Devadatta dan Menyalahkan Orang Lain (Bahasa Indonesia)
(Oleh Tsem Rinpoche)
Ketika seseorang menginginkan sesuatu dari anda, dan mereka tidak mendapatkannya, mereka marah. Mereka tidak pernah berpikir untuk berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka ingin anda memberikan apa yang mereka inginkan atau anda yang berusaha untuk mereka. Ketika mereka meminta dan anda tidak memberikan, mereka dengan segera menjadi musuh anda. Mereka pergi, menciptakan perpecahan, menghasut orang lain melawan anda. Mereka marah pada diri sendiri tetapi tidak mau menyalahkan diri, jadi mereka menyalahkan anda. Mereka tidak terbiasa menerima kesalahan. Mereka tidak biasa bertanggung jawab jadi mereka tidak bisa mulai melakukan hal ini sekarang. Kebiasaan sejak kecil dimana keinginan mereka ‘dipenuhi’ ketika merengek atau bertingkah membuat mereka seperti ini, tetapi kebiasaan ini tidak berguna sebagai orang dewasa yang bekerja dengan orang bertanggung jawab dan memiliki sistem penilaian yang berbeda. Anda mendapatkan hasil dari usaha sendiri.
Mereka mungkin lalu berkata kasar dan marah pada anda. Lucunya, pada awalnya mereka mendapatkan simpati karena mereka sangat pandai dalam membalikkan fakta agar mereka terlihat seperti korban, tetapi pada akhirnya orang-orang akan melihat siapa mereka, bagaimana mereka berlaku, apa motivasi mereka, dan orang-orang ini akan bertanya, “Apakah benar keadaannya seburuk itu?” “Apa yang benar-benar buruk?” “Apa yang mereka inginkan dari semua ini?” Dan kemungkinan besar dari proses dipertanyakan ini, mereka kehilangan rasa hormat dari orang-orang yang telah bersama mereka bertahun-tahun. Anda tidak bisa terus menerus merasa tidak senang dan menyalahkan orang lain dan berharap semua orang akan setuju selamanya.
Marah itu adalah pilihan. Solusi terbaik dan termudah dari orang-orang ini sekarang dan bahkan pada zaman Devadatta adalah minta maaf. Minta maaf karena mereka kurang berusaha, kemudian menghadapi rasa tidak percaya diri dan takut dan kemudian kembali bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Apakah itu untuk mendapatkan ketenaran, cinta, peduli, uang, tujuan, kasih, sukses, dan sebagainya. Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda mau dengan berkata kasar atau mengamuk pada orang yang anda persepsikan sebagai ‘musuh’ seumur hidup. Tidak ada yang dapat menghancurkan hidup anda kecuali anda sendiri. Rahasianya adalah kembali, membayar kesalahan anda dan bekerja dengan orang-orang yang dapat membantu anda mendapatkan apa yang anda mau atau melakukannya sendiri. Dengan kata lain, bila Devadatta ingin menjadi pemimpin Sangha, bukannya memelihara rasa malas, licik dan tidak berharga, tetapi membuat dirinya pantas dan kemudian memohon kepada sang Buddha lagi. Bila ia memilih untuk tidak melakukannya, maka tinggalkan sang Buddha dengan diam dan sadari bahwa ia telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keinginannya. Ia tidak perlu menciptakan perpecahan antara sang Buddha dan anggota Sangha untuk menutupi egonya yang terluka dan kesalahannya yang terungkap. Dia sendiri yang menyebabkan apa yang kemudian terjadi padanya.
Orang seperti ini bisa menyalahkan anda dan menuduh anda menghancurkan hidup mereka, dan mereka juga bisa berkata bahwa anda menyebabkan mereka bermimpi buruk. Mungkin kedengarannya lucu. Mereka marah karena anda sangat ‘menyakiti’ mereka. Mereka punya uang, pendidikan, kesehatan, kesempatan dan modal untuk bangkit kembali, jadi seharusnya mereka keluar dan mencapai keberhasilan!! Berhenti menyalahkan satu tempat yang tidak memberikan keinginan mereka, tetapi dapatkan kesuksesan dengan usaha sendiri di tempat lain. Sederhananya, bila mereka memang bisa, lihatlah apa yang bisa mereka hasilkan di kemudian hari. Semua orang dalam hidup kita bisa menyaksikan keberhasilan apa yang kita capai termasuk hati nurani kita. Bila anda bertanya kepada orang-orang ini atau mendengarkan bagaimana mereka disakiti, anda akan terkejut. Karena penyebab sakit hati mereka sangatlah kecil dan sebetulnya hanya ada di pikiran mereka. Tetapi mereka ingin anda bertanggung jawab. Menunduk pada mereka. Mengatakan mereka benar. Dan bahkan bila mereka benar, tetap saja mereka tetap harus bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Kerja, berusaha, berbicara, bersahabat, memiliki substansi, memiliki harga diri adalah apa yang membuat kita berhasil. Tetapi bila kita tidak mendukung kemarahan mereka, mereka akan menjaga jarak dan memutuskan hubungan dengan segera. Mereka akan berbalik melawan anda dan mereka akan berkata bahwa anda tidak mengerti rasa sakit yang mereka alami padahal, mereka tahu kalau anda melihat ada yang salah dengan alasan yang mereka paparkan karena rasa marah yang amat sangat. Mereka bersembunyi dalam diri dan mencari cara dan jalan untuk membalas dendam atau hanya meratapi diri dan mengalami kemerosotan. Tetapi sayangnya, mereka tidak akan mencapai tujuan mereka dengan cara ini. Lebih cepat mereka menyadarinya, lebih baik, dengan asumsi mereka memiliki tujuan dan tahu cara mendapatkannya.
Dalam kasus Devadatta, bukannya menggunakan berbagai taktik licik untuk mencapai tujuannya, seharusnya ia menelan egonya dan kembali pada sang Buddha. Setidaknya ia tahu bahwa sang Buddha menyediakan tempat untuk memungkinkan dan mendukung perubahan. Masalah Devadatta adalah ego yang berubah jadi amarah dan bukannya sang Buddha berbicara tanpa basa-basi dengannya. Devadatta tidak jahat dari sananya, tetapi ia malas untuk merubah sikapnya seperti kebanyakan orang. Saya yakin sang Buddha akan menerima Devadatta kembali karena sang Buddha sangat pengasih, tetapi mungkin beliau akan memberikan latihan intensif agar Devadatta berubah. Tetapi dengan tidak kembali, keadaan Devadatta semakin merosot sampai tidak bisa diperbaiki lagi. Seharusnya teman-teman Devadatta membantunya kembali pada sang Buddha.
Orang yang sangat sukses tidak akan marah karena hal-hal yang mereka tahu bisa diperbaiki. Mereka marah pada diri mereka tetapi kemudian berusaha untuk memperbaiki keadaan. Kuncinya adalah mereka melakukan sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan mereka. Orang yang tumbuh besar tanpa kesuksesan yang merupakan hasil usaha sendiri suka menyalahkan orang lain. Karena seperti anak manja, ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, mereka menangis pada orang tua mereka dan bertingkah. Mereka terbiasa mengamuk dan kemudian ada orang yang datang untuk ‘menyelesaikan’ masalah, atau memberikan apa yang mereka inginkan secara cuma-cuma. Sebagai orang dewasa yang tidak lagi di bawah perlindungan orang tua yang memanjakan, kita harus belajar bahwa dunia tidak seperti itu. Bila kita tidak mau belajar, maka kita kembali ke zona aman kita. Zona aman ini bisa berupa pacar, suami/istri, gaya hidup atau bahkan orang tua.
Orang-orang seperti ini akan selalu menyalahkan orang lain dan berhenti di sana. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan. Menyalahkan orang lain dan mengeluhkan penderitaan mereka karena kesalahan ini. Ya mungkin saja pihak lain yang salah dan bukan seluruhnya kesalahanmu, tetapi anda tetap harus maju, bekerja dan bekerja lebih keras untuk mencapai apa yang anda inginkan. Karena ini adalah kesalahan pihak lain. Ok. Tapi kemudian anda harus maju dan berhasil tanpa dukungan orang lain. Buktikanlah. Bila tidak bisa membuktikan, maka diamlah. Anda telah kehilangan kesempatan. Bila ingin menyelamatkan diri, maka telanlah ego anda dan kembali ke tempat yang anda tinggalkan dengan kutukan. Semua orang memiliki kesempatan dalam hidup. Tetapi tergantung anda sendiri apakah anda menggunakan kesempatan ini atau tidak. Mengeluh itu tidak apa ketika anda melakukan dan menghasilkan sesuatu setelahnya, bila tidak siapa yang suka mendengar rekaman rusak. Rekaman rusak itu tetap saja rekaman rusak tidak peduli seberapa ‘benarnya’ anda.
Pada video di bawah ini, anda bisa menyaksikan Devadatta telah tinggal di lingkungan Sangha sang Buddha selama puluhan tahun. Bahkan setelah berpuluh tahun, ia masih belum berubah dan ingin kehormatan dan kekuasaan instan. Ia ingin menguasai Sangha, bertanggung jawab atas mereka tanpa membuktikan dirinya mampu. Dia ingin sang Buddha untuk memberikan kekuasaan ini kepadanya. Sudah jelas dari pernyataan sang Buddha bahwa beliau tidak akan memberikan kekuasaan ini pada ‘seonggok ludah’, yang berarti Devadatta tidak pernah berubah. Dia memang mengadopsi gaya hidup sangha tetapi ia tidak pernah berubah. Jelas Buddha maha tahu dan mengetahui bahwa ego Devadatta yang besar dan motivasinya yang salah.
Sang Buddha bisa saja menolak Devadatta dengan ‘halus’, tetapi sang Buddha pasti telah menggunakan cara halus selama berpuluh-puluh tahun di masa lalu dan cara ini tidak menolong Devadatta. Jadi sang Buddha menggunakan cara langsung karena waktunya semakin singkat. Dan juga kita tidak tahu masalah apa yang telah disebabkan Devadatta, dan kegagalannya sampai pada titik ia meminta tonggak kepemimpinan Sangha. Intinya, menolak dengan halus atau tidak halus bukanlah masalah sebenarnya. Ditolak secara halus tidak akan bermanfaat bagi Devadatta karena bukannya berlatih, ia memelihara rencana/ambisi negatif. Ia akan berbahaya dalam jangka pendek dan panjang. Mungkin sang Buddha harus mengambil tindakan untuk menghentikan celaka kepada anggota Sangha dalam jangka panjang. Ya sang Buddha maha tahu dan memiliki alasan untuk berterus terang kepada Devadatta. Bila sang Buddha telah bertindak untuk memberi manfaat bagi orang lain di masa lalu, mengapa beliau ingin mencelakakan Devadatta sekarang? Bila melihat tindakan terdahulu sang Buddha, hal ini tidak masuk akal.
Profesor Donald S. Lopez, Jr. Berbicara Mengenai Devadatta (Versi singkat)
Memang ada orang yang memiliki maksud tertentu yang ketika tidak tercapai, mereka menyalahkan orang lain. Memang ada orang yang tidak tahu berterima kasih. Setelah berpuluh tahun Bersama sang Buddha dan menerima banyak ajaran/manfaat, apakah pantas bagi Devadatta untuk berbalik melawan sang Buddha hanya karena satu alasan? Mengapa ia lupa semua kebaikan sang Buddha dan hanya ingat hal yang ‘tidak enak’ saja? Bagi Devadatta untuk berada diantara murid sang Buddha selama berpuluh tahun, artinya ada hal besar yang telah terjadi, dan Devadatta telah menerima banyak manfaat kalau tidak, ia tidak akan tinggal selama itu. Hal ini sangat tidak masuk akal.
Untuk mencemarkan nama sang Buddha karena satu alasan, berapa banyak orang yang dicelakakan karena Devadatta melakukan hal ini? Bisakah Devadatta memikirkan orang lain selain dirinya sendiri sekali ini? Sang Buddha memimpin puluhan ribu Sangha, dan kita tahu sang Buddha memiliki kasih dan keahlian luar biasa, jadi kita tidak perlu mempertanyakan metode sang Buddha berdasarkan hasil-Nya. Bacalah 108 jilid ajaran verbal sang Buddha (Kangyur) dan perhatikan metode yang diajarkan sang Buddha untuk memerangi 84.000 delusi untuk kita. Semua ini tidak berasal dari pikiran biasa. Bila kita mulai mempertanyakan motivasi sang Buddha maka kita mempertanyakan kondisi tercerahkan atau pencapaian seorang Buddha dan apa yang bisa kita capai. Tidak mungkin sang Buddha tidak berpencapaian. Tidak mungkin dari puluhan ribu orang yang mengikuti ajaran sang Buddha, tidak ada yang mencapai pencerahan bila dilihat dari biografi, tindakan, karya tulis dan murid-muridnya. Mungkinkah Shariputra, Maugdalaya, Angulimala, Ananda, Nagarjuna, Shantideva, Bhaveiveka, Tantipa, Padmasambhava, Naropa, Tilopa, Atisha, Candrakirti, Asanga, Tsongkhapa, Chandragomin, Dharmakirti, Serlingpa, Kedrup Je, Panchen Sonam Drakpa, Birwapa, Ensapa, Changkya Rolpay Dorje, Dilgo Kyentse Rinpoche, Trijang Rinpoche, Pabongka Rinpoche dan guru kita tidak memiliki pencapaian atau tidak tercerahkan dalam beberapa kasus? Bila seperti itu, kita harus menanyakan motivasi, tindakan, arahan dan pencapaian setiap guru setiap kali. Wah, semua ini akan memakan banyak waktu dan kita tidak punya ruang untuk berlatih.
Tapi apakah ini berarti, tidak ada guru, yang merupakan orang biasa, berbuat salah? Tentu saja hal ini tidak benar. Guru biasa membuat kesalahan biasa. Begitu juga dengan orang tua yang kita cintai. Begitu juga dengan saudara, pasangan, anak dan sahabat kita. Lalu bagaimana? Apakah ketika mereka berbuat salah, kita lalu menjadi musuh? Bila kita menjadi musuh semua orang yang pernah berbuat salah dalam hidup kita, maka kita tidak akan punya keluarga atau pasangan. Bagaimana mungkin kita mengeluh mengenai pasangan, sahabat, orang tua berulang kali tetapi tidak menjadi musuh mereka? Karena kita memerlukan mereka? Perlu menggunakan mereka? Begitu juga dengan orang-orang dalam hidup kita. Mengapa guru yang mengajar hal terbaik berbeda dengan orang-orang yang telah bermanfaat bagi kita? Apakah guru itu lebih mudah ditinggalkan? Jadi apa yang harus kita lakukan mengenai kesalahan biasa? Seperti praktisi lainnya, kita bertanggung jawab untuk memberi tahu guru kita dengan hati yang tulus dan penuh kasih. Dengan lembut kita menunjukkan jalan alternatif sebagai rasa syukur terhadap guru kita. Kita menjelaskan berdasarkan rasa cinta kasih, sabar, dan peduli.
Dengan tidak melawan atau menciptakan perpecahan dan celaka. Kita bisa meminta pendapat murid lain. Bila mayoritas murid merasa guru kita benar, mundurlah selangkah untuk berpikir dengan seksama. Mungkin mereka benar, mungkin tidak, tetapi metode kita tidak diperlukan. Bila mayoritas orang melihat seperti ini, mungkin penglihatan mereka lebih jernih daripada kita saat ini. Bila tidak, buat apa melakukan voting? Poinnya adalah, karena seorang guru harus mencintai dan menunjukkan cinta kasih, seorang murid juga harus berlaku sama. Seseorang tidak bisa bersembunyi dibalik identitas murid untuk waktu yang lama dan hanya berharap untuk menerima dan menerima lebih. Timbal balik itu penting dalam hubungan manapun. Seorang murid harus menunjukan cinta, peduli, murah hati, keberhasilan, kemajuan, kesabaran terhadap gurunya. Maka ini adalah hubungan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Mintalah pada orang yang sekarang menjadi musuh kita rasa peduli, cinta dan kesempatan kedua. Jangan pedulikan ego. Ego bukanlah sahabat kita…
Kisah sang Buddha dan Devadatta bermanfaat bagi kita hari ini dan mungkin kita menghadapi situasi yang mirip dalam hidup kita. Sang Buddha bahkan memberi manfaat bagi kita di ruang dan waktu yang berbeda melalui kisah ini.
Bukannya berpikir lebih dalam mengenai nasihat sang Buddha dan merubah pikiran dengan seketika, merendahkan diri dan menerima nasihat sang Guru (Buddha), Devadatta menunjukkan kemarahan. Karena egonya yang sangat besar tersakiti. Dia menjadi sangat marah. Ia menyalahkan sang Buddha karena ia tidak mendapatkan kuasa dan ketenaran yang menjadi milik pemimpin Sangha. Ia tidak peduli mengenai beban sang Buddha, ia hanya ingin mendapatkan kuasa atau tujuan tidak baik lainnya. Seorang pemimpin sangha harus memberikan contoh yang baik, rendah hati, terpelajar dan baik hati. Sudah jelas ia tidak memiliki kualitas ini. Ia menggunakan usia sang Buddha sebagai alasan untuk mengambil alih kuasa, tetapi ia tidak peduli dengan sang Buddha sama sekali. Dia menginginkan kuasa. Dan Sang Buddha tidak memberikan kuasa dan ketenaran yang diinginkannya. Jadi semua kebaikan yang diterima dari sang Buddha selama puluhan tahun dilupakan.
Hanya tindakan Buddha yang ‘tidak baik’ yang diingat dan menjadi fokus. Tiba-tiba saja sang Buddha tidak pernah berbuat baik padanya!! Semua yang baik dilupakan agar sesuai dengan maksud Devadatta. Menurutnya sang Buddha sangat ‘jahat’ dan ia mencoba menciptakan perpecahan diantara Sangha. Ia ingin menutupi maksud sebenarnya dengan memfitnah sang Buddha. Memfitnah reputasi sang Buddha dengan mengatakan beliau lalai. .. Wow lalai, beliau sudah menjadi seorang Buddha!! Dan sang Buddha bisa lalai? Mengapa Devadatta ingin menjadi anggota Sangha atau memegang kendali, atau menjadi pemimpin Sangha, bila sang Buddha bisa lalai? Intinya, menjadi anggota Sangha itu untuk menjadi Buddha. Bila sang Buddha bisa lalai, buat apa menjadi anggota Sangha? Tidak usah menjadi anggota sangha. Beberapa anggota Sangha yang tidak setia dan bertelinga tipis termakan ucapan Devadatta dan meninggalkan sang Buddha, tetapi kemudian mereka diyakinkan untuk kembali. Bayangkan? Diyakinkan untuk kembali pada sang Buddha. Seperti sang Buddha jahat dan mereka harus diyakinkan. Wow. Orang bertelinga tipis itu aneh.
Ada orang-orang pada zaman sang Buddha dan bahkan sekarang di setiap organisasi Dharma atau organisasi manapun yang suka memecah belah. Mereka tidak pernah berteriak, kasar atau jelas-jelas berusaha menimbulkan perpecahan. Mereka berkata bahwa mereka suka lingkungan yang tenang, tetapi kenyataannya tidak ada yang tenang mengenai pikiran mereka karena bukannya berbicara langsung dengan baik-baik, mereka menjatuhkan satu kata di sini dan di sana dan tidak pernah dalam sebuah pertemuan atau kelompok besar. Mereka menimbulkan pikiran perpecahan dengan senyuman, pada saat ngopi atau dibarengi dengan hadiah (saya memiliki pengalaman seperti ini dari orang-orang yang sering menjelek-jelekan guru/ pemimpin), dengan suara lembut.
Berhati-hatilah! Gejolak yang mereka ciptakan di pikiran kita hanya akan menyebabkan ketidak-bahagiaan, sangat jauh dari tingkah laku mereka yang tenang saat menyampaikan perpecahan ini. Orang-orang seperti ini mudah dikenali. Mereka jarang memberikan opini kuat dalam pertemuan, bahkan cenderung diam karena banyak yang menyaksikan, dan takut ketahuan. Mereka tidak pernah meninggikan suara karena mereka tidak pernah benar-benar tertarik tentang apapun, seperti yang dibuktikan dari tidak adanya hasil yang dicapai sendiri dalam hidup mereka sampai saat ini. Bila mereka bisa berhasil dengan kemampuan diri, mengapa mereka tidak melakukannya? Meninggikan suara itu bukannya tata krama yang baik, tetapi saya lebih suka orang yang bersuara keras dan berbicara langsung daripada orang yang diam dan suka berbisik di belakang orang lain.
Orang ini selalu menarik orang lain ke samping dan ‘berbicara’. Mereka selalu berbicara dengan cara tertentu. Mereka tidak mengatakan secara langsung apa yang ingin mereka tanamkan dalam pikiranmu, tetapi mereka menanyakan pertanyaan untuk ‘membantumu berpikir’ ke arah tujuan perpecahan mereka. Mereka akan membantumu sampai pada kesimpulan yang mereka inginkan. Sebenarnya, mereka hampir selalu tidak bahagia karena efek karma dari menyebabkan perpecahan. Seharusnya mereka segera berubah. Terkadang, mereka menggunakan orang lain untuk berbicara mewakili mereka karena mereka tidak mau terlihat jelek atau terperangkap dalam situasi kehilangan muka. Mengapa? Karena ini bukan mengenai kamu atau bagaimana mereka memberikan manfaat kepadamu, tetapi bagaimana mereka terlihat baik. Terlihat baik lebih penting bagi mereka dibandingkan dengan kesejahteraan organisasi, anggotanya dan dirimu. Anda hanyalah sebuah alat yang digunakan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saya yakin anda telah berpapasan dengan banyak orang seperti ini. Bagaimana menghadapi mereka? Seperti menghadapi orang lain, kita menunjukkan kesabaran, cinta kasih, kepedulian dan hadiah. Bila semua ini tidak efektif setelah beberapa waktu dan mereka tetap mencelakakan, maka anda bisa berbicara dengan mereka, dengan ribuan kilo kasih, secara langsung karena cara tidak langsung tidak bermanfaat bagi mereka.
Ketika Devadatta berencana MEMBUNUH sang Buddha melalui perpecahan dengan memisahkan anggota Sangha dengan mengatakan sang Buddha lalai tidak efektif, ia menjadi fokus dan lebih marah lagi. Ia menyalahkan kegagalannya pada sang Buddha. Ia merasa bahwa kemarahannya wajar sebab karena sang Buddha, ia tidak bisa mendapatkan kekuasaan dan ketenaran. Inilah apa yang ia katakan pada pendukungnya yang berpikiran sama. Apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan sang Buddha untuk Devadatta, tidak membuatnya pantas untuk menjelek-jelekan sang Buddha walaupun tidak berhasil, dan kemudian berusaha membunuh sang Buddha. Luar biasa. Dan juga ketika kita tidak mendukung Devadatta dan semua Devadatta dalam hidup kita, mereka tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu yang mencelakakan dan konyol. Mereka membutuhkan dukungan agar bisa menutupi maksud mereka yang sebenarnya. Devadatta harus mengunjungi sang Buddha, minta maaf, menelan egonya yang besar dan berubah. Selesai.
Maksud saya, berapa kali orang tua kita memarahi kita ketika kita bertingkah laku buruk, bahkan di hadapan umum? Kita bisa memilih untuk melawan mereka atau menyadari berapa banyak manfaat yang kita terima dari mereka, dan ini juga merupakan salah satu metode mereka juga. Kita mengalah pada orang tua kita dengan merenungkan kebaikan mereka pada kita. Kenyataannya, guru kita bahkan lebih baik karena mereka mengajarkan jalan untuk menghentikan semua penderitaan dan kita bisa menerapkan ini pada semua orang yang telah berbuat baik pada kita. Benar-benar cara yang mengagumkan untuk hidup. Untuk membawa cara Dharma yang mengagumkan kepada banyak orang karena kita bersabar dalam belajar dan menerapkannya. Yang terbaik adalah, kita mengalahkan musuh yang sebenarnya (ego yang mementingkan diri) dengan menguasai Dharma. Kita bisa menjadi kendaraan untuk membawa Dharma kepada orang lain.
Bila kita menerima omelan orang tua kita, karena kita mengerti akan maksud baik mereka, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama kepada guru yang mengambil alih peran ini dalam skala yang jauh lebih besar. Apakah seorang guru memarahi? Ya. Saya pernah dimarahi, tetapi saya tidak pernah melawan guru saya. Mengapa seorang guru memarahi? Bagi guru yang berpencapaian, memarahi seseorang itu mempurifikasi karma orang itu. Bagi guru biasa, karena kasih dan kepeduliannya yang besar untukmu yang mengulang kebiasaan berbahaya. Mereka khawatir untukmu dan kekhawatiran ini dimanifestasikan dengan cara tersebut. Saya yakin guru kita telah berbicara dengan kita dengan lembut berulang kali sebelum memilih cara memarahi.
Devadatta kemudian mencoba untuk membawa 16 pemanah untuk membunuh sang Buddha. Kemarahannya sangat besar. Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada para pemanah ini dan mereka meninggalkan tujuannya. Kemudian, Devadatta mencoba untuk menggulingkan batu dan akhirnya mencoba untuk menggunakan gajah mabuk untuk menginjak sang Buddha. Gajah tersebut datang ke hadapan sang Buddha dan amukan dan rasa mabuk yang dipicu oleh Devadatta mereda. Karma Devadatta sangatlah berat. Ia melakukan kejahatan keji yang akan langsung dirasakan akibatnya tanpa intervensi kelahiran kembali. Artinya, setelah meninggal ia langsung terlahir kembali di Avici (tanpa akhir).
Yang termasuk dalam kejahatan keji adalah:
- Membunuh ayah sendiri
- Membunuh ibu sendiri
- Membunuh arhat
- Mengambil darah dari sang Buddha (mencelakakan)
- Menciptakan perpecahan dalam Sangha
Karena tanpa Sangha, Dharma tidak akan bertahan. Tanpa adanya Dharma, banyak yang tidak akan bertemu Dharma dan tetap menderita. Jadi semua penderitaan makhluk yang tidak bisa mengenal Dharma diatribusikan pada orang yang menciptakan perpecahan. Seperti itu juga di wihara zaman modern ini, dengan menciptakan perpecahan, anda memisahkan penganut dan mungkin menyebabkan bubarnya organisasi Dharma tersebut. Dharma yang mereka miliki, bila bertahan, akan bermanfaat bagi banyak makhluk, tetapi karena anda, mereka tidak mendapatkan Dharma. Semua penderitaan yang bisa diubah karena mereka menerima Dharma sekarang akan datang pada si pemicu perpecahan. Karma akan kembali pada si pemicu perpecahan dalam bentuk selalu merasa ragu, tidak bisa mendapatkan ketenangan, mudah melupakan ajaran, selalu lebih negatif daripada positif. Aktivitas negatif yang menimbulkan karma negatif akan lebih menarik, tidak bisa mendapatkan pencapaian, terpisah dari orang-orang kepada siapa ia merasa terikat, dan kesepian. Pikiran untuk mencelakakan diri juga akan timbul. Karena perpecahan bertujuan untuk memisahkan, maka mereka juga akan dipisahkan. Tindakan mirip dengan hasilnya.
Pada akhirnya, Devadatta jatuh ke neraka Avici seperti yang diceritakan di Sutta Dhammapadha yang suci. Pada akhir hidupnya sebelum ditelan bumi, Devadatta menyesali perbuatannya dan ia memuji sang Buddha sebagai pelindung yang sempurna. Walaupun begitu, ia masih harus hidup dalam kondisi karma yang diperbuatnya di Avici. Kita tidak bisa melarikan diri dari karma, jadi jangan menikmati, bersuka ria dan terus mengulangi tindakan negatif. Hentikan perbuatan ini. Minta maaf, tunjukkan penyesalan dan berbuatlah sebaliknya. Kita semua layak mendapatkan kesempatan kedua. Jadi mengapa kita menciptakan Avici di bumi untuk diri sendiri ketika ada cara lain?
Ketika kemarahan kita menguasai, dan kita tidak mau berbuat apa-apa untuk mengendalikannya, maka kita akan melihat semua hal dengan cara yang terdistorsi. Terdistorsi karena apapun yang kita lihat bukanlah realita, tetapi apa yang kita ‘anggap’ sebagai realita. Bagi Devadata, bahkan ketika Buddha yang sempurna dilihat sebagai orang biasa yang tidak Tercerahkan, yang ingin ia bunuh dan cemarkan namanya pada saat sang Buddha tidak memberikan apa yang diinginkannya. Kemarahan membuatnya melihat sang Buddha seperti musuh, yang sangat jauh dari kenyataannya. Seperti itu juga, kita bisa bersujud pada Manjushri dan percaya bahwa guru kita adalah emanasi Manjushri ketika kita diberi apa yang kita mau. Tetapi ketika guru kita mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kebiasaan dan keterikatan kita, Manjushri atau bukan, kita akan meremehkannya. Karena Manjushri adalah obyek sempurna untuk bersujud, dan dengan melakukan hal ini kita mengumpulkan banyak pahala, bukankah begitu juga bila kita meremehkannya? Kita akan mengumpulkan banyak karma negatif.
Bila selama bertahun-tahun, kita bisa percaya dan mengatakan pada seluruh dunia bahwa guru kita adalah emanasi dari sesuatu yang bersifat ilahi dan bahkan gurunya juga berkata seperti itu. Tetapi ketika kita tidak senang dengan bagaimana kita ‘diperlakukan’ atau apa yang dikatakan kepada kita, maka guru kita salah, ia tidak lagi suci atau ilahi. Kemarahan kita secara ‘resmi’ membuatnya tidak ilahi lagi. Kemarahan kita adalah obyek tersuci yang kita sembah. Bagaimana kebenaran dijabarkan kepada kita seharusnya tidak relevan bagi seseorang yang berpikiran dewasa dan ingin mencari cara untuk menjadi lebih baik. Kebenaran datang dengan berbagai cara. Dengarkanlah tanpa berfokus dengan bagaimana cara kebenaran tersebut disampaikan. Tidak semua hal disampaikan dengan piring perak. Kita melakukan segala cara untuk meluapkan kemarahan kita terhadap semua hal yang melawan di jalan kita karena kita tidak diberikan apa yang kita mau dan kebenaran dipaparkan di hadapan kita. Guru kita atau Manjushri tidak menjadi tidak suci atau tidak patut dihormati hanya karena ia mengatakan yang sebenarnya (yang tidak ingin anda dengar), seharusnya anda lebih menghormatinya karena ia berani mengatakan kebenaran. Itu adalah teman sebenarnya. Mungkin anda tidak menyukai kebenaran saat ini. Mungkin anda tidak menyukai cara kebenaran ini disampaikan. Akan tetapi kebenaran tersebut telah disampaikan dan anda bisa memutuskan apa yang akan anda perbuat dengan informasi ini karena ketika waktunya tiba, anda harus menghadapi kebenaran yang disampaikan gurumu. Anda harus menghadapi kebenaran, dan mudah-mudahan semuanya belum terlambat dan egomu belum menelan semua kesempatan terakhirmu.
Seorang biksu hanya suci dan hebat sebelum beliau mulai mengajarimu Dharma yang sebenarnya ~ Tsem Rinpoche
Menyaksikan pidato ini sangatlah menyentuh dan memberikan banyak hal bagi saya untuk direnungkan. Saya belajar dan senang bisa belajar. Saya bisa melihat bagaimana kisah Devadatta mengingatkan saya pada banyak kejadian yang saya saksikan di masa lalu. Pada akhirnya, rasa sakit membuat kita lebih kuat. Melarikan diri dari kebenaran hanya akan melemahkan kita. Mengapa menyalahkan orang lain? Ini adalah samsara. Siapa yang menjanjikan taman bunga mawar ketika anda terlahir kembali? Saya menganjurkan anda menyaksikan video 10 menit yang saya sediakan di bawah. Dan bila anda punya waktu, saksikan pidato secara keseluruhan. Saya telah mengikutsertakan bagian tentang Devadatta dan juga pidato secara keseluruhan.
Profesor Lopez adalah pembicara yang handal dan menarik perhatian kita. Saya berterima kasih dan semoga ia terus membawa Dharma kepada banyak orang dan diberkati dengan umur panjang.
Tsem Rinpoche
Profesor Donald S. Lopez, Jr. Berkisah Mengenai Sang Buddha (Versi Lengkap)
Tentang Profesor Donald S. Lopez, Jr.
Donald S. Lopez, Jr. adalah Profesor terkemuka dari Arthur E. Link dan berspesialisasi dalam bidang Buddhisme dan Tibet di University of Michigan. Ia menyelesaikan studinya di University of Virginia, menerima gelar Doktor dalam bidang keagamaan pada tahun 1982. Setelah mengajar di Middlebury College, ia bergabung dengan University of Michigan pada tahun 1989. Ia adalah penulis dan/atau penyunting dari lebih 20 buku mengenai Buddhisme.
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- 35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
- Kyabje Zong Rinpoche: Kelahiran, Kematian & Bardo (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details