the slaves of the people and are viewed as a product. It’s immoral. Billions of terrestrial animals die annually. Billions. You can’t even imagine it. And all that because people don’t want to give up meat, even though there are so many alternatives. ~ Gabriel Azimov
  • Our Malaysian Prime Minister Dr. Mahathir speaks so well, logically and regarding our country’s collaboration with China for growth. It is refreshing to listen to Dr. Mahathir’s thoughts. He said our country can look to China for many more things such as technology and so on. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    Our Malaysian Prime Minister Dr. Mahathir speaks so well, logically and regarding our country’s collaboration with China for growth. It is refreshing to listen to Dr. Mahathir’s thoughts. He said our country can look to China for many more things such as technology and so on. Tsem Rinpoche
  • This is the first time His Holiness Dalai Lama mentions he had some very serious illness. Very worrying. This video is captured April 2019.
    6 years ago
    This is the first time His Holiness Dalai Lama mentions he had some very serious illness. Very worrying. This video is captured April 2019.
  • Beautiful Monastery in Hong Kong
    6 years ago
    Beautiful Monastery in Hong Kong
  • This dog thanks his hero in such a touching way. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    This dog thanks his hero in such a touching way. Tsem Rinpoche
  • Join Tsem Rinpoche in prayer for H.H. Dalai Lama’s long life~ https://www.youtube.com/watch?v=gYy7JcveikU&feature=youtu.be
    6 years ago
    Join Tsem Rinpoche in prayer for H.H. Dalai Lama’s long life~ https://www.youtube.com/watch?v=gYy7JcveikU&feature=youtu.be
  • These people going on pilgrimage to a holy mountain and prostrating out of devotion and for pilgrimage in Tibet. Such determination for spiritual practice. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    These people going on pilgrimage to a holy mountain and prostrating out of devotion and for pilgrimage in Tibet. Such determination for spiritual practice. Tsem Rinpoche
  • Beautiful new casing in Kechara for Vajra Yogini. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    Beautiful new casing in Kechara for Vajra Yogini. Tsem Rinpoche
  • Get ready to laugh real hard. This is Kechara’s version of “Whatever Happened to Baby Jane!” We have some real talents in this video clip.
    6 years ago
    Get ready to laugh real hard. This is Kechara’s version of “Whatever Happened to Baby Jane!” We have some real talents in this video clip.
  • Recitation of Dorje Dermo‘s mantra or the Dharani of Glorious Vajra Claws. This powerful mantra is meant to destroy all obstacles that come in our way. Beneficial to play this mantra in our environments.
    6 years ago
    Recitation of Dorje Dermo‘s mantra or the Dharani of Glorious Vajra Claws. This powerful mantra is meant to destroy all obstacles that come in our way. Beneficial to play this mantra in our environments.
  • Beautiful
    6 years ago
    Beautiful
    Beautiful sacred Severed Head Vajra Yogini from Tsem Rinpoche's personal shrine.
  • My little monster cute babies Dharma and Oser. Take a look and get a cute attack for the day! Tsem Rinpoche
    6 years ago
    My little monster cute babies Dharma and Oser. Take a look and get a cute attack for the day! Tsem Rinpoche
  • Plse watch this short video and see how all sentient beings are capable of tenderness and love. We should never hurt animals nor should we eat them. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    Plse watch this short video and see how all sentient beings are capable of tenderness and love. We should never hurt animals nor should we eat them. Tsem Rinpoche
  • Cruelty of some people have no limits and it’s heartbreaking. Being kind cost nothing. Tsem Rinpoche
    6 years ago
    Cruelty of some people have no limits and it’s heartbreaking. Being kind cost nothing. Tsem Rinpoche
  • SUPER ADORABLE and must see
    6 years ago
    SUPER ADORABLE and must see
    Tsem Rinpoche's dog Oser girl enjoying her snack in her play pen.
  • Cute!
    6 years ago
    Cute!
    Oser girl loves the balcony so much. - https://www.youtube.com/watch?v=RTcoWpKJm2c
  • Uncle Wong
    6 years ago
    Uncle Wong
    We were told by Uncle Wong he is very faithful toward Dorje Shugden. Dorje Shugden has extended help to him on several occasions and now Uncle Wong comes daily to make incense offerings to Dorje Shugden. He is grateful towards the help he was given.
  • Tsem Rinpoche’s Schnauzer Dharma boy fights Robot sphere from Arkonide!
    6 years ago
    Tsem Rinpoche’s Schnauzer Dharma boy fights Robot sphere from Arkonide!
  • Cute baby owl found and rescued
    6 years ago
    Cute baby owl found and rescued
    We rescued a lost baby owl in Kechara Forest Retreat.
  • Nice cups from Kechara!!
    6 years ago
    Nice cups from Kechara!!
    Dorje Shugden people's lives matter!
  • Enjoy a peaceful morning at Kechara Forest Retreat
    6 years ago
    Enjoy a peaceful morning at Kechara Forest Retreat
    Chirping birds and other forest animals create a joyful melody at the Vajrayogini stupa in Kechara Forest Retreat (Bentong, Malaysia).
  • This topic is so hot in many circles right now.
    7 years ago
    This topic is so hot in many circles right now.
    This video is thought-provoking and very interesting. Watch! Thanks so much to our friends at LIVEKINDLY.
  • Chiropractic CHANGES LIFE for teenager with acute PAIN & DEAD LEG.
    7 years ago
    Chiropractic CHANGES LIFE for teenager with acute PAIN & DEAD LEG.
  • BEAUTIFUL PLACE IN NEW YORK STATE-AMAZING.
    7 years ago
    BEAUTIFUL PLACE IN NEW YORK STATE-AMAZING.
  • Leonardo DiCaprio takes on the meat Industry with real action.
    7 years ago
    Leonardo DiCaprio takes on the meat Industry with real action.
  • Do psychic mediums have messages from beyond?
    7 years ago
    Do psychic mediums have messages from beyond?
  • Lovely gift for my 52nd Birthday. Tsem Rinpoche
    7 years ago
    Lovely gift for my 52nd Birthday. Tsem Rinpoche
  • This 59-year-old chimpanzee was refusing food and ready to die until...
    7 years ago
    This 59-year-old chimpanzee was refusing food and ready to die until...
    she received “one last visit from an old friend” 💔💔
  • Bigfoot sighted again and made it to the news.
    7 years ago
    Bigfoot sighted again and made it to the news.
  • Casper is such a cute and adorable. I like him.
    7 years ago
    Casper is such a cute and adorable. I like him.
  • Dorje Shugden Monastery Amarbayasgalant  Mongolia's Ancient Hidden Gem
    7 years ago
    Dorje Shugden Monastery Amarbayasgalant Mongolia's Ancient Hidden Gem
  • Don't you love Hamburgers? See how 'delicious' it is here!
    7 years ago
    Don't you love Hamburgers? See how 'delicious' it is here!
  • Such a beautiful and powerful message from a person who knows the meaning of life. Tsem Rinpoche
    7 years ago
    Such a beautiful and powerful message from a person who knows the meaning of life. Tsem Rinpoche
  • What the meat industry figured out is that you don't need healthy animals to make a profit.
    7 years ago
    What the meat industry figured out is that you don't need healthy animals to make a profit.
    Sick animals are more profitable... farms calculate how close to death they can keep animals without killing them. That's the business model. How quickly they can be made to grow, how tightly they can be packed, how much or how little can they eat, how sick they can get without dying... We live in a world in which it's conventional to treat an animal like a block of wood. ~ Jonathan Safran Foer
  • This video went viral and it's a must watch!!
    7 years ago
    This video went viral and it's a must watch!!
  • SEE HOW THIS ANIMAL SERIAL KILLER HAS NO ISSUE BLUDGEONING THIS DEFENSELESS BEING.
    7 years ago
    SEE HOW THIS ANIMAL SERIAL KILLER HAS NO ISSUE BLUDGEONING THIS DEFENSELESS BEING.
    This happens daily in slaughterhouse so you can get your pork and Bak ku teh. Stop eating meat.

ASK A PASTOR


Ask the Pastors

A section for you to clarify your Dharma questions with Kechara’s esteemed pastors.

Just post your name and your question below and one of our pastors will provide you with an answer.

Scroll down and click on "View All Questions" to view archived questions.

View All Questions

CHAT PICTURES

Thank you for your Order!52393739852742
4 days ago
Thank you for your Order!52393739852742
Look at how attentive of the members during Dharma talk. It is through hearing, contemplation and practicing Dharma, one is able to eradicate delusions and march towards liberation. 28/9/2024 Kechara Penang Study Group by Jacinta
4 weeks ago
Look at how attentive of the members during Dharma talk. It is through hearing, contemplation and practicing Dharma, one is able to eradicate delusions and march towards liberation. 28/9/2024 Kechara Penang Study Group by Jacinta
Pastor  did dharma sharing on KFR retreat puja, purification after retreat and karma. Kechara Penang weekly puja. Pic taken by Siew Hong.
4 weeks ago
Pastor  did dharma sharing on KFR retreat puja, purification after retreat and karma. Kechara Penang weekly puja. Pic taken by Siew Hong.
Under the guidance from Pastor Seng Piow, Kechara Penang Study Group members completed our weekly Dorje Shugden Puja. 28th September 2024 by Jacinta.
4 weeks ago
Under the guidance from Pastor Seng Piow, Kechara Penang Study Group members completed our weekly Dorje Shugden Puja. 28th September 2024 by Jacinta.
Sponsors' packages nicely decorated nd offered up on behalf. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
4 weeks ago
Sponsors' packages nicely decorated nd offered up on behalf. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
Completed Dorje Shugden puja cum recitation of Namasangiti on 14th September 2024. Kechara Penang Study Group, uploaded by Jacinta.
4 weeks ago
Completed Dorje Shugden puja cum recitation of Namasangiti on 14th September 2024. Kechara Penang Study Group, uploaded by Jacinta.
Known as Merdeka Day (31st Aug 2024), our Kechara Penang members celebrated this day with Dorje Shugden and his entourage by doing a DS puja together with recitation of Namasangiti. Uploaded by Jacinta.
1 month ago
Known as Merdeka Day (31st Aug 2024), our Kechara Penang members celebrated this day with Dorje Shugden and his entourage by doing a DS puja together with recitation of Namasangiti. Uploaded by Jacinta.
24th Aug 2024, Kechara Penang Study Group members have completed weekly puja. A variety of kuihs and fruits were offered up on behalf of sponsors. By Jacinta
1 month ago
24th Aug 2024, Kechara Penang Study Group members have completed weekly puja. A variety of kuihs and fruits were offered up on behalf of sponsors. By Jacinta
At the point of the passing, the only thing that will help us and our loved ones is the Dharma. Hence, try to chant mantra, do pujas, giving alms and etc during this period. Bereavement puja by Kechara Penang Study Group by Jacinta.
3 months ago
At the point of the passing, the only thing that will help us and our loved ones is the Dharma. Hence, try to chant mantra, do pujas, giving alms and etc during this period. Bereavement puja by Kechara Penang Study Group by Jacinta.
Bereavement puja by Kechara Penang Study Group. May the deceased has good rebirth and the family members find solace in the Three Jewels. Thanks to Rinpoche for He always taught us about practising compassion through action. By Jacinta
3 months ago
Bereavement puja by Kechara Penang Study Group. May the deceased has good rebirth and the family members find solace in the Three Jewels. Thanks to Rinpoche for He always taught us about practising compassion through action. By Jacinta
Thanks to Sharyn, the florist came and arranged on the spot! What a lovely and colourful bunch flowers attractively arranged to Buddha as offerings. 2nd Penang DS retreat of the year (2024), uploaded by Jacinta.
3 months ago
Thanks to Sharyn, the florist came and arranged on the spot! What a lovely and colourful bunch flowers attractively arranged to Buddha as offerings. 2nd Penang DS retreat of the year (2024), uploaded by Jacinta.
As usual, a retreat will not be complete without nice tormas. Pastor Patsy and our dear Penang members ~ Swee Bee, Tang, Jasmine and Siew Hong came together as a perfect and united team in completing it. Penang DS Retreat 17-18th Aug 2024 by Jacinta.
3 months ago
As usual, a retreat will not be complete without nice tormas. Pastor Patsy and our dear Penang members ~ Swee Bee, Tang, Jasmine and Siew Hong came together as a perfect and united team in completing it. Penang DS Retreat 17-18th Aug 2024 by Jacinta.
A picture that says all. Thanks to Pastor Seng Piow, 12 retreatants and 51sponsors that make this event a successful one. See you all in our next retreat. Kam Siah. A simple yet full of gratitude note by Choong, uploaded by Jacinta.
3 months ago
A picture that says all. Thanks to Pastor Seng Piow, 12 retreatants and 51sponsors that make this event a successful one. See you all in our next retreat. Kam Siah. A simple yet full of gratitude note by Choong, uploaded by Jacinta.
Offerings being set up, getting ready to start the first day of Kechara Penang Group's retreat. By Jacinta
3 months ago
Offerings being set up, getting ready to start the first day of Kechara Penang Group's retreat. By Jacinta
As H. E. The 25th Tsem Tulku Rinpoche had mentioned a retreat is time taken away from our ordinary, daily, mundane activities specifically to focus on deeper meditation, deeper meditational practices to gain some benefits.  Kechara Penang Study Group by Jacinta
3 months ago
As H. E. The 25th Tsem Tulku Rinpoche had mentioned a retreat is time taken away from our ordinary, daily, mundane activities specifically to focus on deeper meditation, deeper meditational practices to gain some benefits. Kechara Penang Study Group by Jacinta
Retreat started for the second half of the year, 17th Aug 2024. We have new participants and those regulars. Thanks to Pastor Seng Piow and Choong for organising it. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
3 months ago
Retreat started for the second half of the year, 17th Aug 2024. We have new participants and those regulars. Thanks to Pastor Seng Piow and Choong for organising it. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
10th Aug 2024. Kechara Penang Study Group completed DS puja, led by Siew Hong. Uploaded by Jacinta.
3 months ago
10th Aug 2024. Kechara Penang Study Group completed DS puja, led by Siew Hong. Uploaded by Jacinta.
Thank you Pastor Seng Piow for the dharma sharing and leading today's puja 3rd August 2024. Pic by Siew Hong and uploaded by Jacinta.
3 months ago
Thank you Pastor Seng Piow for the dharma sharing and leading today's puja 3rd August 2024. Pic by Siew Hong and uploaded by Jacinta.
Puja sponsorships packages of RM100, RM 50 and RM30. Really appreciate the continuous support for our Penang DS Chapel. 28/7/2024 By Jacinta
3 months ago
Puja sponsorships packages of RM100, RM 50 and RM30. Really appreciate the continuous support for our Penang DS Chapel. 28/7/2024 By Jacinta
Completed weekly puja at Penang DS Chapel. 27th July 2024 by Jacinta.
3 months ago
Completed weekly puja at Penang DS Chapel. 27th July 2024 by Jacinta.
For those Penang members who were back in Penang, instead of having a weekend off, they chose to go to Penang DS centre and did a DS puja for the benefits of all beings. 20th July 2024, Saturday. By Jacinta
3 months ago
For those Penang members who were back in Penang, instead of having a weekend off, they chose to go to Penang DS centre and did a DS puja for the benefits of all beings. 20th July 2024, Saturday. By Jacinta
So proud of Penang Kecharians for attending initiations given by Venerable Chojila at Kechara Forest Retreat, Bentong on 20th - 21st July 2024. Against all odds, many of us made it there. (Not in the pic Mr. Teo and Sunny) By Jacinta.
3 months ago
So proud of Penang Kecharians for attending initiations given by Venerable Chojila at Kechara Forest Retreat, Bentong on 20th - 21st July 2024. Against all odds, many of us made it there. (Not in the pic Mr. Teo and Sunny) By Jacinta.
Wishing all sponsors' wishes be fulfilled and thanks for supporting our Kechara Penang Puja packages on 13/7/2024. By Jacinta
3 months ago
Wishing all sponsors' wishes be fulfilled and thanks for supporting our Kechara Penang Puja packages on 13/7/2024. By Jacinta
#throwback 13th July 2024, Kechara Penang Study Group completed DS puja. We have special guest that day, Paul, a long time senior Kecharian with his friends. By Jacinta
3 months ago
#throwback 13th July 2024, Kechara Penang Study Group completed DS puja. We have special guest that day, Paul, a long time senior Kecharian with his friends. By Jacinta
Beautiful offerings arranged by Choong. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
4 months ago
Beautiful offerings arranged by Choong. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
7/7/2024 Kechara Penang weekly puja completed. Kechara Penang Study Girup by Jacinta.
4 months ago
7/7/2024 Kechara Penang weekly puja completed. Kechara Penang Study Girup by Jacinta.
This week's puja offerings sponsored by a few people and we hope their wishes be fulfilled. Pic taken by Choong and uploaded by Jacinta.
5 months ago
This week's puja offerings sponsored by a few people and we hope their wishes be fulfilled. Pic taken by Choong and uploaded by Jacinta.
29th June 2024. Kechara Penang Study Group completed weekly Dorje Shugden cum Manjushri Namasangiti. Pic taken by Choong and uploaded by Jacinta
5 months ago
29th June 2024. Kechara Penang Study Group completed weekly Dorje Shugden cum Manjushri Namasangiti. Pic taken by Choong and uploaded by Jacinta
Need a dose of spiritual nourishment or perhaps any spiritual protection? Do take up our Kechara Penang food/candles offering packages. Do not hesitate to contact our member Choong for more info. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
5 months ago
Need a dose of spiritual nourishment or perhaps any spiritual protection? Do take up our Kechara Penang food/candles offering packages. Do not hesitate to contact our member Choong for more info. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
Different food offerings offered on Penang Kechara Chapel's altar behalf of the sponsors. May sponsors' wishes be fulfilled. Great effort from Choong Soon Heng, one of our Kechara Penang dedicated members who thought of this way for people to generate merits while clearing obstacles. Uploaded by Jacinta.
5 months ago
Different food offerings offered on Penang Kechara Chapel's altar behalf of the sponsors. May sponsors' wishes be fulfilled. Great effort from Choong Soon Heng, one of our Kechara Penang dedicated members who thought of this way for people to generate merits while clearing obstacles. Uploaded by Jacinta.
These are some of the offerings offered on behalf of our sponsors. We have different offerings packages which one can choose from or just simply sponsor our weekly puja in dedication to our loved ones. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
5 months ago
These are some of the offerings offered on behalf of our sponsors. We have different offerings packages which one can choose from or just simply sponsor our weekly puja in dedication to our loved ones. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
We hope you enjoyed our pictures, as much as we enjoyed our Wesak Day together in Penang. Let us carry the energy and enthusiasm we experienced so far and inspires many more. Happy Wesak Day! 22/5/2024 KPSG by Jacinta
6 months ago
We hope you enjoyed our pictures, as much as we enjoyed our Wesak Day together in Penang. Let us carry the energy and enthusiasm we experienced so far and inspires many more. Happy Wesak Day! 22/5/2024 KPSG by Jacinta
Puja offering packages. Thanks to those who sponsored the puja. May all your wishes be fulfilled. KPSG by Jacinta
6 months ago
Puja offering packages. Thanks to those who sponsored the puja. May all your wishes be fulfilled. KPSG by Jacinta
Colourful altar with plenty of offerings. We had DS puja with Praise to Buddha Shakyamuni as we celebrate this special day of Buddha's Birth, Enlightenment and Parinirvana. KPSG by Jacinta
6 months ago
Colourful altar with plenty of offerings. We had DS puja with Praise to Buddha Shakyamuni as we celebrate this special day of Buddha's Birth, Enlightenment and Parinirvana. KPSG by Jacinta
Some of the activities done during the Wesak Day Celebration in Penang. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
6 months ago
Some of the activities done during the Wesak Day Celebration in Penang. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
Wesak Day Celebration in Penang!Buddha's Bathing Ritual. 22/5/2024 Kechara Penang Study Group by Jacinta.
6 months ago
Wesak Day Celebration in Penang!Buddha's Bathing Ritual. 22/5/2024 Kechara Penang Study Group by Jacinta.
11/5/2024 Saturday @3pm. After puja, all members helped out clearing the offerings and we shared out the blessed food offerings with our families, friends and even animals. Kechara Penang Study Group by Jacinta
6 months ago
11/5/2024 Saturday @3pm. After puja, all members helped out clearing the offerings and we shared out the blessed food offerings with our families, friends and even animals. Kechara Penang Study Group by Jacinta
11/5/2024 Saturday @3pm. Activities during puja. Members chanting Dorje Shugden mantras. We've completed Dorje Shugden puja cum Namasangiti. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
6 months ago
11/5/2024 Saturday @3pm. Activities during puja. Members chanting Dorje Shugden mantras. We've completed Dorje Shugden puja cum Namasangiti. Kechara Penang Study Group by Jacinta.
11/5/2024, Saturday @3pm. Activities : Offerings of khata to Rinpoche, garland of flowers to Dorje Shugden and a new Tibetan butterlamp being offered on the altar. Kechara Penang Study Group by Jacinta
6 months ago
11/5/2024, Saturday @3pm. Activities : Offerings of khata to Rinpoche, garland of flowers to Dorje Shugden and a new Tibetan butterlamp being offered on the altar. Kechara Penang Study Group by Jacinta
Today we have an inaugural cancer free diet talk and info sharing by Mr. Ooi. Mr. Ooi is a Penangite and like any other man, he has a family to provide for. From colon cancer stage 4,he is now known as a cancer-free man. Learn more about his story and his acquaintance with Dorje Shugden here https://youtu.be/x7i-yXJBUwM?si=A-5O0udxjg52iS58
7 months ago
Today we have an inaugural cancer free diet talk and info sharing by Mr. Ooi. Mr. Ooi is a Penangite and like any other man, he has a family to provide for. From colon cancer stage 4,he is now known as a cancer-free man. Learn more about his story and his acquaintance with Dorje Shugden here https://youtu.be/x7i-yXJBUwM?si=A-5O0udxjg52iS58
The Promise
  These books will change your life
  Support Blog Team
Lamps For Life
  Robe Offerings
  Vajrayogini Stupa Fund
  Dana Offerings
  Soup Kitchen Project
 
Zong Rinpoche

Archives

YOUR FEEDBACK

Live Visitors Counter
Page Views By Country
United States 6,806,876
Malaysia 5,107,356
India 2,646,036
Singapore 976,006
United Kingdom 957,006
Bhutan 954,266
Nepal 949,864
Canada 832,752
Australia 658,575
Philippines 565,906
Indonesia 480,405
Germany 387,887
France 322,428
Brazil 266,843
Vietnam 244,244
Thailand 227,298
Taiwan 215,485
Italy 186,314
Spain 169,033
Netherlands 166,713
Mongolia 153,289
South Africa 143,640
Portugal 141,490
Türkiye 136,852
Sri Lanka 135,036
Hong Kong 131,373
Japan 128,602
United Arab Emirates 124,576
Russia 120,721
China 113,534
Romania 108,962
Mexico 102,857
New Zealand 97,130
Switzerland 95,124
Myanmar (Burma) 91,513
Pakistan 84,093
Sweden 82,889
South Korea 79,786
Cambodia 72,029
Poland 5,398
Total Pageviews: 27,206,613

Login

Dorje Shugden
Click to watch my talk about Dorje Shugden....