35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
(By Tsem Rinpoche and Pastor David)
Praktik 35 Buddha Pengakuan adalah salah satu praktik pemurnian batin yang tertua dan telah diterapkan sejak masa Buddha Shakyamuni. Praktik ini sendiri memiliki asal mula dalam Sutra Mahayana Tiga Bukit Sempurna, yang dalam bahasa Sansekerta disebut sebagai Triskandhadharmasutra.
Khotbah ini asalnya disampaikan oleh Buddha Shakyamuni sendiri dan diajarkan dalam Ratnakutasutra, sebuah kumpulan teks kuno yang berisikan sutra-sutra Buddhis Mahayana. Dalam sebuah penjelasan oleh Nagarjuna, asal usul praktik ini dikatakan dapat ditelusuri sampai pada masa ke 35 murid Bodhisattva dari Buddha Shakyamuni, yang pada suatu saat semuanya terlibat dalam kematian putra dari seorang penjual bir. Menyesal, mereka mengakui kejatuhan moral mereka kepada penatua Upali, yang saat itu menjadi panutan sebagai seseorang yang menjunjung tinggi sumpah dan komitmen kebiaraannya. Mereka memohon pada beliau untuk menyampaikan pengakuan dosa mereka kepada Buddha Shakyamuni dan meminta diturunkan sebuah ajaran untuk memurnikan kesalahan mereka. Buddha Shakyamuni melihat bahwa ke 35 murid Bodhisattva sebenarnya tidak bersalah dalam kasus tersebut, tetapi untuk kepentingan praktisi di masa depan, beliau bersedia mengajarkan Triskandhadharmasutra sebagai sebuah cara untuk memurnikan kejatuhan para praktisi dalam kesalahan.
Salah satu contoh tokoh spiritual terkenal yang mempraktikkan ilmu 35 Buddha Pengakuan adalah Lama Tsongkhapa. Beliau dikenal luas pernah melakukan sebuah tapa purifikasi dimana beliau menjalani ritual 3,5 juta sembah sujud. Laku spiritual ini terdiri dari 100.000 kali sujud kepada setiap 35 Buddha pengakuan. Beliau melakukan tapa ini setelah menerima nasehat dari Manjushri dalam sebuah penglihatan, dengan tujuan untuk mengalami secara langsung persepsi kekosongan (sunyata). Karena proses tapa yang luar biasa intensif, beliau sampai meninggalkan bekas tubuh sucinya pada lantai gua pertapaan yang terkikis halus akibat semua sujud yang beliau lakukan. Hasilnya, ketika beliau mendekati selesainya tapa, beliau diberi penglihatan murni oleh ke 35 Buddha Pengakuan serta Buddha Maitreya yang penuh kemuliaan, sekaligus mengalami langsung kekosongan (sunyata).
Hukum Sebab Akibat
Meskipun karma seringkali dianggap sebagai ajaran Buddha yang utama, sang Buddha sendiri bukanlah pencipta doktrin karma. Beliau mengajarkan tentang karma, atau hukum sebab akibat, yang beliau simpulkan berdasarkan pengamatan pribadi, seperti halnya Isaac Newton yang menemukan hukum gravitasi dengan mencermati efek gravitasi pada sebuah apel yang jatuh dari pohonnya.
Bagi kebanyakan orang, efek karma dapat dirasakan dan dimengerti melalui “logika berbasis bukti” atau pengamatan berbasis nalar. Sebuah contoh sederhana dari logika semacam ini adalah ketika kita melihat asap membumbung tinggi dari kejauhan. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa ada sebuah kebakaran yang sedang terjadi, meski letaknya terlalu jauh bagi kita untuk melihatnya dengan mata sendiri. Sama halnya ketika kita melihat ketimpangan di dunia ini – bagaimana beberapa orang terlahir dalam kondisi miskin sementara yang lain bisa menikmati hidup mewah– dari sini pula kita bisa menyimpulkan bahwa ada faktor-faktor tertentu yang menghasilkan kondisi tersebut. Faktor yang dimaksud adalah karma. Keadaan hidup yang berbeda-beda yang kita terima saat lahir adalah hasil berbuahnya karma kita sendiri dari kehidupan-kehidupan lampau. Jika kita melihat hal ini secara obyektif, kita pasti bisa melihat bahwa logika di balik karma ini sangat kuat, dan bisa menjelaskan secara efektif mengapa kita menjalani berbagai macam hal sepanjang hidup.
Karma dalam bahasa Sansekerta berarti perbuatan atau buah dari tubuh, perkataan dan pikiran. Di sisi lain, akibat dari karma disebut sebagai vipaka matang atau jatuh temponya karma, yang selalu akan kembali kepada kita melalui hal-hal yang kita alami. Terdapat banyak faktor di balik setiap perbuatan kita yang menentukan konsekwensinya. Faktor yang terpenting dalam menentukan konsekwensi aksi kita adalah niat atau tujuan. Tujuan atau motivasi yang mendorong aksi kita adalah sebuah topik yang banyak dibicarakan dalam ajaran Buddhis. Jika kita mengerti akan hal ini, akan ada titik balik dimana kita bisa merubah hidup kita. Niat juga menentukan apakah tindakan kita menjadi sesuatu yang positif, negatif atau meningkatkan pahala yang diperlukan untuk pencapaian pencerahan kita.
Penting bagi kita untuk mengerti perbedaan antara karma dan pahala. Karma adalah tindakan kita sehari-hari yang bisa bersifat positif atau negatif, muncul dari kecenderungan kita untuk memikirkan diri sendiri dan didasarkan secara langsung atau tidak langsung akan asas manfaat. Akibatnya, karma buruk menjadi menumpuk tiada akhir, meski bisa pada akhirnya dihabiskan melalui praktik pemurnian. Di sisi lain, pahala adalah tindakan yang secara khusus didedikasikan dengan niat mulia dan untuk tujuan pencerahan.
Karena itu, hasil dari pahala tidak bisa dihabiskan dan akan membawa kita pada pencerahan sepenuhnya. Meskipun pahala tidak bisa habis, karma negatif dalam jumlah besar dapat mengaburkannya, sehingga sulit bagi kita untuk merasakan manfaatnya. Hal ini menunjukkan juga betapa pentingnya peran praktik pemurnian untuk mencegah pahala kita dari proses pengaburan.
Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa hukum sebab akibat (karma-vipaka) terhubung erat dengan kehidupan kita di masa lampau dan masa depan. Akumulasi karma di setiap kehidupan kita sangat menentukan reinkarnasi kita (dikenal sebagai karma lompatan) dan kondisi hidup-hidup kita di masa yang akan datang (dikenal sebagai karma penggenapan). Jadi, kita bisa mengira-ngira sendiri tentang kehidupan-kehidupan lampau kita dengan melihat keadaan hidup kita saat ini dan hal-hal yang menarik perhatian kita. Sebagai contoh, kemiskinan adalah akibat langsung dari kekikiran dan memiliki kesehatan yang buruk di kehidupan sekarang adalah buah dari tindakan dalam kehidupan lampau yang membahayakan makhluk lain. Singkatnya, hasil karma selalu mirip dengan penyebabnya.
Karma juga memiliki efek kuat pada pikiran dan tingkah laku kita. Naasnya bagi kita, karma negatif cenderung menumpuk seiring berjalannya waktu, karena sifat manusia yang pada dasarnya senang memikirkan diri sendiri. Karena itu, manusia menderita berbagai penyakit psikologis dan mental; seperti bersikap agresif, tamak, terkena depresi dan lain lain. Hal semacam ini menghasilkan konflik dan ketidakpastian hidup yang makin meningkatkan rasa tidak puas dan ketidakbahagian kita. Sumber utama penderitaan dan rasa sakit manusia sebenarnya adalah pikiran dan sikap hidup kita sendiri. Jika kita meminimalisir faktor-faktor pikiran yang berbahaya bagi diri sendiri (seperti angan-angan atau harapan yang berlebihan dan penyakit mental), ketentraman batin, rasa puas dan bahagia akan muncul dengan sendirinya.
Praktik Pengakuan
Dalam Buddhisme, pengambilan sumpah merupakan sebuah praktik yang penting. Terdapat tiga macam sumpah utama sumpah Pratimoksha yang diambil seorang awam, biksu atau bikuni; sumpah Bodhisattva; dan sumpah Tantrik untuk mereka yang menjalani inisiasi tantra jenjang lebih tinggi. Sumpah-sumpah ini, dibarengi komitmen dan menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan buruk, menjadi landasan sebuah praktik efektif yang membuahkan pencapaian spiritual.
Menepati komitmen dalam menjunjung tinggi sumpah kita adalah komponen yang mutlak dalam sebuah praktik. Karena itu penting bagi kita untuk memurnikan karma dan rekam jejak negatif yang kita akumulasi akibat dosa kita, yaitu melalui pengakuan dan janji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dengan cara ini, kita meminimalisir atau menghilangkan sepenuhnya konsekwensi dari karma buruk kita. Komponen utama dari proses pemurnian adalah pengakuan. Tujuannya adalah membuka dan membeberkan pelanggaran yang telah dilakukan. Karena itu dalam bahasa Tibet, pengakuan disebut sebagai shakpa atau ‘membuka tabir sepenuhnya’. Dalam praktik Buddhis, menyembunyikan kesalahan menyebabkan proses purifikasi sulit terjadi, dan efek negatif dari kesalahan akan bergulir secara pasti. Jadi, mengakui kesalahan kita adalah inti dari pengakuan; kejujuran dan keterbukaan dalam segala situasi adalah intisari dari praktik Buddhis.
Supaya pengakuan kita dapat secara nyata memurnikan kesalahan kita, kita harus melakukannya sesuai dengan prinsip Empat Kekuatan Perlawanan. Kekuatan Perlawanan yang pertama adalah penyesalan. Kekuatan penyesalan menjadi aktif saat kita secara tulus melihat kesalahan kita dan menyadari bahwa akan ada konsekwensi negatif karenanya. Jika ini kita lakukan, kita akan penuh dengan rasa penyesalan. Kekuatan Perlawanan kedua adalah bergantung pada sosok pelindung, yang dalam hal ini adalah ke 35 Buddha Pengakuan. Setiap Buddha ini sepenuhnya tercerahkan dan karenanya setiap doa, sujud persembahan atau pengakuan yang kita haturkan akan membuahkan pemurnian dan akumulasi pahala.
Kekuatan Perlawanan ketiga adalah tekad untuk tidak mengulangi kesalahan. Ini akan terjadi setelah kita menyadari kesalahan kita dan bahwa hal itu menghasilkan konsekwensi buruk. Jadi, kita membulatkan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan kita. Hal ini mengantar kita pada Kekuatan Perlawanan yang keempat dan terakhir, yaitu penerapan perbaikan atau langkah-langkah penangkal untuk memurnikan karma. Tindakan ini bukan penebusan yang buta untuk kesalahan-kesalahan kita, tetapi langkah perbaikan yang dilakukan melalui pengertian yang baik tentang hukum sebab akibat. Tujuannya mencegah kecenderungan negatif dari karma yang sedang dimurnikan.
Praktik sujud atau pembacaan Sutra Mahayana Tiga Bukit Sempurna memiliki komponen “langkah perbaikan” dan ‘perlindungan’, dan karenanya jika dilakukan dengan penyesalan yang tulus dan tekad bulat untuk tidak mengulangi bakal menjadi langkah penangkal yang kuat bagi karma negatif yang telah terakumulasi.
35 Buddha Pengakuan
Dalam edisi Tibet Sutra Mahayana Tiga Bukit Sempurna, epitet Dezhin Shegpa (Tathagata atau ‘Yang Telah Sirna’) ditambahkan sebagai gelar kehormatan sebelum nama-nama dari setiap 35 Buddha Pengakuan. Penyertaan ini diprakarsai oleh Je Tsongkhapa setelah mendapat sebuah penglihatan dimana ke 35 Buddha Pengakuan tampil tanpa kepala. Tapi saat menyapa mereka dengan gelar kehormatan ‘Dezhin Shegpa’ kepala-kepala mereka secara ajaib muncul. Sejak saat itu sebuah tradisi dimulai oleh Je Tsongkhapa untuk membaca nama-nama para Buddha dengan gelar kehormatan Dezhin Shegpa.
Praktik 35 Buddha Pengakuan seperti yang terdapat dalam Sutra Mahayana Tiga Bukit Sempurna adalah praktik pengakuan. Ada dua macam pengakuan – pengakuan besar dan kecil. Pengakuan besar adalah meditasi tentang ketidakkekalan segala sesuatu yang ada. Pengakuan kecil adalah penerapan Keempat Kuasa Perlawanan digabungkan dengan sujud dan atau praktik lainnya, dengan kesadaran bahwa apa yang kita sebut realitas sesungguhnya adalah sebuah ilusi.
Berikut ini adalah deskripsi tentang 35 Buddha Pengakuan:
1. Tathagata, Buddha Shakyamuni
Nama Buddha Shakyamuni diikuti dengan beberapa gelar kehormatan seperti, Penghancur Musuh dan Yang Disempurnakan Seutuhnya. Nama-nama tersebut menggambarkan atribut-atribut spesial sang Buddha yang terealisasi dari sifat beliau yang tercerahkan. Buddha Shakyamuni yang dimaksud di sini adalah Buddha historis yang mencapai pencerahan penuh di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya. Beliau digambarkan berwarna keemasan dan duduk bersila dalam postur meditasi penuh sementara tangan-tangan beliau dalam gerakan menyentuh bumi atau dalam posisi Bhumisparsha mudra. Beliau mampu memurnikan karma negatif yang terkumpul selama lebih dari 10.000 eon.
2. Tathagata, Penakluk Sempurna Dengan Intisari Vajra (Vajrapramardi, Dorje Nyingpo Rabtu Jompa)
Beliau duduk di atas Buddha Shakyamuni di sebuah alam yang bernama ‘Intisari Ruang’. Beliau berwarna biru dan memegang sebuah vajra keemasan di tangannya. ‘Vajra’ atau adamantin melambangkan sifat utama beliau yang melebihi konsep manapun. ‘Intisari’ dalam nama suci beliau menandakan atribut-atribut tercerahkan beliau yang tak perlu diragukan lagi. Sementara gelarnya sebagai ‘Penakluk Sempurna’ menjadi indikasi kemampuan beliau untuk menghancurkan dan memurnikan segala penyakit emosional dan perbuatan buruk yang menumpuk selama 10.000 eon sekalipun.
3. Tathagata, Permata Sinar Terang (Ratnarcis, Rinchen O’tro)
Beliau duduk di sebelah timur di depan Buddha Shakyamuni dalam sebuah alam yang bernama ‘Bergelimang Permata’. Beliau berwarna putih dan memegang sebuah vajra dan matahari di tangan-tangannya. ‘Permata’ di dalam namanya melambangkan sifat-sifat superior beliau yaitu kesadaran yang murni, seperti cahaya bening yang menyingkirkan kegelapan ketidaktahuan. Sinar terang menandakan kemampuan beliau untuk mengulurkan tangannya untuk melenyapkan ketidaktahuan para makhluk sadar. Oleh sebab itu, beliau mampu memurnikan tindakan negatif yang terakumulasi selama lebih dari 25.000 eon.
4. Tathagata, Raja Digdaya Para Naga (Nageshvararaja, Luwang Gyi Gyalpo)
Beliau duduk di sebelah tenggara Buddha Shakyamuni di sebuah alam bernama ‘Tempat Penuh Naga’. Beliau berwarna biru dan memegang di tangannya sebuah tangkai pohon Naga dan seekor ular biru. ‘Naga’ dalam nama beliau melambangkan kesadaran primordial beliau yang bersifat sejuk namun bertindak bak seekor naga yang menghancurkan kemelekatan kita pada eksistensi yang fana. Beliau adalah sosok raja yang mulia, transenden dan sepenuhnya tercerahkan, yang telah melenyapkan semua jejak ketakutan dalam pikirannya. Beliau mampu memurnikan tindakan negatif yang terkumpul selama delapan eon.
5. Tathagata, Pemimpin Para Pahlawan (Virasena, Pawo De)
Beliau duduk di sebelah selatan Buddha Shakyamuni dalam sebuah alam yang bernama “Tempat penuh Pahlawan”. Beliau berwarna kuning dan memegang dalam tangannya sebuah Dharma dan pedang. “Pahlawan” di sini menggambarkan kesadaran primordialnya, yang tak tertandingi, dan bagaimana beliau tidak pernah kalah dalam pertempuran melawan siklus kehidupan. “Pemimpin” dalam nama beliau menyatakan akumulasi kepiawaian sebuah sosok yang tercerahkan penuh. Beliau memurnikan karma negatif yang muncul dari omongan kita.
6. Tathagata, Kenikmatan Yang Mulia (Viranandi, Pawo Gye)
Beliau duduk di sebelah barat daya dalam sebuah alam bernama ‘Tempat Yang Penuh Kenikmatan’. Beliau memiliki tubuh berwarna oranye dan memegang sebuah matahari dan sekuntum bunga teratai merah di tangannya. “Kenikmatan’ dalam nama beliau mengacu pada welas asihnya yang sangat besar untuk kepentingan para makhluk sadar. Beliau memurnikan karma buruk yang berhubungan dengan pikiran kita.
7. Tathagata, Permata Api (Ratnagni, Rinchen Me)
Beliau duduk di wilayah Barat dalam alam yang dinamakan “Tempat Penuh Cahaya”. Tubuh beliau merah warnanya dan dalam tangannya tergenggam sebuah permata tak ternilai dan sebuah cincin api. ‘Permata’ dalam nama beliau berarti kesadaran murni yang bersih dari pemikiran yang tidak terarah. Kepiawaian beliau terlahir dari kesempurnaan meditasinya sehingga akumulasi pengetahuan dan pahala beliau lengkap. ‘Api’ dalam nama beliau mengindikasikan kemampuan beliau untuk membawa manfaat bagi semua makhluk sadar melalui kesadarannya, dilengkapi energi yang besar, yang mampu membakar habis semua penyakit dalam pikiran kita. Beliau memurnikan karma negatif yang ekstrim, hingga mampu menimbulkan perpecahan dalam sangha.
8. Tathagata, Permata Sinar Purnama (Ratnacandraprabha, Rinchen Da’od)
Beliau duduk dengan tegas di sebelah Timur laut pada wilayah yang dikenal sebagai “Sinar Kebajikan”. Beliau memiliki tubuh putih dan memegang dalam tangannya sebuah permata dan sang bulan. ‘Permata’ dalam nama beliau menggambarkan kesadaran primordial beliau yang luar biasa, terbebas dari segala sifat negatif. ‘Sinar Purnama’ berarti kesadaran beliau penuh, terang dan mendinginkan adanya. Sinar beliau memurnikan karma negatif dan emosi yang menyiksa serta menyinari jalan menuju pencerahan. Beliau memurnikan karma negatif yang terkumpul dalam kurun waktu satu eon.
9. Tathagata, Berarti Untuk Dilihat (Amoghadarsi, Thongpa Donyo)
Beliau duduk di sebelah Utara, di alam yang disebut sebagai “Tabuhan Gendang”. Beliau berwarna hijau dan memegang dua mata dari sosok tercerahkan. Beliau memiliki kesadaran murni nan bening dan kepiawaian dalam memiliki sepasang mata kebijaksanaan (dan welas asih yang besar) untuk menyoroti sifat realita dan karma para makhluk sadar. Beliau memurnikan karma negatif berat yang ditimbulkan oleh tindakan mengkritik makhluk yang lebih tinggi dari kita.
10. Tathagata, Permata Purnama (Ratnacandra, Rinchen Dawa)
Beliau duduk di arah timur laut, di wilayah dunia yang disebut sebagai “Tempat Berhiaskan Pancaran Sinar”. Tubuh beliau berwarna hijau muda dan di tangannya terdapat sebuah permata dan sang purnama. ‘Permata’ dalam nama beliau berarti kesadaran murni beliau, bersih dari ketidakmurnian. “Purnama” menggambarkan kesadaran dan welas asih beliau yang besar. Beliau memurnikan karma negatif yang terjadi akibat pembunuhan seorang ibu oleh anaknya.
11. Tathagata, Sang Tak Bercela (Vimala, Drima Mepa)
Beliau duduk langsung di bawah Buddha Shakyamuni di sebuah alam bernama “Tempat Penuh Debu”. Tubuh beliau berwarna seperti debu dan beliau memegang di tangannya dua cermin tak bercela. “Tak Bercela” dalam namanya menandakan kesadaran murninya yang bisa melihat tanpa halangan, dan beliau memurnikan karma makhluk sadar supaya mereka mencapai sebuah keadaan yang “tak bercela”. Beliau juga memurnikan karma buruk dari seorang anak yang telah membunuh ayahnya. Selesai sudah pembahasan grup pertama yang terdiri dari 10 Buddha di sekeliling Buddha Shakyamuni. 10 selanjutnya divisualisasikan langsung di atas grup pertama para Buddha.
12. Tathagata, Dikaruniai Kemuliaan (Suradatta, Pa Jin)
Beliau duduk tegas di atas Buddha Shakyamuni di sebuah alam bernama “Penuh Kemuliaan”. Beliau memiliki tubuh putih dan menggenggam setangkai pohon dengan daun dan buah yang sedang tumbuh. “Kemuliaan” dalam nama beliau mengacu pada kualitas kesadaran primordial beliau yang terbebas dari kekeruhan. Beliau mampu menganugrahkan kepada makhluk sadar tumpukan pahala dan pengetahuan mendalam, di samping kebahagiaan. Beliau adalah sosok “pemberi” kenikmatan transenden dan mengabulkan permintaan dari makhluk sadar. Beliau juga memurnikan karma negatif berat yang muncul akibat pembunuhan seorang Arhat.
13. Tathagata, Sang Murni (Brahma, Tsangpa)
Beliau duduk di arah Timur dalam alam “Bebas Dari Kekeruhan”. Beliau berwarna oranye dan menggenggam dalam tangannya sebuah teratai dan matahari. Beliau dipanggil “Murni” sebagai penanda kesadaran murni terdalam beliau yang bersifat bersih tanpa halangan. Beliau memurnikan semua makhluk sadar dari karma yang menyangkut kematian dan kelahiran kembali, dan juga karma negatif berat dari tindakan menyakiti sosok Buddha yang tercerahkan secara penuh.
14. Tathagata, Bertransformasi Melalui Kemurnian (Brahmadatta, Shang Pey Jin)
Beliau duduk tegas di arah Tenggara dalam alam yang dikenal sebagai “Tanpa Kesusahan”. Beliau berwarna kuning dan memegang dalam tangannya sebuah bulan dan teratai. “Kemurnian” dalam namanya mengacu pada kesadaran murni beliau yang sempurna tanpa halangan. Selain memurnikan karma makhluk sadar, beliau juga mampu memberikan kebahagiaan bagi semua. Beliau memiliki kuasa untuk menetralkan karma negatif yang terakumulasi selama lebih dari 10.000 eon.
15. Tathagata, Dewa Air (Varuna, Chu Lha)
Beliau duduk di wilayah selatan dalam alam bernama “Tak Bercela”. Tubuhnya berwarna biru dan tangannya melakukan gerakan memberi Dharma. “Air” dalam namanya mengacu pada kesadaran beliau yang murni, jernih tanpa terhalang kekeruhan. Sifat air juga menjadi ciri khas kemampuan beliau untuk mengaliri pikiran makhluk sadar dengan Dharma. “Dewa” dalam namanya mewakili kemampuan magisnya untuk menciptakan berbagai emanasi dengan tujuan membawa manfaat bagi makhluk sadar. Beliau juga memurnikan karma negatif akibat memerkosa bikuni atau Arhat.
16. Tathagata, Dewa Agung Para Dewata Air (Varunadeva, Chu Lha Yi Lha)
Beliau duduk tegas di wilayah Baratdaya dalam alam bernama “Jernih Sempurna”. Beliau berwarna putih dan memegang di tangannya sebuah lingkaran atau mandala air dan sebuah cermin. Seperi Buddha sebelum beliau, ‘Air’ dalam namanya mengacu pada kesadaran murni beliau dan ‘Dewa’ menandakan kemampuan beliau untuk beremanasi untuk member manfaat bagi para makhluk sadar. Beliau juga membersihkan karma negatif berat dari tindakan membunuh Bodhisattva.
17. Tathagata, Kepiawaian Yang Mulia (Sribhadra, Palzang)
Beliau duduk tegas di wilayah Barat dalam alam yang dinamakan “Penuh Bahagia”. Tubuhnya berwarna merah dan beliau menggenggam sekuntum teratai dan tangkai dari pohon pengabul permintaan. “Mulia” dalam namanya mengacu pada pikiran beliau yang telah disempurnakan secara utuh untuk kepentingan makhluk sadar. “Kepiawaian” menggambarkan kesadaran murni beliau. Beliau memurnikan dan mengantarkan makhluk sadar ke tingkat pencerahan penuh.
18. Tathagata, Cendana Mulia (Candanasri, Tsendan Pal)
Beliau duduk di wilayah Barat daya di sebuah alam bernama ‘Tempat Nan Harum’. Tubuh beliau berwarna oranye dan di kedua tangannya terdapat tangkai pohon Cendana dan buah-buahan ranum. “Cendana” dalam namanya mengacu pada kepiawaian beliau dalam mengontrol emosi dan memurnikan penyakit yang berhubungan dengan emosi seperti ketidaktahuan dan lainnya. Bak wangi Cendana yang memenuhi seluruh ruangan jika dibakar, beliau mampu merasuki makhluk sadar dengan sifat-sifat kesempurnaan beliau. Beliau juga memurnikan karma negatif yang didapatkan dengan mencuri dari komunitas Sangha.
19. Tathagata, Keagungan Tanpa Batas (Anantatejas, Zijid Thaye)
Beliau duduk di wilayah Utara dalam sebuah alam yang disebut sebagai “Dikaruniai Keagungan”. Warna beliau merah dan menggenggam dalam tangannya dua matahari dan dikelilingi pengiring. “Keagungan” dalam namanya mengacu pada kesadaran beliau yang murni dan beliau mampu menberikan pada makhluk sadar manapun kejelasan pikiran. “Tanpa Batas” menjelaskan kemampuan tanpa batas beliau untuk membebaskan makhluk sadar dan juga banyak sekali kemampuan beliau yang lain. Beliau juga memurnikan karma negatif yang ditimbulkan akibat menghancurkan stupa.
20. Tathagata, Cahaya Mulia (Prabhasasri, O’pal)
Beliau duduk di wilayah Timur laut dalam sebuah alam yang bernama “Penuh Makna”. Beliau memiliki tubuh putih dan memegang sebuah cincin sinar putih. “Cahaya” dalam nama beliau mengacu pada kesadaran murninya yang mirip dengan sang surya bersinar mengenyahkan kegelapan akibat kekeruhan jiwa, yang pada akhirnya mempersiapkan jalan menuju pembebasan jiwa dan pengetahuan tanpa batas. “Mulia” mengacu pada kemampuan dan sifat beliau yang sempurna sebagai sosok yang penuh tercerahkan. Beliau membatalkan karma negatif yang ada akibat tindakan yang muncul dari rasa benci.
21. Tathagata, Mulia Tanpa Rasa Susah (Asokasri, Nyangen Mepa Pal)
Beliau duduk di bawah Sang Tanpa Cela dalam sebuah alam bernama “Tak Terhalang”. Tubuh beliau berwarna biru muda dan di tangannya terdapat batang pohon Asoka. “Tanpa rasa Susah” dalam namanya mengacu pada kesadaran primordial beliau yang telah menaklukkan siklus kehidupan serta mampu membebaskan makhluk sadar. “Mulia” menggambarkan kesempurnaan sifat dan kemampuan beliau. Beliau juga mencuci bersih karma negatif yang terjadi karena keterikatan.
22. Tathagata, Putra Tanpa Keinginan (Narayana, Sidme Kyibu)
Beliau duduk tegas di wilayah di atas Buddha Shakyamuni dalam sebuah alam yang dikenal dengan nama “Bebas Dari Keterikatan”. Tubuh beliau berwarna biru dan tangannya membentuk gerakan Gunung Meru serta memegang sekuntum teratai. “Tanpa Keinginan’ dalam namanya mengacu pada kesadaran primordial beliau yang bebas dari pemikiran negatif. Beliau juga membebaskan para makhluk sadar dari keterikatan pada kehidupan yang berulang. “Putra” di sini menggambarkan bagaimana beliau terlahir dengan pikiran yang tersadarkan serta besarnya welas asih. Beliau mampu memurnikan karma negatif yang terakumulasi selama lebih dari 10.000 eon.
23. Tathagata, Bunga Mulia (Kusumasri, Metog Pal)
Beliau duduk di wilayah Timur dalam sebuah alam bernama “Bunga-bunga Merekah”. Beliau berwarna kuning dan memegang sebuah bunga kuning dan buah yang ranum dalam tangannya. “Bunga” dalam nama beliau mengacu pada kesadaran murninya yang merekah indah dan juga menumbuhkan sifat-sifat yang sama dalam makhluk sadar. “Mulia” menggambarkan kemampuan beliau memberikan kesempurnaan bagi para makhluk sadar. Beliau memurnikan karma negatif yang terakumulasi selama lebih dari 100.000 eon.
24. Tathagata, Melihat Jelas Melalui Nikmat Terang Yang Murni (Tathagatabrahamajyotivikriditabhijna, Dezhin Shegpa Tsangpe Ozer Nampar Rolpa Ngonpa Khyenpa)
Beliau duduk di wilayah Tenggara dalam sebuah alam yang bernama ‘Tempat Penuh Kemurnian”. Tubuh beliau berwarna putih dan dalam tangannya terdapat sekuntum teratai dan sekumpulan cahaya. Gelar ‘Tathagata’ atau ‘Dezhin Shegpa‘ secara spesifik diberikan kepada Buddha ini, meskipun gelar tersebut juga berlaku bagi Buddha lainnya. “Kemurnian” dalam namanya mengacu pada kesadaran primordial beliau dan “Terang Yang Murni” menggambarkan berbagai sifat sempurna beliau. “Nikmat” dalam nama beliau berarti kemampuan besar beliau untuk beremanasi demi kepentingan makhluk sadar. Beliau melenyapkan karma negatif yang terakumulasi lebih dari 1.000 eon.
25. Tathagata, Melihat Jelas Melalui Nikmat Terang Teratai
(Tathagatapadmajyotivikriditabhijna, Dezhin Shegpa Padme Ozer Nampar Rolpa Ngonpa Khyenpa)
Beliau duduk di wilayah Selatan dalam sebuah alam bernama “Tempat Berhias Teratai”. Beliau berwarna merah dan tangannya membentuk gerakan memegang sekuntum teratai dan sebuah matahari. “Teratai” dalam namanya mengacu pada kesadaran primordial beliau yang merekah dan menginspirasi manusia untuk menanggalkan kesalahan-kesalahan duniawi mereka. “Melihat Jelas Melalui Nikmat Terang Teratai” menggambarkan berbagai sifat sempurnanya sebagai sosok tercerahkan. Beliau memurnikan karma negatif yang terakumulasi selama lebih dari tujuh eon.
26. Tathagata, Kekayaan Mulia (Dhanasri, Nor Pal)
Beliau duduk di wilayah Barat daya dalam sebuah alam bernama ‘Tempat Penuh Permata’. Tubuh beliau bewarna merah dan tangannya memegang dua permata. Permata atau Kekayaan di sini mengacu pada kesadaran murni beliau, yang pada gilirannya menghasilkan sifat-sifat sempurna yang senantiasa tumbuh. Beliau memenuhi permintaan makhluk sadar. “Mulia” dalam nama beliau mengacu pada kemampuan beliau untuk menganugrahi makhluk sadar dengan kesempurnaan sejati. Beliau juga memurnikan karma negatif yang muncul akibat kecanduan.
27. Tathagata, Kesadaran Penuh Yang Mulia (Smrtisri, Drenpe Pal)
Beliau duduk tegas di wilayah Barat dalam sebuah alam bernama “Cemerlang Sempurna”. Beliau berwarna kuning dan tangannya menggenggam sebuah pedang dan tulisan Dharma. ‘Kesadaran Penuh’ dalam namanya mengacu pada kesadaran primordial beliau yang tidak pernah lupa serta kemampuan beliau untuk mengingat semua kehidupan lampaunya. “Mulia” menandakan kemampuan beliau untuk menganugrahkan kepada makhluk sadar kesempurnaan penuh. Beliau memurnikan karma negatif pada tubuh praktisi.
28. Tathagata, Nama Mulia Nan Tersohor (Suparikrititanamaghepasri, Tshenpal Zhintu Yongdrag)
Beliau duduk di wilayah Barat laut di sebuah alam bernama ‘Tanpa Pertanda’. Tubuh beliau hijau dan beliau memegang sebuah mahkota Buddha di atas kepala. ‘Nama’ di sini mengacu pada kesadaran primordial beliau yang mengenali realita sebagai sebuah hal yang tidak kekal. ‘Nan Tersohor ’mengacu pada reputasi harum beliau yang tersebar luas di tiga alam keberadaan (Bentuk, Tanpa Bentuk dan Keinginan). Beliau memurnikan karma negatif yang muncul akibat membuat marah para Buddha.
29. Tathagata, Raja Panji Kemenangan (Indraketudhvajaraja, Wangpe Togyi Gyeltsen Gyi Gyalpo)
Beliau duduk tegas di wilayah Utara dalam sebuah alam bernama ‘Kuasa-kuasa Indera Tajam’. Warna tubuh beliau kuning dan beliau memegang di tangannya sebuah panji kemenangan dengan pucuk mahkota yang tak ternilai. Beliau juga dikenal sebagai Puncak Penginderaan, yang mengacu pada kemampuan kesadaran primordial beliau dalam mengindera realita secara tepat. Hal ini adalah bentuk kebijaksanaan yang tertinggi dalam kepiawaian mengenali kekosongan (sunyata) dan karena itu pantas menempati status puncak. ‘Panji Kemenangan’ memproklamasikan kemenangan beliau melawan siklus kehidupan dan “raja” mengacu pada sifatnya yang tercerahkan. Beliau memurnikan karma negatif tindakan yang dilakukan akibat rasa iri atau cemburu.
30. Tathagata, Yang Mulia Penakluk Sempurna (Suvikranta, Shintu Nampar Nonpyi Pal)
Beliau duduk tegas di wilayah Timur laut dalam sebuah alam yang dinamakan ‘Kenikmatan’. Beliau memiliki tubuh berwarna putih dan salah satu tangannya ada dalam posisi menyentuh bumi seperti Buddha Shakyamuni. Beliau adalah “penakluk” semua masalah yang berhubungan dengan emosi dan juga kekuatan-kekuatan jahat. Beliau menetralisir karma negatif yang timbul dari memerintahkan orang lain untuk berbuat jahat.
31. Tathagata, Pemenang Agung Dalam Pertempuran (Yuddhajaya, Gyule Shintu Nampar Gyalwa)
Beliau duduk tegas di wilayah bagian bawah dan dalam alam yang bernama ‘Bebas Delusi’. Warna tubuh beliau hitam dan di tangan beliau tergenggam sebuah pedang dan perisai. Beliau dikenal dengan nama ‘Pemenang Agung Dalam Pertempuran’ karena beliau mampu mengalahkan musuh-musuh dalam diri berupa emosi yang mendera, dan tindakan buruk dari makhluk sadar. Beliau telah menang atas siklus kehidupan dan karena itu mampu membimbing semua makhluk sadar menuju pembebasan jiwa. Beliau memurnikan karma negatif yang timbul akibat perbuatan yang didasari atas kesombongan.
32. Tathagata, Yang Mulia Penakluk Sempurna Yang Telah Menyebrang (Vikrantagamsri, Nampar Nonpe Shegpai Pal)
Beliau duduk di wilayah Timur dari arah Buddha Shakyamuni dalam sebuah alam bernama ‘Mulia’. Beliau memiliki tubuh berwarna putih dan kedua tangannya masing-masing dalam posisi menyentuh bumi dan memberi keberanian. Beliau dikenal sebagai penakluk yang telah mengalahkan semua musuh-musuh dalam diri seperti emosi buruk dan tindakan tercemar. Beliau disebut ‘Mulia’ karena kemampuannya untuk membimbing makhluk sadar mencapai kesempurnaan seutuhnya. Beliau memurnikan karma negatif karma yang muncul akibat memfitnah orang lain.
33. Tathagata, Pancaran Mulia Menerangi Semua (Samantavabhasavyuhasri, Kunney Nangwa Kodpai Pal)
Beliau duduk tegas di arah Selatan dalam sebuah alam bernama ‘Tempat Penuh Cahaya’. Tubuh beliau berwarna kuning dan beliau memegang sebuah matahari dan sebuah dahan yang berbuah permata. ‘Menerangi Semua’ dalam namanya mengacu pada kesadaran murni beliau yang mengenyahkan semua kebebalan dalam makhluk sadar. Beliau bernama ‘Mulia’ karena kemampuannya untuk membimbing makhluk sadar menuju kesempurnaan sejati. Beliau memurnikan karma negatif akibat bergembira karena perbuatan jahat.
34. Tathagata, Permata Teratai Sang Penakluk (Ratnapadmavikrami, Rinchen Padmai Nampar Nonpa)
Beliau duduk tegas di arah Barat dalam sebuah alam bernama ‘Penuh Kemuliaan’. Tubuhnya berwarna merah dan tangannya menggenggam sebuah permata dan sekuntum teratai. ‘Permata’ melambangkan semua sifat sempurnanya sebagai makhluk yang tercerahkan sepenuhnya. Teratai di sini menggambarkan sifat pikiran beliau yang tanpa cela. Beliau adalah penakluk hebat bagi semua emosi yang bermasalah dan perbuatan buruk yang dilakukan makhluk sadar. Beliau memurnikan karma negatif berat yang timbul akibat meninggalkan Dharma.
35. Tathagata, Raja Gunung Meru (Ratnapadmasupratisthitasailendraja, Dezhin Shegpa Dracompa Yangdagpa Dzogpai Sangye Rinpoche Dang Padma-la Rabtu Shugpa Riwang Gyi Gyalpo)
Beliau duduk di wilayah Utara dalam sebuah alam bernama ‘Taburan Permata Berharga’. Beliau berwarna biru langit dan tangannya menopang Gunung Meru. Beliau juga duduk di atas tahta yang dihiasi teratai, bulan, singa dan taburan permata. Batu permata dan teratai mengacu pada tahta beliau dan tahta Buddha lainnya. Permata juga melambangkan kesadaran primordial beliau dan sifat-sifat sempurna beliau sebagai makhluk tercerahkan. ‘Gunung Meru’ dalam namanya mengacu pada keteguhannya, sekokoh gunung-gunung dimana beliau bertahta. Beliau memurnikan karma negatif yg timbul akibat melanggar komitmen.
Visualisasi
Meskipun terdapat beberapa cara untuk melakukan visualisasi 35 Buddha Pengakuan, semuanya terpusat pada Buddha Shakyamuni sebagai figur utama. Teknik visualisasi di bawah ini diajarkan oleh Lama Zopa Rinpoche.
Anda memulainya dengan visualisasi sosok Buddha Shakyamuni berada sedikit di atas anda sebagai figur utama. Beliau duduk bersila dalam postur berlian (segitiga), pada sebuah tahta mutiara putih yang ditopang oleh gajah. Bayangkan Buddha Shakyamuni mengenakan jubah berwarna saffron yang biasa dipakai seorang biksu yang sudah ditahbiskan. Tangan kanan beliau menyentuh bumi dan tangan kiri memegang sebuah mangkuk sedekah penuh terisi dengan nektar kebijaksanaan. Dari jantung beliau, pancaran cahaya menyeruak keluar, 10 pancaran ke atas, 10 ke bawah, tujuh kearah kiri, dan tujuh lagi ke arah kanan. Pada titik terminasi setiap pancaran, terbentuk sebuah tahta mutiara putih yang ditopang oleh gajah.
Mutiara putih menyimbolkan proses pemurnian penuh dari perbuatan buruk kita. Di sisi lain, gajah yang menopang tahta adalah hewan yang paling kuat dan melambangkan pemurnian besar-besaran akan segala sesuatu yang bersifat negatif. Duduk pada setiap tahta adalah sosok Buddha dengan gerakan tangan masing-masing dan dari setiap Buddha suci, cahaya terang nektar bersinar dan memurnikan tubuh, perkataan dan pikiran anda dari berbagai karma buruk sebagaimana terang menyingkirkan gelap. Setelah berhasil memvisualisisasi ke 35 Buddha Pengakuan seperti ini, sujudlah sebanyak tiga kali sambil membaca mantra di bawah ini:
OM NAMO MANJUSHRIYE
NAMO SUSRIYE
NAMO UTTAMASRIYE SVAHA
Mantra ini akan meningkatkan manfaat sujud anda secara signifikan. Setelah itu anda bisa mulai membaca Sutra Mahayana Sutra Tiga Bukit Sempurna dibarengi gerakan sujud. Jika anda belum hafal seluruh isi sutra, anda bisa membacanya sekali, disusul bersujud dan mengulang semua nama ke 35 Buddha Pengakuan. Setelah selesai sujud, anda bisa mengulangi pembacaan sutra.
Proses pemurnian karma buruk ini efektif terutama jika dilakukan pagi hari dan sebelum tidur di malam hari. Metode ini menjadi cara yang paling manjur untuk membuat hidup kita lebih berarti melalui praktik pemurnian batin paling tinggi ini. Dengan berbekal praktik ini, kita dapat memurnikan karma buruk dalam jumlah besar tanpa harus menanggung akibatnya, atau paling tidak mengurangi konsekwensinya, di samping mengumpulkan pahala yang pada gilirannya akan membantu kita mencapai kemajuan spiritual. Oleh sebab itu, nilai dari praktik ini lebih mahal daripada harta benda duniawi.
Sutra Mahayana Tiga Bukit Sempurna
Kita dapat menggabungkan pembacaan mantra berikut dengan mantra Perlindungan, Menciptakan Bodhichitta, Guru Yoga Lama Tsongkhapa dan ayat-ayat persembahan teh serta mantra untuk mengundang Pelindung Dharma Dorje Shugden juga tak lupa pembacaan Dedikasi Umum di bagian akhir.
Teks Doa 35 Buddha Pengakuan
Sembah hormat kepada Pengakuan Kejatuhan Moral di bawah naungan Bodhisattva.
Saya, yang bernama [sebutkan nama anda], sepanjang waktu berlindung pada Sang Guru, berlindung pada Sang Buddha, berlindung pada Dharma, berlindung pada Sangha.
Kerabat Vajra Akshobhya (biru dalam warna)
1. Kepada Sang Guru, Yang Terberkati, Tathagata, Penghancur Musuh, Buddha yang Tersempurnakan Seluruhnya, sang Penakluk Yang Mulia Shakyamuni, saya bersujud.
2. Kepada Tathagata, Penakluk Sempurna dengan Intisari Vajra, saya bersujud.
3. Kepada Tathagata, Permata Cahaya Terang, saya bersujud.
4. Kepada Tathagata, Raja Digdaya Naga, saya bersujud.
5. Kepada Tathagata, Pemimpin Para Pahlawan, saya bersujud.
6. Kepada Tathagata, Kenikmatan Mulia, saya bersujud.
7. Kepada Tathagata, Permata Api, saya bersujud.
Kerabat Tathagata Vairochana (putih dalam warna)
8. Kepada Tathagata, Permata Cahaya Purnama, saya bersujud.
9. Kepada Tathagata, Berarti Untuk Dilihat, saya bersujud.
10. Kepada Tathagata, Permata Bulan, saya bersujud.
11. Kepada Tathagata, Sang Tak Bercela, saya bersujud.
12. Kepada Tathagata, Beranugrah Mulia, saya bersujud.
13. Kepada Tathagata, Sang Murni, saya bersujud.
14. Kepada Tathagata, Berubah Dengan Kemurnian, saya bersujud.
Kerabat Ratna Ratnasambhava (kuning dalam warna)
15. Kepada Tathagata, Dewata Air, saya bersujud.
16. Kepada Tathagata, Dewa Para Dewata Air, saya bersujud.
17. Kepada Tathagata, Kepiawaian Mulia, saya bersujud.
18. Kepada Tathagata, Cendana Mulia, saya bersujud.
19. Kepada Tathagata, Keagungan Tanpa Batas, saya bersujud.
20. Kepada Tathagata, Cahaya Mulia, saya bersujud.
21. Kepada Tathagata, Mulia Tanpa Rasa Susah, saya bersujud.
Kerabat Teratai Amitabha (merah dalam warna)
22. Kepada Tathagata, Putra Tanpa Keinginan, saya bersujud.
23. Kepada Tathagata, Bunga Mulia, saya bersujud.
24. Kepada Tathagata, Melihat Jelas Melalui Nikmat Terang Yang Murni, saya bersujud.
25. Kepada Tathagata, Melihat Jelas Melalui Nikmat Terang Teratai, saya bersujud.
26. Kepada Tathagata, Kekayaan Mulia, saya bersujud.
27. Kepada Tathagata, Kesadaran Mulia, saya bersujud.
28. Kepada Tathagata, Nama Mulia Yang Tersohor, saya bersujud.
Kerabat Karma Amoghasiddhi (hijau dalam warna)
29. Kepada Tathagata, Raja Panji Kemenangan, Kepala Para Digdaya, saya bersujud.
30. Kepada Tathagata, Yang Mulia Penakluk Sempurna, saya bersujud.
31. Kepada Tathagata, Pemenang Agung Dalam Pertempuran, saya bersujud.
32. Kepada Tathagata, Yang Mulia Penakluk Sempurna Yang Telah Menyeberang, saya bersujud.
33. Kepada Tathagata, Pancaran Mulia Yang Menerangi Semua, saya bersujud.
34. Kepada Tathagata, Permata Teratai Penakluk Agung, saya bersujud.
35. Kepada Tathagata, Penghancur Musuh, Buddha Yang Tersempurnakan Sepenuhnya, Raja Gunung Meru bertahta pada permata dan teratai, saya bersujud.
O Semua Tathagata dan beliau-beliau yang lain, bagaimanapun banyaknya para Tathagata, Penghancur Musuh, Buddha Tersempurnakan Sepenuhnya, Mereka Yang Terberkati bersemayam di semua alam duniawi di sepuluh arah mata angin, semua Buddha, Terberkati, mohon dengarkan saya.
Dalam kehidupan ini dan semua kehidupan saya sejak waktu tanpa permulaan dimulai, di semua tempat kelahiranku kembali saat mengembara di Samsara, saya telah berbuat buruk, telah menyuruh orang melakukannya, dan telah bersuka cita saat perbuatan tercela itu sudah dilakukan. Saya telah mencuri barang yang seharusnya menjadi persembahan, barang milik Sangha, dan milik berbagai Sangha di sepuluh penjuru, telah menyuruh orang untuk mencurinya, dan bersukacita ketika pencurian itu terjadi. Saya bersalah akan lima tindakan keji, telah menyuruh orang melakukannya, dan bersukacita ketika tindakan-tindakan tersebut dijalankan. Saya telah menapaki jalan menuju sepuluh tindakan tidak terpuji, telah menyuruh orang untuk melakukannya, dan telah bersuka cita ketika mereka melakukannya.
Dengan beban karma seperti itu, saya bakal jadi penghuni neraka, atau saya akan terlahir sebagai hewan, atau saya akan dikirim ke alam hantu-hantu lapar, atau saya akan terlahir sebagai seorang barbar di sebuah negeri tanpa agama, atau saya akan terlahir sebagai dewa dengan umur panjang, atau saya akan tidak mempunyai indera yang lengkap, atau saya akan memiliki pandangan yang salah, atau saya akan tidak memiliki kesempatan menyenangkan sosok Buddha.
Semua halangan karma saya beberkan di depan para Buddha, Sang Terberkati, yang telah menjadi kebenaran, yang melihat dengan secara bijaksana. Saya mengaku tanpa menyembunyikan apapun, dan mulai hari ini akan menghindari melakukan tindakan-tindakan buruk.
Bagi semua Buddha, Sang Terberkati, mohon dengarkan saya.
Dalam kehidupan ini dan semua kehidupan saya sejak waktu tanpa permulaan dimulai,di semua tempat kelahiranku kembali saat mengembara di Samsara, apapun akar mula kebajikan saya dalam memberi pada yang lain, bahkan ketika saya memberi sepotong makanan kepada makhluk yang terlahir sebagai hewan;
Apapun akar mula kebajikan saya dalam membina disiplin moral;
Apapun akar mula kebajikan saya dalam tindakan yang membantu pembebasan besar;
Apapun akar mula kebajikan saya dalam peran saya membantu makhluk sadar lain menjadi matang;
Apapun akar mula kebajikan saya dalam menciptakan pikiran agung berdasarkan Pencerahan;
Apapun akar mula kebajikan saya dalam merealisasikan kebijaksanaan tertinggi; semuanya ini terkumpul, terbina dan terjalin bersama, melalui dedikasi kepada yang tak tertandingi, kepada puncak tertinggi, kepada dia yang lebih tinggi daripada tinggi, kepada ia yang melampaui sang tak terlampaui,
Saya berdedikasi secara penuh kepada yang pecerahan yang tak terlampaui, sempurna seutuhnya.
Seperti halnya para Buddha, Sang Terberkati pada masa lampau, telah mendedikasikan secara utuh, seperti halnya para Buddha, Sang Terberkati yang akan datang, akan mendedikasikan secara utuh, dan seperti halnya para Buddha, Sang terberkati yang hidup kini, mendedikasikan secara utuh, saya juga berdedikasi secara utuh.
Saya mengakui semua perbuatan buruk saya satu persatu. Saya bersuka cita dengan adanya pahala. Saya memohon dan meminta semua Buddha.
Ijinkan saya menggapai kebijaksanaan suci, tertinggi, tak terlampaui dan agung adanya.
Siapapun Para Penakluk, makhluk-makhluk tertinggi yang ada kini, mereka pada masa lampau, dan juga mereka yang akan datang, dengan selautan penuh pujian untuk semua atribut baikMu, dengan telapak tangan saya merapat, saya mendekat memohon perlindunganMu.
Selesailah sudah Sutra Mahayana Sutra berjudul “Sutra Tiga Bukit Sempurna”.
Kesimpulan
Praktik 35 Buddha Pengakuan adalah salah satu bentuk metode purifikasi yang paling populer dan bisa dilakukan kapan saja. Praktik ini diajarkan oleh berbagai tokoh spiritual besar seperti Lama Tsongkhapa, yang melakukan sendiri tapa sujud kepada ke 35 Buddha Pengakuan untuk memurnikan diri dan mendapatkan pengetahuan mendalam. Praktik 35 Buddha Pengakuan diakui sebagai salah satu bentuk pemurnian yang paling manjur bagi praktisi awam (non-tantra).
Supaya praktik 35 Buddha Pengakuan efektif, harus dilakukan dengan Empat Kekuatan Perlawanan bebarengan dengan visualisasi. Ketika dipraktikkan bersama Empat Kekuatan Perlawanan, anda tidak sekedar memurnikan penampakan luar dari perbuatan-perbuatan buruk anda, tapi akar masalahnya sendiri, yaitu pikiran yang mementingkan diri sendiri. Pikiran egois inilah yang memicu persoalan-persoalan kita. Karena itu, 35 Buddha Pengakuan menjadi sebuah praktik yang tepat untuk meminimalisir efek permasalahan batin seperti ketidaktahuan, rasa benci dan keinginan yang berlebihan, sehingga pencapaian spiritual dapat kita raih dengan lebih mudah.
Akhir kata, 100.000 sujud sembah kepada ke 35 Buddha Pengakuan adalah salah satu praktik awal (ngondro) dalam menyiapkan diri untuk menerima inisiasi tinggi aliran tantra. Praktik ini bertujuan untuk memurnikan karma buruk sebanyak mungkin dan juga mengumpulkan sebanyak mungkin pahala, sehingga ketika kita dinilai pantas untuk menerima inisiasi tinggi tantra seperti Vajrayogini, pencapaian dapat diraih dengan cepat.
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details