Fakta Mengenai Siapa yang Menyelamatkan Dalai Lama ke-14 (Bahasa Indonesia)
(Oleh Tsem Rinpoche dan Martin Chow)
Prolog
Ketika pemerintahan Tibet mengeluarkan larangan terhadap praktik Dorje Shugden lebih dari 20 tahun yang lalu, alasan utama yang mereka kemukakan adalah bahwa praktik Pelindung ini dianggap mengancam nyawa Yang Suci Dalai Lama ke-14 yang sangat dicintai. Mereka juga menyatakan bahwa Dorje Shugden mengganggu upaya masyarakat Tibet untuk mencapai kemerdekaan dari Tiongkok dan kembali ke tanah air mereka.
Pada dasarnya, tuduhan-tuduhan ini menempatkan Dorje Shugden sebagai musuh utama orang Tibet dan ajaran Buddhadharma. Dorje Shugden disalahartikan sebagai entitas jahat yang bertujuan untuk menggagalkan kesuksesan perjuangan Tibet dan menghalangi penyebaran Dharma dengan merugikan kehidupan Dalai Lama. Dengan cara yang keliru, reputasi Pelindung Dharma yang terang benderang ini dicemarkan, dengan tujuan membuat marah tidak hanya masyarakat Tibet, tetapi juga para pengikut global Dalai Lama. Upaya ini berhasil dilakukan oleh kepemimpinan Tibet yang berbasis di Dharamsala, India Utara, yang berhasil mempengaruhi umat Buddha Tibet yang tidak curiga untuk mendukung larangan praktik Dorje Shugden.
Namun kenyataannya, apa pun yang dikatakan oleh Administrasi Tibet Pusat (CTA: kepemimpinan Tibet di pengungsian) tentang Dorje Shugden jauh dari kebenaran. Terdapat bukti yang kuat untuk menyanggah semua tuduhan palsu CTA terhadap Dorje Shugden, yang bisa ditelusuri hingga tahun 1959 dan bahkan lebih jauh lagi.
Kemasyhuran Dalai Lama ke-14 dan Perkembangan Buddhisme Tibet
Dorje Shugden adalah Pelindung Dharma yang dikenal dalam aliran-aliran Sakya dan Gelug dalam Buddhisme Tibet. Sebelum larangan yang ditetapkan pada tahun 1996, keberadaannya dipuja oleh hampir semua penganut Gelug. Karena itu, tidak mengherankan jika Pelindung ini sering dikonsultasikan melalui penubuat untuk kejadian-kejadian penting yang akhirnya mengarah pada pelarian Dalai Lama dari Tibet pada tahun 1959.
Dalam Buddhisme Tibet, adalah praktik standar di biara bagi seorang sekretaris untuk mencatat ucapan dan nasihat dari penubuat ketika mereka dalam keadaan terasuk oleh istadewata. Setelah itu, asisten tersebut akan mentransliterasi pernyataan dan nasihat yang diterima, yang kemudian diperiksa dan disertifikasi dengan cap resmi dari penubuat. Proses yang sama terjadi ketika penubuat Dorje Shugden mengalami terasuk oleh sang Pelindung.
Catatan-catatan yang ditemukan dari berbagai konsultasi dengan Penubuat Panglung pada akhir tahun 1950-an mengungkapkan bagaimana Dorje Shugden telah menyelamatkan nyawa Yang Suci Dalai Lama ke-14. Melalui nasihatnya, Dorje Shugden berhasil menyelamatkan budaya, warisan, dan agama masyarakat Tibet. Hal ini jauh berbeda dengan klaim dari kepemimpinan Tibet yang menyatakan bahwa Dorje Shugden berkehendak jahat terhadap Dalai Lama dan masyarakat Tibet.
Abad ke-20 menyaksikan sejumlah tokoh terkenal yang memikat perhatian dunia, seperti Martin Luther King, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Mikhail Gorbachev, Mao Zedong, Aung San Suu Kyi, Bunda Teresa, Elvis Presley, Madonna, Putri Diana, Muhammad Ali, Pele, Bill Gates, Steve Jobs, Marilyn Monroe, Keluarga Kennedy, semuanya meninggalkan kesan dalam pikiran kita. Namun, tak ada yang berhasil membangkitkan ketertarikan secara konsisten dan dalam jangka waktu yang panjang seperti Dalai Lama ke-14.
Setelah diaspora Tibet, inspirasi dari Dalai Lama telah menghasilkan peningkatan jumlah penganut Buddhisme Tibet di Eropa, Amerika, dan seluruh dunia. Pusat-pusat Buddhisme Tibet dan kelompok-kelompoknya mulai bermunculan di berbagai tempat. Meskipun rakyat Tibet berjuang untuk mendapatkan kembali posisi mereka di panggung global, agama mereka yang sebelumnya hanya dikenal di pegunungan Himalaya akhirnya menarik perhatian dunia, memikat imajinasi penyair, pemikir, akademisi, spiritualis, dan aktivis.
Saat ini, Dalai Lama ke-14 telah menjadi institusi yang terkenal dan dianggap sebagai simbol paling penting dalam Buddhisme. Dalam 50 tahun terakhir, citra publik Dalai Lama telah berkembang menjadi perwujudan dari segala kualitas manusiawi terbaik, yang langka dan berharga, di tengah dunia yang semakin terpuruk moralitasnya.
Dominasi Dalai Lama sebagai figur Buddhis begitu besar sehingga sebagian besar orang di seluruh dunia salah kaprah menganggapnya seperti seorang Paus Katolik dalam Buddhisme atau pimpinan mutlak dari agama Buddhis. Namun yang pasti, Dalai Lama ke-14 telah menjadi pengingat hidup tentang penderitaan rakyat Tibet dan penghargaan yang kuat terhadap perjuangan mereka dalam kesadaran kolektif dunia. Sulit untuk membayangkan Buddhisme Tibet dan perjuangan Tibet tanpa kehadirannya.
Kisah hidup Dalai Lama ke-14 sungguh menakjubkan. Dimulai dari sebuah desa kecil di Taktser, provinsi Amdo, tempat kelahirannya sebagai Raja Dewa Tibet, Dalai Lama mendapat sorotan dunia saat melarikan diri dari Tibet pada tahun 1959. Meskipun cerita tentang pelarian Dalai Lama telah menjadi legenda, sampai baru-baru ini, sedikit orang yang benar-benar mengetahui fakta dari segala fiksi yang berkembang.
Peristiwa yang berujung pada Dalai Lama Melarikan Diri Pada Tahun 1959
Lhamo Dhondup masih berusia empat tahun ketika masa kecilnya berubah drastis. Diakui sebagai reinkarnasi Dalai Lama ke-13, ia dipindahkan dari rumah keluarganya di sebuah pertanian di Taktser ke Lhasa, ibu kota Tibet. Di sana, ia diberi nama baru, yaitu Jetsun Jamphel Ngawang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso yang berarti “Yang Suci, Kemuliaan Lembut, Penyayang, Pembela Iman, Samudra Kebijaksanaan”. Terkadang, rakyatnya menyebutnya sebagai Yeshe Norbu (Permata Pengabul Permohonan) atau Kundun, yang pasti, terlepas dari nama yang diberikan, ia tidak lagi merupakan anak biasa. Kini, ia adalah Dalai Lama ke-14, yang dianggap sebagai perwujudan manusia dari Avalokiteshvara, Buddha Kasih Sayang.
Ketika berusia 15 tahun, pasukan Tiongkok sudah siap di perbatasan Tibet. Perang saudara di Tiongkok telah memunculkan Partai Komunis Mao yang berambisi menegaskan supremasi Tiongkok yang terabaikan selama perseteruan kekuasaan internal Tiongkok. Pada bulan Oktober 1950, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menyeberang ke Tibet, dan satu tahun kemudian, ketika kemerdekaan Tibet mulai terancam, Dalai Lama segera diberikan kekuasaan penuh sebagai penguasa mutlak Tibet. Orang Tibet membutuhkan pemimpin, dan mereka membutuhkannya sekarang, tanpa mempedulikan apakah ia sudah cukup dewasa atau sudah siap untuk menangani urusan negara yang rumit.
Saat pasukan Mao semakin mendekat ke Lhasa, pemerintahan Dalai Lama berupaya meminta bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi tidak ada bantuan yang datang. Tanpa pilihan lain, Dalai Lama mundur ke perbatasan India untuk bernegosiasi dengan Tiongkok. Pada bulan Mei 1951, Tibet menandatangani Perjanjian 17 Poin dengan Tiongkok, yang mengharuskan Tibet menyerahkan kemerdekaannya kepada Tiongkok dengan syarat tetap mempertahankan otonomi.
Namun, perjanjian tersebut tidak menghasilkan perdamaian antara kedua negara karena PLA semakin mengendalikan berbagai aspek kehidupan di Tibet. Sementara itu, ketidakpuasan rakyat Tibet atas pengambilalihan tanah air mereka semakin meningkat. Pada tahun 1957, menjadi jelas bahwa Perjanjian 17 Poin tidak akan bertahan lama, dan situasi akan memuncak, mengancam nyawa Dalai Lama dan orang-orang penting di sekitarnya.
Dan di sinilah, kearifan dan kasih sayang istadewata Buddhisme Tibet, Dorje Shugden, terhadap Dalai Lama dan rakyat Tibet, mulai terlihat jelas.
Pelindung Ajaran Topi Kuning
Dalam Buddhisme Tibet, terdapat pengakuan akan 84.000 beragam metode yang digunakan Buddha untuk menyampaikan Dharma. Dalam tradisi Vajrayana, para mahaguru memegang peran penting dalam pemahaman dan penyerapan Dharma. Dianggap sebagai makhluk yang tercerahkan, para mahaguru atau Mahasiddha menggunakan kehidupan dan bentuk duniawi mereka untuk mengajarkan Dharma sesuai dengan keadaan dan kondisi yang paling efektif pada saat itu.
Pada awal abad ke-20, aliran Gelug mendominasi Buddhisme Tibet. Aliran ini dilembagakan oleh Lama Tsongkhapa dan merupakan aliran yang paling banyak diikuti oleh penduduk Tibet. Dalam aliran Gelug, tokoh-tokoh penting seperti Tagphu Pemavajra dan Kyabje Pabongka Dechen Nyingpo dianggap sebagai perwujudan sempurna ajaran pendiri aliran tersebut. Dari kedua tokoh cemerlang ini, ajaran murni Gelug diturunkan kepada generasi guru berikutnya, termasuk para guru aliran seperti Yang Suci Trijang Dorje Chang, Yang Suci Ling Dorje Chang, Yang Suci Zong Dorje Chang, Yang Mulia Domo Geshe Rinpoche, dan tentu saja Dalai Lama.
Semua mahaguru ini mengakui Dorje Shugden sebagai Pelindung Dharma yang paling efektif pada zamannya. Mereka mengajarkan praktik ini kepada ribuan murid mereka, bersama dengan ajaran-ajaran paling berharga dari aliran Gelug. Bahkan, praktik Dorje Shugden dimulai pada abad ke-17 oleh Dalai Lama Agung ke-5, yang menulis pujian pertama kepada istadewata tersebut, membuat rupang pertama sang Pelindung dengan tangannya sendiri, dan mendirikan kapel pertama untuk Pelindung tersebut — Trode Khangsar di Lhasa, Tibet. Pada masa inkarnasi selanjutnya, Dalai Lama ke-11 mengangkat Dorje Shugden sebagai Pelindung ‘Ajaran Topi Kuning’ (Sekolah Gelug). Dalai Lama ke-13 yang Agung juga tercatat menerima nasihat Dorje Shugden dalam menghadapi ancaman asing terhadap kedaulatan Tibet pada zamannya.
Tidak mengherankan jika meskipun terdapat beberapa Pelindung Dharma populer dalam aliran Gelug — seperti Pehar yang merasuk penubuat Nechung, Palden Lhamo, Setrap, dan Tsangpa — Dorje Shugden seringkali dikonsultasikan dalam isu-isu penting yang berkaitan dengan Tibet dan Dalai Lama.
Tibet Bisa Diselamatkan Jika Nasihat Dorje Shugden Diterapkan
Dalam volume kelima dari Rangkaian Permata: Sejarah Manifestasi Berurutan dari Lokeshvara, terdapat sebuah kutipan yang dengan jelas menunjukkan bagaimana Dorje Shugden telah menjaga bangsa Tibet untuk waktu yang lama. Kutipan tersebut berbunyi,
In the fifth volume of The Garland of Jewels: Chronicles of the Successive Emanations of Lord Lokeshvara, there is a passage that indisputably demonstrates how Dorje Shugden has been looking after the Tibetan nation for a long time. The passage reads,
“Pada tahun anjing kayu (1932), di hadapan Dromo Geshe Rinpoche Ngawang Kalsang – yang merupakan seorang guru spiritual yang diakui secara luas oleh semua penduduk Tibet luar; yang ketenarannya menyebar dari satu arah ke arah lain, Gyalchen Shugden, yang berkomitmen kuat untuk memelihara warisan Manjunath (Lama Tsongkhapa), memasuki mediumnya (penubuat dari biara Domo Geshe Rinpoche, Dunkar). Dia mengucapkan:
‘Ini adalah saat ketika Hor Rendah bangkit. Sebagai tindakan perbaikan, sangat penting untuk segera merenovasi kedua stupa di timur dan barat Tibet pusat’.”
Intinya, Dorje Shugden memperingatkan bahwa karena karma buruk kolektif bangsa Tibet, mereka berada dalam bahaya invasi dari kekuatan eksternal. Nasihat Dorje Shugden ini segera disampaikan kepada Dalai Lama ke-13 yang mengambil peringatan Pelindung ini dengan sungguh-sungguh. Untuk menghindari buah karma tersebut bagi bangsa Tibet, Dalai Lama ke-13 melakukan renovasi pada Mausoleum Emas Lama Tsongkhapa (stupa di Timur) dan Istana Potala (stupa di Barat). Untuk membiayai proyek-proyek ini, pajak simbolis dikenakan pada setiap warga Tibet dan dengan cara ini, setiap warga Tibet terlibat dalam proyek-proyek tersebut. Ini berarti bahwa pahala dari merenovasi kedua stupa dapat diatribusikan kepada setiap warga Tibet dan kepada bangsa secara keseluruhan.
Oleh karena itu, meskipun Dalai Lama ke-13 pada umumnya menentang apa yang ia anggap sebagai ketergantungan berlebihan pada penubuat yang ia tidak percayai, pada saat yang paling krusial dan melalui pencapaiannya sendiri, beliau mengakui bahwa mengikuti nasihat Dorje Shugden adalah tindakan bijaksana. Dengan demikian, ia berhasil menghindari tragedi bagi bangsa Tibet. Fakta ini juga dikonfirmasi oleh Tibetolog George D. Chryssides dalam bukunya, Exploring New Religions (halaman 238 dan 239).
Adalah logis jika Dorje Shugden, dengan kemampuan melihat masa depan dan masa lampau-nya yang sempurna, dapat meramalkan ancaman terhadap Tibet selama masa pemerintahan Dalai Lama ke-13, maka Pelindung tersebut juga dapat meramalkan ancaman selama masa pemerintahan Dalai Lama ke-14. Hal ini terjadi pada tahun 1957, dua tahun sebelum Dalai Lama terpaksa melarikan diri dari Tibet.
Pada tahun tersebut, setelah Perjanjian 17 Poin ditandatangani dengan Tiongkok dan sebelum Tibet sepenuhnya diduduki oleh pasukan Mao, Dorje Shugden melihat peluang untuk mengubah nasib Tibet yang sedang menurun. Saat itulah, Dalai Lama bersama kedua tutor senior dan junior-nya sedang berkunjung ke India ketika, melalui Penubuat Panglung ke-6, Dorje Shugden memberi nasihat:
“…jika Tibet terlibat dalam perang dengan pasukan Tiongkok pada saat itu, maka ‘situasi Tibet’ akan terselesaikan.”
Dilihat dari perspektif yang lebih jauh, terdapat banyak kebijaksanaan dan logika dalam nasihat Pelindung tersebut. Dalai Lama dan para tutor-nya berada dengan aman di India, di mana mereka akan terhindar dari bahaya jika rakyat Tibet melancarkan serangan terhadap kamp-kamp Tiongkok. Itu mungkin adalah kesempatan terakhir yang dimiliki Dalai Lama untuk bepergian secara bebas di luar Tibet.
Sebagai Pelindung yang tercerahkan, Dorje Shugden memiliki wawasan yang melampaui hal-hal duniawi. Mungkin saja serangan terhadap pasukan Tiongkok dapat menurunkan moral mereka dan mencegah pasukan Mao untuk melanjutkan invasi lebih jauh ke dalam wilayah Tibet. Namun, nasihat Dorje Shugden tidak diindahkan, dan kenyataan bahwa orang Tibet tidak melancarkan serangan ofensif mengungkapkan kepada pasukan Tiongkok betapa mudahnya mereka dapat menguasai seluruh Tibet.
Dua kali, serangan terhadap pasukan Tiongkok sesuai dengan saran Dorje Shugden direncanakan – yang pertama pada tanggal 15 bulan ke-12, dan yang kedua pada tanggal 23 bulan ke-12. Namun, dalam kedua kesempatan tersebut, alasan dibuat dan nasihat Dorje Shugden tidak diikuti. Setelah orang Tibet gagal kedua kalinya melancarkan serangan untuk menyelamatkan Tibet, kesempatan itu ditutup dengan kembalinya Dalai Lama dan rombongannya ke Tibet.
Dengan situasi terlalu berisiko untuk mencoba yang ketiga kalinya, Dorje Shugden kembali merasuk Penubuat Panglung untuk berbicara dengan kepala Chushi Gangdruk (“Empat Sungai Enam Gunung”), pasukan gerilya yang dibentuk untuk melindungi Dalai Lama dan Tibet. Dalam pembicaraannya dengan Andruk Gompo Tashi, Dorje Shugden menyampaikan bahwa situasinya sekarang sangat genting. Namun demikian, Pelindung Dharma yang dipercayai oleh para lama terbesar pada masa itu tidak meninggalkan orang Tibet pada nasib karma mereka sendiri. Sebaliknya, Dorje Shugden mulai membuat persiapan untuk apa yang Dia lihat akan menjadi suatu kepastian.
Catatan:
Beberapa orang mungkin bertanya mengapa Dorje Shugden, yang merupakan Buddha, menyarankan kekerasan dan perang sebagai alternatif daripada menganjurkan cara damai. Penting untuk diingat bahwa meskipun Dorje Shugden tidak mendukung agresi dan kekerasan, situasi tersebut sudah akan terjadi pada rakyat Tibet sebagai akibat dari karma mereka. Tindakan pencegahan yang disarankan oleh Dorje Shugden akan menghindari pertumpahan darah, kehilangan banyak nyawa, dan kerusakan berbagai biara suci dan tempat-tempat sakral yang kemudian terjadi.
Dalam Sumpah Bodhisattva, prinsipnya adalah menghindari kekerasan, namun seorang praktisi jalan Bodhisattva tidak boleh ragu untuk melakukan apa pun yang diperlukan demi kebaikan yang lebih besar. Analogi ini juga terlihat dalam kisah Buddha historis, di mana pada satu kehidupan sebelumnya sebagai seorang kapten kapal laut diharuskan mengambil nyawa seorang perompak pembunuh untuk menyelamatkan nyawa penumpang lainnya.
Dorje Shugden Mempersiapkan Pelarian Dalai Lama
Dalam dothey (atau nyirtoe), sebuah permohonan kepada Dorje Shugden untuk menampakkan aktivitas tercerahkan untuk melindungi ajaran Lama Tsongkhapa, sang Pelindung diminta untuk:
Menjadi dewa perang dalam melindungi saya; menjadi utusan dan pelayan saya.
Menjadi benteng perlindungan saya; menjadi penjaga harta dan rakyat saya.
Menjadi pengawal siang hari; menjadi penjaga malam hari.
Menjadi jubah yang melindungi saya; menjadi tongkat yang menuntun saya.Menjadi jembatan di atas air, dan tangga di atas batu.
Menjadi yang menyambut pergi saya; menjadi yang menyambut kedatangan saya.
Membangkitkan jika saya jatuh; mengingatkan saya jika saya lupa.
Menjadi penyembuh ketika saya sakit; memberi obat yang ampuh jika saya diracuni.
Doa yang ampuh ini disusun oleh Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche, Guru Junior dari Yang Suci Dalai Lama ke-14. Sebagai tambahan, Dalai Lama ke-14 juga menciptakan sebuah doa terkenal kepada Dorje Shugden yang berjudul “Melodi Vajra yang Tak Kenal Henti“, di mana kekuatan Pelindung dipanggil untuk:
Meningkatkan Ajaran Sang Pemenang Lozang
Dan usia serta aktivitas pemelihara Ajaran!
Meningkatkan kebahagiaan makhluk di wilayah Gaden [Podrang]!
Singkatnya, dalam doanya, Dalai Lama menginstruksikan Dorje Shugden untuk melakukan segala hal yang diperlukan guna menyebarkan ajaran Lama Tsongkhapa. Sesuai dengan permintaan Dalai Lama, Dorje Shugden diharapkan melaksanakan hal ini dengan melindungi nyawa para penerus garis keturunan dan aspirasi rakyat Tibet di wilayah Gaden Podrang.
Dengan mengkombinasikan ayat-ayat dari kedua doa tersebut, kita dapat melihat bahwa tujuan tercerahkan Dorje Shugden adalah untuk melindungi ajaran Gelugpa, nyawa para pemelihara ajaran, dan harapan rakyat Tibet. Ketiga elemen ini tercermin dalam sosok Dalai Lama ke-14, yang harus diselamatkan dari bahaya dan dibawa ke tempat yang aman.
Maka, meskipun orang-orang Tibet terus gagal mengikuti nasihat Pelindung Dharma, Dorje Shugden terus bersiap untuk menyelamatkan mereka dari nasib mereka sendiri. Ketika merasuk Penubuat Panglung, Dorje Shugden memerintahkan beberapa prajurit Khampa untuk mencari sebuah danau di selatan Lhasa yang berbentuk seperti belati Vajrayogini. Mereka diminta mendirikan kamp prajurit di sana dan menunggu instruksi. Kemudian, kamp ini dikenal dengan nama Lokha-Chaksta Drikung Thang.
Awalnya, prajurit Khampa ragu-ragu dan tidak percaya pada masa depan yang akan datang, sehingga mereka lambat untuk bertindak. Sebagai tanggapan, Dorje Shugden secara berulang kali merasuk penubuat untuk mengingatkan mereka hingga akhirnya menunjukkan kemarahan dan bersikeras agar mereka melaksanakan instruksinya. Dorje Shugden kemudian memberi mereka sebuah pedang seremonial yang pernah digunakan ketika merasuk penubuat. Kemudian, di lokasi yang dipilihnya, prajurit Khampa menemukan sebuah pedang lain yang mirip dengan yang digambarkan dalam ikonografi Manjushri. Ketika digabungkan, kedua pedang yang bersilangan menjadi simbol Chushi Gangdruk. Seiring dengan berjalannya waktu, Dorje Shugden ketika merasuk mengirimkan semakin banyak orang ke kamp Chushi Gangdruk hingga cukup banyak prajurit untuk membentuk sebuah batalyon penuh.
Pembentukan Lokha-Chaksta Drikung Thang atas instruksi Dorje Shugden merupakan titik penting dalam sejarah bangsa Tibet. Ini menjaga rute pelarian yang akhirnya akan ditempuh oleh Dalai Lama pada tahun 1959 ketika menuju pengasingan di India. Pembentukan kamp basis gerilyawan ini juga menyiapkan sebuah batalyon prajurit yang akan melindungi Dalai Lama dalam perjalanan berbahaya ini, membawa harapan rakyat Tibet di pundaknya.
Oleh karena itu, mereka yang salah menuduh Dorje Shugden ingin mencelakakan Dalai Lama akan kesulitan menjelaskan mengapa Pelindung tersebut memerintahkan semua langkah antisipatif ini. Keberadaan Lokha-Chaksta Drikung Thang adalah bukti dari kemahatahuan Dorje Shugden yang sempurna dan niatnya untuk menjaga keselamatan Dalai Lama ke-14, sebagaimana yang dijanjikannya.
Dorje Shugden Menyelamatkan Yang Suci Dalai Lama ke-14
Seperti yang telah diramalkan oleh Dorje Shugden, situasi di Lhasa semakin tegang menjelang tahun 1959. Selama beberapa tahun sebelum pelarian Dalai Lama, gerilyawan Khampa terus berperang melawan pasukan Tiongkok di sepanjang perbatasan, dan Tiongkok menjadi semakin tidak sabar. Akhirnya, sebuah rencana untuk menangkap Dalai Lama dan pejabat pemerintah Tibet yang berpengaruh terbongkar.
Dalam otobiografinya yang berjudul “Permainan Ilusi”, Trijang Dorje Chang mencatat bahwa dia memanggil Penubuat Panglung ke ruangannya dan mengundang Dorje Shugden untuk meminta nasihat sang Pelindung. Dorje Shugden mengonfirmasi bahwa Tiongkok siap melaksanakan rencana mereka untuk menyingkirkan Dalai Lama.
Informasi ini kemudian disampaikan kepada Yang Suci Dalai Lama, yang kemudian memerintahkan Trijang Rinpoche untuk meminta nasihat lebih lanjut dari Dorje Shugden. Namun, Trijang Rinpoche menyadari bahwa dia mungkin diamati, terutama karena Tiongkok telah menempatkan mata-mata di Lhasa dan dalam lingkaran orang-orang yang dekat dengan Dalai Lama.
Dalam otobiografinya, Trijang Rinpoche menulis,
“Sesuai dengan keinginan Dalai Lama, saya secara rahasia memerintahkan Rato Chowar Rinpoche untuk pergi ke Panglung Ritroe dan meminta instruksi dari Gyalchen Dorje Shugden.”
Trijang Rinpoche juga meminta bantuan dari Kepala Biara Sera Mey, Kensur Ngawang Dakpa Rinpoche, yang kemudian melibatkan Lobsang Yeshe, asistennya (changtso). Bersama dengan Rato Chowar Rinpoche, ketiga biksu tersebut menjadi perantara bagi Dorje Shugden untuk menyampaikan rencana rahasia pelarian Dalai Lama ke tempat yang aman.
Sebagaimana yang telah diramalkan oleh Dorje Shugden, pada tanggal 10 Maret 1959, sebuah rencana untuk menangkap Dalai Lama dan para abbot dari tiga biara besar – Ganden, Sera, dan Drepung – serta beberapa tokoh Tibet berpengaruh lainnya terungkap. Rencananya adalah mengundang mereka ke kamp militer Tiongkok di Silimpok untuk ditahan. Namun, ketika berita bahwa nyawa Dalai Lama dalam bahaya menyebar, ribuan orang Tibet datang dari segala arah dan mengepung Norbulingka (Istana Musim Panas), tempat Dalai Lama berada, sehingga mencegah rencana penculikannya.
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/SwissTVInterview.mp4
Wawancara dengan berbagai biksu yang bertugas sebagai pengawal Dalai Lama selama pelariannya ke pengasingan, termasuk Changtso Lobsang Yeshe yang diperintahkan untuk meminta nasihat dari Dorje Shugden melalui Penubuat Panglung ke-6. Changtso Lobsang Yeshe yang menghadiri sesi rasuk tersebut dan menanyakan kepada Dorje Shugden apakah Dalai Lama harus meninggalkan atau tetap tinggal di Tibet, dan apakah ada bahaya terhadap nyawanya. Dorje Shugden memberitahu bahwa Yang Suci Dalai Lama harus segera pergi, dan menjabarkan rute pelarian yang harus diambil. Berkat nasihat ini, Dalai Lama masih hidup hingga saat ini.
Pada tanggal 11 Maret 1959, enam hari sebelum Dalai Lama melarikan diri, Penubuat Panglung kembali dirasuk Dorje Shugden. Kali ini, Dorje Shugden memberitahu Changtso Lobsang Yeshe bahwa rencana Tiongkok lainnya telah dimulai untuk menangkap Dalai Lama dan waktu sangat terbatas. Instruksi spesifik diberikan, di mana Dorje Shugden mengatakan kepada Changtso Lobsang Yeshe bahwa satu-satunya rute yang aman bagi Dalai Lama adalah rute selatan.
Karena kehadiran tentara Tiongkok yang siaga tinggi untuk melacak kemungkinan pelarian Dalai Lama ke pengasingan, semua jalur keluar dan titik lewat gunung dari Tibet dijaga ketat. Hanya rute selatan yang tetap relatif aman bagi Yang Suci, karena di situlah Lokha-Chaksta Drikung Thang berada. Ini adalah markas besar Chushi Gangdruk yang dibangun atas anjuran Dorje Shugden oleh pasukan gerilya di daerah tersebut dua tahun sebelumnya. Dorje Shugden telah meramalkan bahwa nyawa Dalai Lama akhirnya akan terancam, dan telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi Yang Suci.
Selain itu, Dorje Shugden memberitahu Changtso Lobsang Yeshe bahwa ia akan meminta para biksu dari Pomra Khangtsen di Sera Mey untuk mengambil resiko bahaya dan mengawal Dalai Lama ke tempat yang aman. Dengan kesetiaan mereka pada Dalai Lama dan Dorje Shugden, 33 biksu dari Pomra Khangtsen bersedia melakukan tugas suci tersebut.
Dorje Shugden memberikan sejumput beras kuning yang diberkati kepada setiap biksu dan menjamin mereka akan selamat. Beberapa dekade kemudian, ketika larangan terhadap Dorje Shugden diberlakukan, para biksu Pomra Khangtsen mengalami kesulitan terbesar — mereka diusir dari Biara Sera Mey dan terpaksa membentuk biara baru untuk Dorje Shugden, yaitu Serpom. Kesetiaan mereka terhadap Pelindung Dharma sungguh teguh, dan hal ini terus berlanjut hingga kini.
Dorje Shugden memberikan sejumput beras kuning yang diberkati kepada setiap biksu dan menjamin keselamatan mereka. Beberapa dasawarsa kemudian, ketika larangan terhadap Dorje Shugden diberlakukan, para biksu Pomra Khangtsen mengalami kesulitan terbesar — mereka diusir dari Biara Sera Mey dan terpaksa membentuk biara baru untuk Dorje Shugden, yaitu Serpom. Kesetiaan mereka terhadap Pelindung Dharma sungguh teguh, dan hal ini terus berlanjut hingga kini.
Pada tanggal 14 Maret 1959, tiga hari sebelum pelarian Dalai Lama, Rato Chowar Rinpoche kembali mengadakan pertemuan dengan Dorje Shugden. Saat dirasuk, Penubuat Panglung menembakan tiga anak panah ke arah selatan untuk memastikan bahwa Dalai Lama akan aman jika melarikan diri melalui rute selatan dari Tibet. Dorje Shugden kemudian membengkokkan sebuah pedang seremonial dan memberikannya kepada Rato Chowar Rinpoche, dengan instruksi khusus bahwa pedang tersebut harus dibawa oleh seorang pria Tibet bernama ‘Dorjee’ di depan rombongan pelarian. Sebelum memulai perjalanan, Dorjee harus melambaikan pedang itu tiga kali ke arah selatan.
Changtso Lobsang Yeshe, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menyaksikan semua yang terjadi. Dorje Shugden juga memberikan gelang seremonialnya (pudri) kepada Changtso Lobsang Yeshe, untuk diberikan kepada Abbot Sera Mey demi menjamin keselamatan Dalai Lama. Selain itu, Pelindung juga membungkus sejumput beras kuning yang diberkati dalam kain sutra merah yang digunakan saat sesi rasuk, dan memerintahkan Changtso Lobsang Yeshe untuk membakar beras tersebut sepanjang perjalanan.
Sebelum berpisah, Dorje Shugden menasihati dengan tegas bahwa Dalai Lama harus segera pergi tanpa tertunda, dan jika instruksinya diikuti, Pelindung akan menjamin keselamatan Dalai Lama dan rombongannya.
Waktu yang tersisa sangatlah terbatas. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada malam tanggal 17 Maret 1959, Dalai Lama diam-diam meninggalkan Lhasa dengan menyamar sebagai seorang prajurit. Beliau ditemani oleh 37 orang lainnya, termasuk para guru, anggota keluarga, kepala biara, biksu, dan menteri dari Gaden Phodrang (pemerintah Tibet). Mereka dijaga oleh para biksu dari Pomra Khangtsen di Sera Mey dan para pejuang Chushi Gangdruk, semuanya mengikuti dengan setia petunjuk yang telah diberikan oleh Gyalchen Dorje Shugden, serta mengikuti jalur yang telah disiapkan oleh sang Pelindung dalam antisipasi hari yang krusial itu.
Dua hari setelahnya, tepatnya pada tanggal 19 Maret 1959, terjadi pertempuran antara pasukan Tiongkok dan orang-orang Tibet. Senjata dan pelatihan superior pasukan Tiongkok membuat pemberontakan Tibet yang kurang bersenjata tersebut dengan cepat ditekan. Dalam waktu singkat, istana-istana Dalai Lama, biara-biara besar, dan banyak rumah Tibet lainnya hancur berantakan. Baru beberapa hari kemudian Tiongkok menyadari bahwa Dalai Lama telah melarikan diri. Jika tidak karena nasihat Dorje Shugden untuk melarikan diri dan persiapan yang telah disiapkan untuk pelarian tersebut, mungkin saja Dalai Lama ke-14 tidak akan bertahan hingga saat ini.
Selama perjalanan itu, Dalai Lama harus menempuh hampir seluruh jarak dengan mengendarai kuda cokelat, dan seringkali harus berjalan kaki. Setelah menyeberangi Sungai Kyichu, rombongan pelarian itu mengikuti aliran Sungai Brahmaputra sejauh yang mereka bisa, kemudian menjelajahi jalur pegunungan Himalaya. Perjalanan itu penuh dengan kesulitan dan hampir merenggut nyawa Dalai Lama karena dia harus menghadapi badai, salju, dan perjalanan panjang tanpa istirahat yang memadai. Selama perjalanan itu, mereka juga harus berjuang melawan kelelahan, demam, dan penyakit.
Pada tanggal 31 Maret 1959, Dalai Lama dan rombongan berhasil menyeberangi perbatasan ke India. Di sana, selama 58 tahun terakhir, kepemimpinan Tibet dan komunitas pengasingan telah berkumpul dalam 27 pemukiman besar yang tersebar di seluruh India, diberikan kepada mereka dalam bentuk sewa 99 tahun oleh pemerintah Jawaharlal Nehru. Di pemukiman-pemukiman ini, orang Tibet mendapat kesempatan untuk membangun kembali biara-biara, sekolah, dan gaya hidup mereka, dengan usaha keras untuk melestarikan budaya, tradisi, dan agama yang mereka anut. Semua ini menjadi kenyataan karena Dalai Lama berhasil melarikan diri, berkat petunjuk dari Dorje Shugden.
Para pengikut yang sama-sama melakukan perjalanan bersumpah bahwa mereka mematuhi instruksi Dorje Shugden dengan cermat sepanjang perjalanan. Mereka juga rajin berdoa dan membakar beras kuning yang diberikan oleh Pelindung tersebut. Berbagai laporan dari saksi mata membenarkan bahwa sepanjang perjalanan, rombongan pelarian Dalai Lama dilindungi oleh sabuk awan dari pesawat pengintai Tiongkok. Ketika pesawat itu melintas di atas mencari jejak konvoi di tengah salju putih bersih, awan hitam muncul di atas rombongan untuk menyembunyikan mereka dari pandangan.
Beberapa tahun kemudian, banyak orang Tibet yang mengiringi Dalai Lama ke pengasingan juga mengingat bahwa selama perjalanan itu, Dalai Lama selalu membawa thangka yang digulung di punggungnya. Thangka itu diberikan oleh Kyabje Trijang Rinpoche dan tak pernah lepas dari genggaman Dalai Lama. Kemudian terungkap bahwa thangka tersebut adalah gambar Gyalchen Dorje Shugden, sang raja pelindung. Lukisan suci yang melindungi Dalai Lama kemudian dikembalikan kepada Trijang Rinpoche, dan sekarang dapat ditemukan di Trijang Ladrang, India Selatan.
Epilog
Telah berlalu 58 tahun sejak Yang Suci Dalai Lama mempercayakan nyawanya kepada Dorje Shugden dan melakukan perjalanan berbahaya keluar dari Tibet. Penyebaran Dharma yang agung dalam setengah abad terakhir tak mungkin terjadi tanpa peran aktif Dalai Lama ke-14. Namun, semuanya itu tidak akan terwujud tanpa dorongan dari Dorje Shugden yang telah mengamankan jalur selatan sebagai jalan keluar dari Tibet, mempersiapkan Chushi Gangdruk untuk mengawal keamanan Dalai Lama, serta memberikan instruksi spesifik kepada Changtso Lobsang Yeshe dan Rato Chowar Rinpoche untuk memfasilitasi pelarian Dalai Lama.
Kini, setelah 37 tahun usai Dorje Shugden menyelamatkan Yang Suci Dalai Lama ke-14, agama Buddha Tibet, dan warisan rakyat Tibet, ironis rasanya bahwa Pelindung Dharma yang sama dituduh berkeinginan untuk melukai Dalai Lama serta menghambat upaya rakyat Tibet untuk mendapatkan kembali tanah air mereka. Jika tuduhan itu benar, Dorje Shugden tak perlu membantu Dalai Lama ke-13 atau ke-14 untuk menghindari tragedi terbesar yang akan menimpa bangsa Tibet.
Saat ini, di situs web resmi Dalai Lama ke-14 dan dalam buku otobiografi “Freedom In Exile”, Dalai Lama memuji Penubuat Nechung atas penyelamatannya. Namun, di situs web resmi yang sama, Dalai Lama juga menyerukan pelarangan praktik Dorje Shugden karena dianggap merugikan Buddhadharma.
Pemerintahan Dalai Lama, yang sekarang dikenal sebagai Administrasi Sentral Tibet, menciptakan gambaran palsu tentang Dorje Shugden sebagai roh jahat yang mempromosikan fanatisme sektarian. Namun, siapapun yang mengunjungi kuil atau biara Shugden akan mengakui bahwa pusat-pusat tersebut juga menganjurkan ajaran Lama Tsongkhapa, yang dilindungi oleh Dorje Shugden sesuai janjinya. Dan sampai hari ini, meskipun semua tuduhan yang dilontarkan terhadapnya oleh orang-orang yang telah banyak dibantunya, Dorje Shugden tetap membantu siapa pun yang meminta pertolongannya dalam praktik Dharma mereka. Jika ada sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda pikiran yang tercerahkan yang bebas dari ego dan mementingkan diri, maka itulah hal tersebut.
Dokumentasi
Di bawah ini adalah terjemahan catatan biara yang mengonfirmasi bahwa Dorje Shugden telah meramalkan bahwa nyawa Dalai Lama akan berada dalam bahaya dan bahwa Tibet akan hilang. Seperti yang terungkap dalam catatan-catatan tersebut, Dorje Shugden memberikan nasihat yang dapat mencegah kehilangan Tibet, tetapi nasihat ini tidak dihiraukan. Melalui kemampuan melihat masa depan dan masa lampau, Dorje Shugden kemudian mendirikan kamp prajurit Chushi Gangdruk di selatan yang memungkinkan Dalai Lama melarikan diri ke tempat yang aman pada tahun 1959. Catatan-catatan tersebut juga menunjukkan bagaimana Dorje Shugden memberikan instruksi yang spesifik untuk diikuti oleh Dalai Lama dalam pelariannya. Semua catatan ini disertifikasi oleh Biara Sera Mey, yang kini menolak Dorje Shugden.
Pembentukan dan Peran Resimen Chushi Gangdruk di Lhokha, Tibet
“Empat Sungai & Enam Pegunungan”
Di bawah Bimbingan Pelindung Darma Panglung Gyalchen Dorjee Shugden
1956-1957
Yang Suci Dalai Lama, kedua gurunya Kyabje Ling Rinpoche dan Kyabje Trijang Rinpoche, serta seluruh rombongan Yang Suci, telah melakukan perjalanan ke India, sebagai bagian dari kunjungan kenegaraan dan ziarah, pada hari ulang tahun kelahiran Buddha. Sementara itu di Tibet, Panglung Gyalchen Dorjee Shugden dimintai nasihat oleh pemimpin pasukan Chushi Ganpdruk, Andruk Gompo Tashi”
Sang Penubuat mengatakan bahwa ketika Yang Suci Dalai Lama berada di India, jika Tibet terlibat dalam perang dengan Tiongkok, maka situasi Tibet akan terselesaikan. Mendengar hal ini, Andruk Gompo Tashi berunding dengan perwakilan dari tiga provinsi di Tibet dan mereka melakukan persiapan untuk menyerang. Tahap pertama dilakukan di Kalimpong, Darjeeling. Di sini, ada banyak pengusaha Tibet. Mereka semua bersiap untuk bertempur melawan Cina di Dromo-Shar-Sima, Tibet.
Serangan ini direncanakan pada hari ke-15 bulan ke-12 menurut kalender Tibet. Pada tanggal 7 bulan ke-12, A.G. Tashi mengirim seorang utusan ke Chagzoe Sera Mey, Lobsang Yeshi, untuk meminta bertemu. Pada pertemuan ini, Andruk Gompo Tashi mengatakan kepada Yang Mulia Lobsang Yeshe tentang rencana mereka untuk menyerang dan semua informasi lain yang relevan. (Yang Mulia L. Yeshe juga telah mengetahui tentang nasihat sang Penubuat dari Khenpo dari Sermey, Ngawang Dakpa). A.G. Tashi bertanya apakah Y.M. Lobsang Yeshe bisa membawa para biksu Sera ke Potala pada tanggal 15. Y.M. Lobsang Yeshe setuju.
Andruk Gompo Tashi lebih lanjut mengatakan bahwa semua peralatan untuk berkomunikasi selama pertempuran berlangsung ada di lantai atas kediamannya. Ketika mereka menerima kabar bahwa pertempuran Dromo-Shar-Sima telah dimulai, Andruk akan memberitahu Y.M. L. Yeshe. Pada saat itu, Y.M. Yeshe akan membawa para biksu ke Potala dan ia, A.G. Tashi akan membawa orang-orang Lhasa. A.G. Tashi kemudian menjelaskan bahwa begitu mereka sampai di depan Potala, Sang Chagzoe akan membantu mereka mempersiapkan senjata yang diperlukan. Segera setelah mereka mendapatkan senjata, mereka akan mulai bertempur.
Namun, tidak ada kabar yang diterima bahwa pertempuran telah dimulai di Dromo-Shar-Sima. Bahkan, tidak ada yang terdengar hingga hari ke-23 bulan ke-12 – 8 hari setelah hari penyerangan yang direncanakan. Merasa frustasi dan khawatir, Y.M. L. Yeshe sendiri menemui A.G. Tashi untuk menanyakan mengapa ia belum mendengar apapun. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan oleh A.G. Tashi adalah bahwa ia sendiri belum mendengar apapun mengenai pertempuran Shar-Sima yang belum dimulai. Selain itu, A.G. Tashi juga memberi tahu Y.M. L. Yeshe bahwa hari penyerangan yang direncanakan telah dipindahkan ke hari ke-25 di bulan ke-12. Namun sekali lagi, hari itu tidak kunjung tiba. Karena ketidaksepakatan di antara para pengusaha di Darjeeling sendiri, pertempuran yang direncanakan sekali lagi harus ditunda. Namun, saat itu sudah terlambat. Yang Mulia dan para pengiringnya telah kembali ke Tibet dari ziarah mereka di India.
Melihat hal ini, A.G. Tashi sekali lagi meminta petunjuk dari sang Penubuat. Penubuat Dorjee Shugden menyatakan bahwa apa yang telah terjadi sangat buruk. Sekarang, mereka harus membentuk kamp prajurit baru di Lhokha-Chaksta Drigug Thang, sebelah selatan Lhasa, sesegera mungkin. Kecuali jika kamp prajurit ini dibentuk, semua akan hilang.
Kepada Gyalthang Kharchen Chagzoe, sang Penubuat mengatakan untuk segera pergi ke Lhokha-Chaksta Drikung Thang, meskipun ia hanya memiliki 5 atau 6 orang pendukung. Begitu mereka pergi, bantuan akan diberikan oleh sang Penubuat. Setelah itu, setiap kali sang Penubuat dikonsultasikan, dia akan memberitahu orang tersebut untuk segera pergi ke lokasi kamp prajurit. Karenanya, dengan meningkatnya jumlah pendukung di Lhokha-Chaksta Drigug Thang, sebuah resimen penuh dibentuk. Sang Penubuat juga telah memberikan Gyalthang Kharchen Chagzoe dan para pengikut awalnya, pada saat pelarian mereka, sebuah pedang upacara yang telah digunakan oleh sang Penubuat sendiri. Selain itu, ketika para prajurit dari resimen baru menggali tanah untuk membuat parit, pedang upacara lainnya ditemukan – pedang yang satu ini mirip dengan yang dipegang oleh Manjushri: dengan demikian, lambang pada bendera Chushi Gangdruk bergambar dua pedang bersilang.
Berkat kejelian dari Penubuat Dorjee Shugden, pertempuran di Lhokha dimulai dan berhasil. Berkat hal ini, pada tahun 1959, Yang Suci Dalai Lama, dua guru dan keluarganya, serta seluruh pengiringnya, termasuk ribuan pengikut Tibet, dapat mengamankan perjalanan yang aman melalui daerah selatan ini. Benih-benih Pemerintahan Tibet di masa depan dan komunitas di pengasingan telah ditanamkan pada saat itu.
Chagzoe Lobsang Yeshe
Sermey Pomra
Kutipan dari Otobiografi Kyabje Trijang Dorje Chang: Tentang Panglung Gyalchen Dorjee Shugden
Halaman 171; baris 5: (Diterjemahkan dari teks asli bahasa Tibet)
“Pelindung Dharma Gyalchen Dorjee Shugden Kuten Panglung yang telah lama dikonsultasikan, segera dipanggil ke kediaman saya untuk sebuah tujuan penting. Setelah mengundang sang Pelindung, saya meminta nasihat. Sang Penubuat berkata:
Melalui perencanaan dan persekongkolan Komunis Tiongkok, kehidupan Yang Suci Dalai Lama dan para kepala negara dan agamanya berada dalam bahaya. Oleh karena itu, mereka harus meninggalkan Tibet menuju India. Selain itu, Anda sendiri tidak boleh tinggal di Tibet. Anda juga harus segera pergi. Demikian juga, beritahukanlah kepada Yang Suci Dalai Lama tentang hal ini dan bahwa ia harus pergi. Kesempatan untuk pelarian mereka akan tiba.
Karena keputusan akhir belum dibuat mengenai kepergian Yang Suci, saya tidak dapat menyelesaikan rencana pelarian saya sendiri…
Halaman 173; baris 1:
Pihak Tiongkok telah menembakkan setidaknya dua meriam ke arah Potala. Rinciannya terdapat dalam otobiografi Yang Suci. Karena situasi yang berbahaya, kami semua bertanya-tanya apa yang harus dilakukan. Karena situasi yang berbahaya dan tidak menentu ini, Kashag meminta Yang Suci untuk pergi ke luar negeri, ke tempat yang lebih aman. Atas permintaan ini, Yang Suci berkonsultasi dengan Lhamo, Nechung dan Gatong. Setelah diperintahkan oleh Yang Suci untuk berkonsultasi dengan sang Penubuat, saya pergi ke Ratoe Rinpoche untuk memintanya berkonsultasi dengan Penubuat. Sang Penubuat menyarankan agar kami segera pergi. Penubuat itu kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa jika rombongan yang melarikan diri itu menempuh rute Barat Daya, maka keselamatan mereka akan dijamin oleh Penubuat itu sendiri. Hal ini akan terjadi jika pedang upacara yang diberikan oleh Penubuat dilambaikan oleh seseorang bernama Dorjee, di udara, ke arah rute pelarian Yang Suci dan kemudian, berkuda di depan Yang Suci. sambil memegang pedang ini. Setelah itu, sang Penubuat bangkit dan melangkah keluar, menghadap ke arah barat daya menuju Ramaghang.” Menghadap ke arah ini, dia menembakan anak panah dan mengayunkan pedangnya…”
Pelarian Yang Suci Dalai Lama, Guru-Guru, Keluarga, dan Para Pengikutnya dari Tibet di Bawah Bimbingan Pelindung Dharma Panglung Gyalchen Dorjee Shugden
1959
Pada tanggal 10 Maret, sebuah komplotan dari Tiongkok yang bertujuan membahayakan Yang Suci Dalai Lama dan beberapa pemimpin pemerintahan Tibet, serta para Khenpo dari tiga biara utama: Gaden, Sera, dan Drepung. Juga ada dalam daftar “target” ini adalah para Tulku atau Inkarnasi yang penting. Semua orang yang “berbahaya” ini akan ditangkap oleh pihak Tiongkok. Rencana mereka adalah mengundang Yang Suci dan orang-orang ini ke kamp tentara di Silimpok.
Tak lama kemudian, Yang Suci menerima undangan. Utusan tersebut juga diberitahu untuk memberitahu Yang Suci bahwa alasan undangan ini adalah untuk merayakan kelulusan Yang Suci dalam ujian Geshe. Demikian pula, undangan juga disampaikan kepada Sermeý Khenpo Ngawang Dakpa “Undangan ini disampaikan melalui seorang pejabat Tiongkok dan seorang penerjemah. Mereka juga memberikan alasan yang sama untuk mengadakan perayaan tersebut.
Namun, para undangan tidak pernah menghadiri perayaan tersebut karena mendapat tentangan luas dari masyarakat Lhasa.
Pada malam tanggal 10, Khenpo kembali ke rumah dan memberitahu Chagzoe Lobsang Yeshe untuk berkonsultasi dengan Panglung Gyalchen Dorjee Shugden keesokan paginya. Keesokan harinya, Khenpo Sermey pergi untuk menghadiri pertemuannya. Seperti yang diinstruksikan, L. Yeshe dan Geshe Thepi dari Sermey Pomra mengunjungi Penubuat. Pada pertemuan itu, kedua biksu tersebut menjelaskan kepada sang Penubuat semua yang telah terjadi sehari sebelumnya. Sang Penubuat berkata, “Tidak apa-apa.” Ia kemudian berkata bahwa karena ada sekitar 20 orang lain yang menunggu untuk berkonsultasi dengannya, sang penubuat harus menunggu sampai semua konsultasi ini selesai dan kemudian, ia akan berbicara dengan L. Yeshe dan Geshe Thepi. Setelah semua orang mendapatkan kesempatan bertemu, kedua biksu itu kembali mendekati sang Penubuat. Pada titik ini, sang Penubuat menyuruh semua orang, termasuk pelayan pribadinya untuk meninggalkan ruangan-semua orang kecuali L. Yeshe. Pada pertemuan ini, Sang Penubuat berbicara kepada L. Yeshe dengan jelas dan sangat mirip dengan manusia:
“Sampai kemarin, semuanya baik-baik saja. Jika mereka pergi ke perayaan yang direncanakan, negara kita, agama kita, politik kita akan musnah. Nama Tibet akan terhapus selamanya. Itulah tujuan dari orang-orang Tiongkok. Kemarin, garis antara orang Tiongkok luar dan orang Tibet dalam telah ditarik dengan jelas. Sekarang, kehidupan Yang Suci berada dalam bahaya besar. Tiongkok sudah memiliki rencana lain. Beritahu Khenpo Sermey untuk berbicara dengan Yang Suci besok tentang bahaya ini dan segera mencoba melarikan diri ke India.”
Menyadari bahwa pertemuan langsung dengan Yang Suci tidak selalu memungkinkan, L. Yeshe kemudian bertanya kepada Penubuat siapa di antara 3 orang berikut ini yang dapat menyampaikan pesan dengan aman kepada Dalai Lama: Kyabje Trijang Dorje Chang, guru dari Yang Suci, Chi-kyab Khenpo, yang merupakan kepala dari semua Khenpo biara; atau Dronche Phala: sekretaris umum Yang Suci Dalai Lama. Menanggapi hal ini, sang Penubuat mengatakan bahwa Dronche Phala adalah orang yang paling tepat. Dia juga menambahkan bahwa jika bantuan diperlukan, sang Penubuat akan mengirim 30-50 biksu untuk membantu pelarian Yang Suci. Pertanyaan selanjutnya adalah rute mana yang terbaik untuk pelarian. Sang Penubuat menjawab bahwa hanya ada satu pilihan (rute Selatan) dan bahkan jika mereka tidak dapat sampai ke India, setidaknya mereka akan tiba di perbatasan Bhutan. Ini harus segera dilakukan.
Melalui nasihat Penubuat sebelumnya pada tahun 1956-1957, pangkalan militer Chushi Gangdruk yang telah didirikan di wilayah Selatan. Karena hal ini, Yang Suci dan rombongannya dapat melakukan perjalanan yang aman keluar dari Tibet. Penubuat tersebut kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa ini akan menjadi masa yang suram di mana tidak akan ada agama atau pemerintahan, tetapi masa ini akan berlalu. Namun, di masa depan, agama ini akan kembali mencapai dan melampaui kejayaannya di masa lalu.
L. Yeshe kemudian mengajukan pertanyaan ketiga. Pertanyaan ini mengenai peran biara Sermey. Penubuat tersebut menyarankan agar para biarawan di Sermey bersatu dan melakukan doa-doa untuk keamanan perjalanan Yang Suci ke India.
Sekitar 33 biksu dari Sermey Pomra, pada saat itu, secara sukarela mengajukan diri untuk melindungi Dalai Lama. Sang Penubuat memberi setiap biksu beras kuning yang diberkati dan sangat senang dengan masing-masing biksu. Dia kemudian menyatakan bahwa akan ada perang tetapi mereka akan selamat.
Malam itu, L. Yeshe menceritakan semua yang terjadi, kepada Khenpo Sermey. Dalam kalender Tibet, pada hari ke-2 di bulan kedua di pagi hari, Khenpo Sermey mengunjungi Droche Phala. Ia kemudian memberitahukan segala sesuatu yang telah dinasihatkan oleh sang Penubuat kepada sekretaris umum tersebut. Mendengar berita ini, Droche Phala tidak terlalu senang. Khenpo melanjutkan dengan mengatakan bahwa jika mereka dapat membantu, maka ia dan juga 30-50 anggota Sermey Pomra akan membantu. Phala kemudian menjawab bahwa itu adalah yang terbaik. Karena situasi di Lhasa, ia merasa sulit untuk meminta bantuan karena percampuran antara orang Tibet dan Cina. Ia juga mengatakan bahwa Khenpo harus pergi dengan Yang Suci dan mengirim 10 biksu kepercayaannya ke Norbulingka pada malam itu juga. Dengan demikian, malam itu, dipimpin oleh Pomra Geshe Gyalo, 10 biksu dikirim.
Empat hari kemudian, L. Yeshe kembali dikirim menemui sang Penubuat. Namun ketika ia tiba, Ratoe Chowar Rinpoche telah menghadiri sesi pertemuan sebelumnya. Kecuali Rinpoche, semua orang termasuk L. Yeshe diminta untuk keluar. Setelah bertemu dengan Ratoe Rinpoche, sang Penubuat keluar dan menembakkan 3 anak panah ke arah selatan. Penubuat tersebut memberikan sebuah pedang upacara kepada Ratoe Rinpoche. Rinpoche diberitahu bahwa jika pedang tersebut diayunkan oleh seseorang bernama Dorjee, di udara sebanyak 3 kali ke arah rute pelarian Yang Suci dan kemudian, berkuda ke India di depan Yang Suci sambil memegang pedang tersebut, maka sang Penubuat akan memastikan perjalanan yang aman bagi Yang Suci (Informasi ini juga terdapat dalam Namthar atau otobiografi Kyabje Trijang Rinpoche).
Ketika L. Yeshe berkonsultasi dengan sang Penubuat, dia diberitahu bahwa L. Yeshe harus pergi keesokan harinya. Saat berpisah, sang Penubuat meletakkan segenggam beras kuning yang telah diberkati di saputangan merah milik sang Penubuat sendiri dan berpesan kepada L. Yeshe bahwa pada saat terjadi masalah, bakarlah beras tersebut. Kemudian, semuanya akan baik-baik saja. Dengan melepas Pudri (sebuah benda seperti gelang dengan 3 mata) dari pergelangan tangannya, dia mengatakan kepada L. Yeshe untuk memberikannya kepada Khenpo Sermey. Selain itu, ia juga diperintahkan untuk menyuruh para biksu melakukan doa sebanyak mungkin. Selain itu, sang Penubuat memberikan sejumlah besar beras kuning yang diberkati untuk anggota rombongan perjalanan.
Chagzo Lóbsang Yeshe
Sermey Pomra
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Biografi Singkat Tsem Rinpoche Dalam Foto (Bahasa Indonesia)
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- 35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
- Kyabje Zong Rinpoche: Kelahiran, Kematian & Bardo (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details