Memotong Delusi (Bahasa Indonesia)
(Oleh Tsem Rinpoche)
Kepada sahabat-sahabat di seluruh dunia,
Saya ingin berbagi ajaran tentang penguatan delusi kita. Ini akan membantu Anda memahami bagaimana kita memperdaya diri sendiri untuk terperangkap dalam samsara (penderitaan kita sendiri) dan bagaimana alasan-alasan kita sebenarnya adalah untuk menutupi maksud kita sebenarnya untuk semakin menikmati keinginan kita. Ajaran ini juga mengungkapkan bagaimana pahala dan karma dikumpulkan, keadaan di mana pahala dan karma dikumpulkan, perbedaan antara pahala dan karma, dan apakah kita mengumpulkan karma positif atau negatif.
Saya dengan tulus merekomendasikan artikel ini untuk dibaca oleh semua orang yang tertarik untuk membuat perubahan dalam hidup mereka. Mohon baca ini dan beri tahu saya apa yang telah Anda sadari… Apakah Anda menciptakan lebih banyak delusi, atau apakah Anda berusaha untuk memotong delusi Anda setiap hari? Jika Anda menciptakan lebih banyak delusi daripada memotong delusi Anda, ada penawarnya: pekerjaan Dharma dengan motivasi yang benar dan mengumpulkan pahala.
Saya berharap artikel ini akan membantu dan memberi manfaat bagi Anda sehingga Anda dapat memberi manfaat kepada orang-orang yang Anda cintai dan orang lain pada saatnya.
Tsem Rinpoche
Penguatan: Sebuah Ajaran tentang Menciptakan atau Memotong Delusi
Dalam segala hal yang kita lakukan, mudah bagi kita untuk merasa seperti hamster yang berlari di atas roda. Setiap hari jadwal kita dipenuhi dengan kesibukan yang melelahkan, tetapi pada akhir hari yang panjang, setelah berputar-putar di roda, kita merasa bahwa kegiatan kita tidak berarti banyak sama sekali. Kita terus berputar dalam lingkaran setan.
Kemudian, kita mungkin mencoba keluar dari siklus tersebut dengan mencari sesuatu yang bersifat spiritual – janji pembebasan dan kebebasan. Namun, ketika kita terjun ke dalamnya, kita segera mulai merasa bahwa kita telah menjadi bagian dari perangkap lain dan kita tidak benar-benar mengetahui tujuannya. Kita kehilangan pandangan akan tujuan besar yang disebut Pencerahan atau mulai merasa bahwa itu terlalu jauh untuk menjadi kemungkinan yang nyata lagi. Teruslah kita berputar…
Jalan manapun yang anda pilih, Anda memasuki perangkap. Itulah kenyataannya – samsara hanyalah lubang besar tempat kita terjebak, dan selama kita di dalamnya, kita akan menemukan diri kita terjebak pada suatu titik. Jadi jika Anda harus memilih sebuah perangkap, mungkin lebih baik memilih yang memiliki jalan keluar, lorong rahasia yang dapat membantu Anda keluar dari labirin menuju kebebasan – atau setidaknya awal dari kebebasan itu.
Dan sebetulnya apa arti dari “merasa terjebak”? Tentu saja, sebagai penganut Buddhisme, kita seharusnya tahu bahwa segala sesuatu yang kita persepsikan hanyalah – sebuah persepsi. Merasa terjebak dan merasa bebas adalah dua sisi dari koin yang sama. Kita pernah mendengar tentang orang-orang terkaya – dengan beberapa dunia di bawah kaki mereka – merasa terjebak dan ingin bunuh diri; dan kemudian kita pernah mendengar tentang biarawan yang dipenjarakan selama 20 tahun, tidak pernah merasa kehilangan kebebasan. Jadi kebebasan tidak memiliki hubungan dengan di mana kita berada atau apa yang kita lakukan. Seklise apapun kedengarannya, kebebasan sebenarnya hanya berasal dari pikiran.
Tapi bagaimana?
Karma & Pahala : Dua Mata Uang yang Menjebak atau Membebaskan Kita
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk benar-benar memahami cara melepaskan diri dari perangkap yang kita buat sendiri, penting untuk mendefinisikan dua kata: karma dan pahala. Kata-kata ini akan sering digunakan dalam artikel ini dan merupakan dua istilah yang sangat penting.
Karma, secara longgar diterjemahkan dari bahasa Sanskerta, berarti “tindakan”. Ini merujuk pada fakta bahwa setiap tindakan, perkataan, dan pikiran kita – baik positif, negatif, atau netral – memiliki reaksi yang sesuai. Ini berarti bahwa apa pun yang kita lakukan sekarang akan menghasilkan efek tertentu di masa depan (dalam kehidupan ini atau di kehidupan masa depan). Ini menciptakan efek dan situasi tertentu bagi kita, tetapi setelah efek tersebut muncul, karma dianggap habis dan tidak lagi ada. Karma tidak selalu mengarah pada hal yang baik, juga tidak pada Pencerahan; juga tidak memiliki korelasi spesifik dengan apakah kita berada di jalan spiritual atau tidak. Bahkan orang yang tidak spiritual atau religius memiliki, menciptakan, dan mengalami efek dari karma.
Pahala adalah sejenis potensi positif, atau energi, yang kita ciptakan dalam tindakan altruistik, yang mendukung dan mendorong kita maju dalam perjalanan spiritual kita. Ini terus dihasilkan selama kita terlibat dalam tindakan spiritual dan menuju ke arah tujuan tertinggi, yaitu pencerahan. Pahala berkaitan secara khusus dengan praktik dan pekerjaan spiritual kita, dan ditentukan terutama oleh niat dan motivasi dari tindakan, perkataan, dan pikiran kita. (Spiritualitas dalam hal ini merujuk pada setiap pekerjaan atau praktik yang dilakukan dengan niat altruistik sehingga menciptakan hasil untuk memberi manfaat bagi makhluk lain). Pahala pada akhirnya membawa kita kepada ke-Buddha-an, ketika hal ini tercapai – pada tahap ini, kita tidak lagi perlu terus menghasilkan pahala dan akumulasi karma kita juga berhenti.
Sementara kita selalu menciptakan baik karma maupun pahala, perbedaan antara keduanya terutama terletak pada motivasi yang mendorong tindakan kita. melakukan tindakan semata-mata dengan niat untuk menguntungkan diri sendiri saja hanya menciptakan karma – baik negatif, positif, atau netral. Melakukan tindakan dengan niat untuk menguntungkan orang lain menghasilkan penciptaan pahala, yang kemudian membawa kita maju dalam mencapai keadaan spiritual tertinggi, belas kasih besar (Bodhicitta) dan kebijaksanaan – pencerahan.
Pahala bisa diibaratkan seperti mata air alami yang tidak pernah habis – terus diperbarui melalui siklus air. Karma, di sisi lain, diibaratkan seperti panci air besar, jumlahnya terbatas. Pahala, seperti air dari mata air alami – bisa digunakan, tetapi bisa terus diperbarui dan diisi kembali selama kita terus terlibat dalam tindakan positif dan altruistik. Karma, seperti air dari panci, tidak dapat diperbarui dengan cara yang sama; begitu air diambil dari panci, airnya akan berkurang.
Pencarian Harta Karun Terbesar Dalam Hidup Kita
Memang, tidak semua dari kita merasa “terjebak” dari awal. Saat masih kecil, kita merasa cukup bebas, bukan? Segalanya terasa bebas mungkin ketika kita berusia enam tahun. Namun, ketika kita mulai pergi ke sekolah, siklusnya dimulai – tekanan dari teman sebaya, kebutuhan akan nilai bagus, dan keinginan untuk mendapatkan persetujuan dari guru dan teman sekelas, serta hierarki sosial yang rumit yang hanya ditemukan di kantin sekolah. Saat itulah kita mulai menyadari pentingnya reputasi, keberhasilan materi yang datang dari nilai bagus (dan kemana hal ini akan membawa anda), penerimaan sosial, pujian dan ejekan.
Di sekitar kita, dunia terus bergerak maju. Iklan-iklan membawa kita ke dalam alam semesta paralel yang ilusif, yang memberi tahu kita tentang segala hal yang indah yang sebaiknya kita miliki, yang harus kita miliki, yang bisa kita miliki! Seolah-olah dengan memiliki semua itu, hidup kita akan menjadi LEBIH BAHAGIA! Kita melihat orang tua kita juga terperangkap dalam ilusi tersebut. Dan seiring dengan bertambahnya usia, teman-teman serta rekan kerja di sekolah dan tempat kerja juga mulai menjalani mimpi yang sama seperti yang kita lihat di televisi. Di dunia pasca-modern ini, media menggambarkan dunia buatan dan memberi tahu kita bagaimana hal-hal seharusnya di dunia nyata. Kita membiarkan dunia kita didefinisikan oleh “sistem objek” (Baudrillard) di luar diri kita sendiri, dan hidup kita pun membentuk dirinya sendiri untuk mencapai ilusi indah ini.
Kita pun mulai mengejar-ngejar – mencari hubungan yang sempurna (karena pasangan selalu terlihat begitu bahagia di televisi), mencari rumah yang sempurna (karena industri properti senilai miliaran dolar tahu cara membuat brosur yang menawan dari pengembangan terbaru mereka), mencari uang (karena keluarga Kardashian membuat hidup dengan kekayaan terlihat seperti idaman). Kita menghabiskan seluruh hidup kita berpikir, “Seandainya saya bisa mendapatkan ini, maka semuanya akan sempurna. Saya akan bahagia. Akhirnya saya akan merasa bebas.” Kita mendaftar untuk pencarian harta terbesar dalam hidup kita.
Namun, tanyakan kepada siapapun yang terlibat dalam perburuan besar ini apakah mereka benar-benar bahagia, apakah hidup mereka benar-benar sempurna, dan apakah mereka yakin bahwa akan seperti ini selamanya. Kebanyakan dari mereka mungkin akan menjawab tidak. Segala sesuatunya akan terasa sedikit lebih baik jika mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, atau rumah yang lebih besar, atau menambah anak; andaikan kemalasan suami mereka berkurang, atau andaikan istri mereka sedikit lebih pengertian; atau andaikan mereka bisa mengurangi ukuran paha mereka atau menghentikan penipisan rambut mereka.
Sebelum kita menyadarinya, kita sudah berusia 65 tahun dan akan segera pensiun, dan baru saat itu kita menyadari bahwa dalam perburuan segala hal yang kita pikir akan membawa kebahagiaan dan kebebasan, kita telah kehilangan seluruh hidup kita. Hal-hal yang kita lakukan untuk membebaskan diri dari perangkap ini – uang, hubungan, keluarga, karier, ketenaran, dan reputasi – adalah hal-hal yang membuat kita tidak benar-benar merasa bebas.
Memuaskan Hasrat: Bagaimana Ilusi Memperkuat Kebodohan Kita
Walaupun kita ingin berpura-pura bahwa kita adalah agen yang sepenuhnya independen dengan pikiran bebas yang mandiri, kenyataannya adalah kita semua bergerak dari satu delusi sentral yang sama dalam dunia ini: hasrat. Setiap individu memiliki keinginan tertentu – keamanan, kebahagiaan, cinta, kekayaan, status, reputasi, barang-barang materi, perlindungan, kedamaian, anak-anak, atau kombinasi di antaranya – dan kita semua bertindak berdasarkan hasrat tersebut. Daftar ini tak pernah habis. Bahkan bagi mereka yang terlihat tidak terikat pada hal-hal material, mereka juga menggerakkan diri dari “hasrat” untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan tak rumit.
Kemudian, kita pun terdorong untuk menemukan dan melakukan hal-hal untuk memuaskan hasrat tersebut. Di situlah pengaruh iklan, keluarga, masyarakat, dan teman sebaya muncul dengan penampilan yang menarik namun sebenarnya berbahaya – mereka menciptakan ilusi-ilusi indah untuk kita percayai demi memuaskan hasrat yang menyiksa itu.
Ilusi-ilusi ini menggambarkan gambaran terindah yang kita kenal – mobil mewah, rumah besar, kehidupan pasangan yang bahagia dan keluarga yang tersenyum, atau kehidupan yang mudah dengan kekayaan berlimpah. Tanpa sadar, kita pun bergabung dalam “sistem objek” ini dan berperan dalam berbagai ilusi tersebut. Kita membeli mobil baru (atau menukarkan yang lama dengan yang lebih baik), kita membeli rumah kedua (meskipun satu sudah cukup), kita mencari jodoh yang sempurna sampai ke ujung dunia (karena film Bridget Jones mengatakan itu mungkin), atau bahkan menjalani prosedur medis yang menyakitkan untuk memiliki 2.5 bayi yang cantik dan lucu.
Sementara kita melakukannya, kita merasakan kebahagiaan sesaat saat hasrat itu terpenuhi. Kita meyakinkan diri bahwa hasrat itu nyata, penting, dan harus dipuaskan sebaik mungkin. Hasrat pun mulai hidup dengan cara sendiri. Seperti monster di bawah jembatan, ia tak lagi puas dengan mobil saja. Ia menginginkan rumah yang lebih mewah, mobil yang lebih besar, pekerjaan yang lebih bergengsi, atau bahkan operasi plastik kedua. Setelah beberapa bulan, ia mungkin merasa tidak puas lagi dengan rumah yang sudah ia beli, dan merasa rumah ini tidak cukup baik. Ia ingin rumah yang lebih mewah di lingkungan yang lebih elit.
Kita pun mendengarkan hasrat tersebut, merasakan sakit karena keinginan untuk memiliki semua itu, dan kemudian berusaha meredakan rasa sakit yang ditimbulkannya. Seperti anak manja, delusi dari hasrat tersebut menendangkan kaki, dan kita berlarian berputar-putar mencari ilusi yang sempurna untuk memuaskan dan menjaga hasrat itu tetap bahagia. Saat kita terus mengejar ilusi yang lebih besar dan menarik, kita semakin memperkuat hasrat tersebut, meyakinkan diri bahwa tidak masalah memiliki hasrat-hasrat tersebut dan kita berhak untuk memenuhinya. Tujuan hidup kita pun menjadi hanya untuk memuaskan hasrat tersebut. Namun, yang tidak kita sadari adalah bahwa si “anak manja” ini tumbuh dewasa, dan tuntutannya menjadi lebih kuat, lebih menantang. Seperti orang tua yang cemas, kita pun berlari semakin kencang, berputar-putar dalam lingkaran yang semakin sempit di sekitar delusi tersebut. Kita memberinya makan, dan ia semakin besar.
Penangkal: Manfaat Kerja Dharma Untuk Memotong Delusi
Meskipun kita mungkin tidak bisa melawan delusi secara langsung, kita bisa mulai dengan tindakan yang muncul dari delusi yang diperkuat – yaitu ilusi. Kita mulai dengan memotong ilusi terlebih dahulu, bukan mematuhi setiap keinginan ilusi tersebut.
Benar-benar mengabaikan daya tarik ilusi tentu saja tidak mungkin. Jadi yang bisa kita lakukan adalah mengalihkan perhatian. Alih-alih menghabiskan waktu dengan kegiatan yang memperkuat delusi kita, kita mengarahkan perhatian dan energi kita pada kegiatan yang menjauhkan kita dari delusi tersebut. Inilah yang disebut sebagai kerja Dharma – yang menjadi lawan dari hasrat, keinginan, dan ikatan kita. Karena kerja Dharma berfokus pada pencapaian dan penciptaan hal-hal untuk orang/makhluk lain, hal ini mengurangi hasrat yang mendalam terhadap diri kita sendiri yang masih ada di dalam diri kita. Melakukan jenis pekerjaan, aktivitas, atau praktik semacam ini, akan memakan waktu kita sehingga kita tidak semakin terjerumus dalam perangkap diri kita sendiri. Semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk kerja Dharma, semakin sedikit waktu yang kita miliki untuk mengejar ilusi-ilusi yang terlihat seperti fatamorgana.
Namun, Anda mungkin bertanya, bagaimana jika Dharma hanyalah sebuah ilusi besar lainnya? Sebuah cara lain bagi kita untuk memenuhi delusi yang ada di dalam diri kita yang disebut hasrat? Bagaimana jika Dharma hanyalah cara lain bagi kita untuk berpikir tentang diri sendiri dan segala yang kita inginkan bagi ego “saya, saya, saya” yang ada di dalam pikiran kita? Lalu, apa bedanya dengan pekerjaan bergengsi, rumah kedua dan kredit rumah, pacar ke-12, atau kenaikan gaji?
Jawabannya, sebenarnya tidak begitu berbeda – dan ya, kita mungkin saja sedang mempersiapkan diri untuk terjebak dalam perangkap lainnya.
Penangkal: Kekuatan Pahala Untuk Memotong Delusi
Kami telah menemukan cara untuk memotong kekacauan ilusi tersebut. Sekarang, ada ancaman yang lebih sulit dari delusi – hasrat – yang harus dihadapi. Dengan musuh yang lebih tangguh, Anda akan memerlukan senjata yang jauh lebih ampuh tetapi dengan senjata ini di tangan, Anda dapat yakin bahwa setiap metode yang Anda gunakan akan berhasil. Kekhawatiran tentang kerja Dharma berubah menjadi metode palsu – ilusi lain – juga akan teratasi. Alih-alih menjebak Anda lebih jauh, tindakan Anda akan mengubah menjadi pengendalian delusi yang membawa pada kebebasan.
Inilah cara kerjanya: Anda sekarang terlibat dalam kerja Dharma tetapi Anda tidak yakin apakah sebenarnya itu benar-benar mencapai akar masalah Anda: hasrat Anda. Jadi, inilah pemeriksaan diri yang baik untuk dilakukan: apa motivasi Anda di balik semua hal yang Anda lakukan? Apakah itu untuk memberi manfaat bagi orang lain? Atau hanya merupakan manifestasi lain dari melakukan sesuatu untuk diri sendiri? Untuk memenuhi kekhawatiran atas keamanan diri sendiri, keuntungan materi, reputasi, kebosanan? Itu adalah motivasi yang akan menentukan apakah Anda sedang membunuh iblis hasrat egois itu, atau justru membesarkannya.
Melihat titik kunci motivasi ini, kita dapat memahami bahwa melakukan kerja Dharma hanya untuk keuntungan diri sendiri hanya akan menciptakan karma yang, seperti panci air, dapat habis dan tidak berarti. Ini tidak selalu membawa kita pada perbaikan, kebahagiaan, atau kebebasan yang ultimatif. Melakukan kerja Dharma dengan keinginan untuk memberi manfaat bagi orang atau makhluk lain, bagaimanapun, akan menciptakan pahala yang tidak terhingga dan yang mendukung serta mendorong kita menuju tujuan spiritual kita – ini akhirnya menghasilkan pembebasan sepenuhnya, Pencerahan.
Dalam kasus delusi, oleh karena itu, keinginan untuk menguntungkan diri sendiri – menciptakan karma – hanya bertujuan untuk mengasupi dan memperkuat hasrat.
Sementara keinginan untuk memberi manfaat bagi orang atau makhluk lain – menciptakan pahala – bertujuan untuk mengurangi hasrat sehingga akhirnya hilang.
Ketika kita memulai praktik kita, mungkin kita masih merasa terjebak, seolah-olah kita baru saja melompat dari pemanggang ke dalam api. “Apa yang telah saya lakukan?!” kita berpikir dalam hati, “Ini tidak lebih mudah daripada saat saya belum mempelajari spiritualitas.” Hal ini wajar adanya. Kita masih akan merasa terjebak karena hasrat kita masih ada, mengintai di sudut dan siap untuk menyerang. Melakukan pekerjaan dan praktik itu sendiri tidak akan mengurangi hasrat. Pikiran negatif dan hasrat yang terus muncul dalam Dharma mungkin sebenarnya menciptakan lebih banyak karma untuk diri kita sendiri. Namun, perbedaan krusialnya adalah bahwa dalam Dharma, tindakan kita difokuskan pada sesuatu yang lebih tinggi – baik guru kita atau beberapa jenis pekerjaan dan praktik yang bertujuan untuk memberi manfaat bagi orang lain dalam bentuk tertentu. Dalam hal itu, setidaknya kita memiliki kesempatan untuk mengembangkan pahala sehingga kita dapat mulai mengurangi delusi. Ini adalah perjalanan yang sulit menuju puncak pencapaian itu, tetapi setidaknya kita telah mengenakan sepatu dan mulai melangkah satu demi satu.
Mungkin juga terlihat sebagai tugas yang menakutkan untuk mulai memikirkan semua makhluk hidup ketika kita masih bergulat dengan keinginan, kebutuhan, dan hasrat individu kita sendiri. Tetapi kita tidak harus langsung memulai dengan seluruh alam semesta. Shantideva telah menyarankan agar kita harus memulai dengan memikirkan orang-orang terdekat terlebih dahulu – ibu kita, misalnya – dan kemudian memperluasnya untuk mencakup orang-orang dalam lingkaran yang lebih luas dan lebih luas lagi. Pada akhirnya, menjadi alami untuk menghasilkan motivasi altruistik ini untuk semua makhluk, bahkan orang asing.
Atau, kita dapat menghasilkan semacam belas kasihan yang dangkal untuk semua makhluk hidup terlebih dahulu. Saat kita berlatih, kita memperkuat pikiran ini lebih kuat dan semakin alami hingga akhirnya kita mulai bertindak secara alami dari keinginan tulus untuk membantu orang lain.
Memulai Dengan Langkah Yang Tepat: Bagaimana Menetapkan Motivasi yang Baik
Meskipun kita bermaksud baik, kita tahu pepatah lama bahwa “jalan menuju neraka dihampari dengan niat baik.” Pada tingkat kita, seringkali kita tidak bisa yakin apakah apa yang kita lakukan benar-benar bermanfaat, membantu, atau baik dalam jangka panjang, pada tingkat yang paling mendalam. Ketika kita melangkah maju dengan keyakinan bahwa tindakan kita benar-benar murni, pada kenyataannya kita mungkin justru berisiko membuat lebih banyak kerugian daripada Pahala.
Hanya pengetahuan yang dapat membantu kita menentukan atau mengubah motivasi kita – dengan mengetahui apa yang harus difokuskan dan mengapa. Dengan pengetahuan, kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak; kita akan dapat mengatasi keraguan dan menjawab pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita sendiri.
Pengetahuan itu kita peroleh dari seseorang yang telah mengalami, melakukannya, dan memahami hal-hal dari sudut pandang yang lebih tinggi dari kita – seorang Guru. Guru ini adalah individu yang telah berhenti mengejar ilusi sehingga dapat mempelajari, memperoleh pengetahuan, mempraktikkannya, dan mengambil sumpah untuk mengajarkannya kepada kita. Mereka telah memahami konsekuensi buruk yang timbul dari mengasupi delusi dan memperkuatnya dengan ilusi – dan kini setiap tindakan mereka diarahkan untuk melawan hal tersebut. Jika ada contoh yang patut diikuti dalam hidup, maka itu adalah guru kita sendiri.
Guru juga menerima ajaran dan pengetahuan ini dari guru mereka sendiri: dan pada gilirannya, para guru ini belajar dari guru mereka, dan seterusnya, dan bila ditelusuri sampai pada garis aliran yang langsung berasal dari Buddha Shakyamuni. Kita semua tahu bahwa Buddha telah benar-benar memotong semua ilusi, menghancurkan semua delusi, dan muncul bebas di tingkat tertinggi, kemudian mengajarkan kepada kita metode yang sama. Sekarang pengetahuan ini telah ada di tangan kita – disampaikan murni dan tidak tercemar melalui banyak generasi guru hingga guru kita sendiri, yang kemudian mengajarkannya kepada kita.
Dengan pengetahuan ini – yang telah diuji selama ribuan tahun – kita memiliki kunci tunggal untuk membuka motivasi yang benar dan positif dalam diri kita yang akan membuat perbedaan antara menciptakan karma lebih lanjut yang akan mengikat kita pada delusi kita, atau menciptakan pahala yang akan membebaskan kita dari mereka.
Dengan pengetahuan dan motivasi ini, kita siap untuk bertempur melawan ilusi dan delusi. Tetapi, seperti dalam setiap pertempuran, seberapa berhasil kita akan tergantung sepenuhnya pada seberapa konsisten dan gigih kita dalam mempertahankan praktik dan motivasi kita. Seperti air yang terus mengalir dari mata air untuk memberikan kita air, demikian pula pahala kita perlu terus dibuat untuk menopang dan “membantu” usaha spiritual kita.
Momen “Ah Ha!”: Bagaimana Motivasi dan Pahala Membawa Pada Pemahaman
Pahala juga memiliki peran penting dalam membantu kita memperoleh pemahaman selama praktik kita. Penting untuk memahami perbedaan yang signifikan antara sekadar memahami sesuatu dan menyadarinya, yang berarti mewujudkan ajaran tersebut, menginternalisasikannya, dan menciptakan transformasi dalam pikiran, sikap, dan fokus kita. Sebagai contoh, terdapat perbedaan besar antara hanya memahami secara intelektual bahwa api akan membakar kita dan menyadari kebenaran itu ketika kita menyentuh api dan membakar tangan kita. Setelah menyadari efeknya, kita bertekad untuk memperbaiki perilaku dan tindakan kita seputar api mulai saat itu.
Dalam hal ini, memperoleh Pahala membantu kita bukan hanya sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari keinginan kita. Pada tingkat yang lebih dalam, Pahala membantu kita dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi kita untuk menerima pengetahuan (seperti bertemu dengan seorang guru dan dapat menghadiri ajarannya). Kemudian, Pahala juga membantu kita memahami ajaran tersebut dalam bahasa yang kita mengerti dan dengan pikiran serta intelektual yang cukup sehat untuk memahaminya. Yang paling penting, Pahala yang kita miliki membantu kita menginternalisasi pengetahuan ini dan menyadarinya.
Ketika kita menyadari ajaran tersebut, kita mengalami transformasi pikiran yang kemudian mendorong kita lebih jauh dalam perjalanan spiritual untuk pengembangan pikiran. Dengan itu, kita mulai memahami cara kerja delusi, bagaimana kita bereaksi (secara tidak tepat) melalui pertunjukan ilusi, dan bagaimana kita menjebak diri kita dalam siklus ini. Dengan kata lain, dengan dorongan dari Pahala, kita dapat belajar, memahami, dan menginternalisasi penyebab dan akibat dari delusi dan ilusi, dan dengan demikian menetapkan tekad yang kuat untuk menolak siklus ini. Pada akhirnya, dengan satu pemahaman demi satu pemahaman, kita membebaskan diri kita dari perangkap yang kita buat sendiri dan diarahkan menuju Pencerahan.
Menemukan Harta Karun: Hubungan Dengan Sang Guru
Memahami bahwa guru menyimpan setiap potongan pengetahuan berharga yang kita butuhkan untuk membangkitkan motivasi yang benar dan mengarahkan kita pada jalur yang tepat menuju Pencerahan, kita belajar untuk menganggapnya – dan hubungan kita dengannya – sebagai yang utama. Bagi kita, guru mewakili segalanya dari Buddha, Dharma, dan Sangha, karena melalui beliau kita terhubung dengan Buddha, menerima ajaran Dharma, dan memiliki hubungan langsung dengan Sangha. Melalui guru, kita memperkuat iman kita kepada Tiga Permata.
Bagi kita, guru lebih berharga, lebih penting daripada Buddha itu sendiri; kita menyadari bahwa pada tahap ini, kita tidak dapat melihat Buddha secara langsung dan rupang Buddha tidak dapat berbicara kepada kita untuk memberikan ajaran. Hanya guru yang dapat memberikan kita Dharma. Dalam ajaran tantrik, kita diajarkan untuk menganggap guru sebagai Buddha, sehingga kita menerima berkah penuh seorang Buddha saat kita memberikan persembahan kepada guru, mempraktikkan ajaran yang dia berikan, dan melayani dia dengan baik.
Karena kekuatan guru begitu besar, itu membantu kita untuk benar-benar membebaskan diri dari lingkaran setan delusi dan ilusi; tindakan dan sikap kita terhadap guru memiliki dampak langsung pada praktik spiritual kita. Jika kita memperlakukan guru sebagai Buddha, kita menerima pahala yang sesuai; jika kita menganggapnya hanya sebagai teman, kita menerima tingkat pahala yang sama, dan sebagainya. Sebetulnya, dengan kekuatan obyek (sang Lama) sendiri, melakukan tindakan positif dan baik kepada beliau akan menghasilkan pahala yang besar tanpa sepengetahuan kita.
Prinsip yang sama berlaku sebaliknya. Jika kita bertindak secara negatif terhadap guru atau tidak mengikuti instruksinya, kita mengumpulkan karma negatif yang menghalangi kemajuan spiritual kita. Semua ini berdasarkan logika. Bila melakukan kebajikan dengan pikiran altruisme terhadap obyek suci menghasilkan energi positif dan pahala, maka melakukan tindakan negatif dengan pikiran yang tidak bersih juga akan menghasilkan karma yang membawa pada efek negatif.
Karena itu, dua orang bisa berlatih di dekat dan dibawah bimbingan guru yang sama, keduanya melakukan hal yang sama, tetapi yang satu menghasilkan pahala yang luar biasa besar sementara yang lain menghasilkan banyak karma negatif. Semua ini akan ditentukan oleh motivasi di balik pelayanan terhadap guru mereka dan bagaimana mereka praktik Dharma di sekitar sang guru.
Tidak jarang kita melihat murid-murid yang sangat dekat dengan sang guru tiba-tiba berhenti dan melarikan diri dari Dharma, atau perilaku mereka memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Ini bukan karena kesalahan sang guru – yang mencintai semua muridnya sama rata – tetapi karena motivasi yang salah dari murid. Karena motivasi yang salah ini, dia akan menciptakan karma, bukan pahala. Dan dengan semakin bertumpuknya karma, pahala yang dihasilkan sebelumnya tertutupi. Pada akhirnya, pahala tersebut akan “habis” yang berarti, karma yang tercipta jauh lebih besar daripada pahala tersebut sehingga pahala tersebut tidak memiliki efek dalam membantu perjalanan spiritual orang tersebut.
Sebaliknya, tidak jarang kita melihat murid-murid yang secara fisik jauh dari sang guru mengalami transformasi mendalam dan menjadi lebih mengabdi dan teguh dalam praktik mereka. Ini karena dengan atau tanpa kedekatan fisik dari sang guru, mereka teguh pada motivasi untuk memberi manfaat bagi orang lain sehingga apapun yang mereka lakukan menghasilkan pahala untuk mendukung praktik mereka secara berkesinambungan.
Melawan Hasrat: Melarikan Diri Dari Lingkaran Setan Tanpa Akhir
Sulit untuk keluar dari jeratan yang kita ciptakan sendiri – perasaan familiar dari delusi-delusi terkadang terasa nyaman, dan permainan ilusi-ilusi membuat kita berharap akan masa depan yang lebih baik. Melakukan yang sebaliknya, seperti yang dijelaskan di sini, mungkin terasa sebagai pilihan yang lebih sulit. Terlibat dalam praktik spiritual, belajar untuk memikirkan kepentingan orang lain, dan meninggalkan kesenangan fisik terasa sulit, bahkan menyakitkan.
Namun, TIDAK melakukan itu jauh lebih buruk.
Keduanya – baik di dalam maupun di luar Dharma – akan terasa seperti jebakan. Namun, dengan mengakui potensi terbesar dari pahala bagi diri kita, praktik dan usaha ini membawa kita pada jalan yang tepat untuk menemukan jalan keluar dari kebingungan. Jika tidak ada yang lain, setidaknya kita telah membantu lebih banyak orang selain diri kita sendiri selama mengikuti jalan Dharma.
Mungkin, dalam perjalanan itu, Anda juga akan menemukan hasrat yang berbeda – keinginan yang lebih kuat namun mengejutkan untuk membuat perubahan dalam kehidupan orang lain. Melihat kebahagiaan orang lain karena bantuan Anda atau berkurang sakitnya, tanpa mengharapkan apapun sebagai balasan, membakar semangat dalam diri Anda. Itu adalah kebahagiaan yang jauh lebih besar, seseorang yang berdiri di depan Anda dengan senyuman tulus. Dan ini semua bukanlah ilusi hanya lewat. Ia nyata. Seseorang berdiri di hadapan anda, hidup dan bahagia. Itu saja sudah cukup untuk mengatasi setiap ilusi.
Tanya & Jawab
Tanya: Saya mendengar beberapa orang mengatakan bahwa pahala seseorang bisa habis, dan karena itu mereka tidak dapat lagi melakukan praktik spiritual. Apakah itu benar?
Jawab: Ada kemungkinan kita melakukan praktik spiritual atau tindakan dengan harapan menguntungkan diri, seperti untuk kepuasan ego kita, pencitraan, atau mendapat ketenaran dan posisi. Atau mungkin kita melakukannya untuk satu atau dua individu yang kita cintai. Dalam kasus ini, kita hanya akan menciptakan karma, yang bisa habis. Kita mungkin berpura-pura melakukan tindakan ini atas nama Dharma, tetapi tidak ada pahala yang dihasilkan bila motivasinya bukan untuk memberi manfaat bagi semua makhluk. Bukannya membebaskan kita dari ilusi, tindakan spiritual kita malah akan menjadi ilusi lain untuk mengasupi hasrat dalam pikiran kita.
Tidaklah benar mengatakan bahwa pahala kita habis. Namun, ketika jumlah karma yang kita ciptakan jauh melebihi pahala yang kita miliki. Dalam keadaan seperti ini, sedikit pahala tersebut tidak dapat mendukung tindakan dan praktik spiritual kita. Oleh karena itu, kita mungkin merasa terdorong untuk pergi atau berhenti.
Tidaklah benar mengatakan bahwa pahala seseorang habis dan karenanya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh orang tersebut. Ini seperti berkata bahwa kita lapar dan kehabisan makanan, tetapi kita terus duduk dan tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkan makanan. Pahala dapat dihasilkan secara terus-menerus dengan tindakan yang kita lakukan dan motivasi yang kita bawa. Bila dengan sadar kita melakukan tindakan/motivasi yang menciptakan pahala, hal ini akan terus mendukung praktik spiritual kita.
Tanya: Bisa berikan saya contoh untuk menjelaskan cara kerja karma dan pahala?
Jawab: Tentu, karena terdapat dua jenis motivasi yang mungkin muncul:
- Untuk keuntungan diri sendiri, yang menghasilkan karma.
- Untuk keuntungan orang lain, yang menghasilkan pahala.
Sebagai contoh untuk menjelaskan cara kerja dan sifat karma, kita bisa menggunakan analogi berikut: karma laksana menyendok air dari sebuah kuali dan memberikannya kepada seseorang dengan harapan mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. Namun, begitu imbalan tersebut diberikan dan diterima, karma berakhir. Dengan demikian, kuali tersebut akhirnya akan kehabisan air karena kita terus mengambil air darinya.
Pahala, di sisi lain, bisa diibaratkan dengan kita menyendok air dari sebuah mata air alami yang sumber airnya berasal dari pegunungan. Tidak peduli seberapa banyak air yang kita ambil, sumbernya tak berujung. Mata air ini, oleh karena itu, tidak akan pernah kehabisan air. Ketika kita terlibat dalam tindakan semata-mata untuk memberi manfaat bagi semua makhluk hidup tanpa unsur diri, kita menciptakan pahala yang kuat dan bukan karma.
Tanya: Saya terlibat dalam praktik Dharma demi pasangan saya, yang sangat saya cintai. Apakah saya mengumpulkan pahala atau karma ketika saya memiliki jenis motivasi ini?
Jawab: Jika Anda melakukan Dharma untuk pasangan, teman, atau anggota keluarga, Anda menciptakan karma, bukan pahala. Hal ini karena meskipun Anda melakukan Dharma untuk orang lain, itu masih pada akhirnya untuk keuntungan pribadi Anda sendiri. Jika kita sungguh-sungguh peduli akan kesejahteraan dan keuntungan orang lain, kita akan melakukan Dharma tidak hanya untuk salah satu orang yang kita cintai, tetapi untuk banyak makhluk lainnya.
Lebih lanjut, karena objek praktik kita adalah seseorang yang tidak “lebih tinggi” dari kita – seperti guru kita – kita menciptakan karma bukan pahala, karena motivasi dan fokusnya bukan untuk kebaikan yang lebih besar.
Tanya: Bagaimana jika saya mengubah motivasi saya untuk melakukan Dharma untuk guru saya daripada pasangan saya?
Jawab: Dalam situasi tersebut, tindakan Dharma Anda yang dilakukan dalam kaitannya dengan guru Anda akan mengakumulasi campuran antara karma dan pahala. Pada tingkat tertentu, Anda masih bertindak dari motivasi yang berpusat pada diri sendiri, untuk keuntungan Anda sendiri, di mana Anda menghasilkan karma. Namun, karena objek itu sendiri – Guru – adalah suci dan ada sepenuhnya untuk kepentingan orang lain, Anda juga akan menghasilkan pahala dengan berfokus pada dan melayani beliau. Pada akhirnya, saat Anda terus dengan motivasi ini yang berfokus pada guru Anda, Anda dapat menghasilkan cukup pahala untuk memperluas motivasi untuk mencakup cakupan manfaat yang lebih luas.
Tanya: Apa yang terjadi jika saya berhenti atau meninggalkan Dharma, atau jika saya melanggar janji kepada guru spiritual saya?
Jawab: Pertama-tama, kita harus mengerti mengapa kita melakukan pekerjaan Dharma atau mengikuti instruksi sang guru, kita mendukung rangkaian tindakan yang akan membawa manfaat pada makhluk lain. Tidak peduli apakah instruksi tersebut meminta anda untuk pergi secara fisik atau melakukan sesuatu bagi seseorang, atau instruksi untuk melakukan retret, hasil akhir dari Dharma selalu harus membawa manfaat bagi orang atau makhluk lain. Ketika memasuki retret terisolasi, ini adalah untuk memperbaiki pikiran kita agar kita dapat mengembangkan kualitas yang diperlukan untuk lebih memberi manfaat dan mengurangi celaka yang kita sebabkan bagi makhluk lain.
Ketika kita berhenti atau tidak menjalankan instruksi guru kita, kita tidak hanya memutuskan hubungan dengan potensi untuk membantu orang lain baik secara langsung atau dalam jangka panjang. Semua orang yang dapat kita bantu dengan pekerjaan Dharma kita, karenanya tidak akan dapat menerima bantuan tersebut, atau bantuan tersebut tertunda. Karma negatif dari efek terhadap makhluk-makhluk tersebut akan kembali pada kita.
Tidaklah benar untuk berpikir bahwa bila kita meninggalkan Dharma, maka tidak ada efeknya, atau “sudah cukup bila kita adalah orang yang baik” dan tidak mencelakakan seseorang. Seringkali, tidak adanya aktivitas saja sudah cukup merusak dan menyebabkan celaka – kita mengumpulkan karma negatif hanya karena kita tahu bahwa kita dapat melakukan sesuatu untuk menolong seseorang , tetapi kita tidak melakukannya. Contohnya, dengan mengikuti instruksi guru kita, kita dapat menolong 100 orang. Tetapi dengan tidak mengikuti instruksi sang guru, orang-orang ini akan tetap menderita. Mungkin kita tidak menyakiti mereka secara langsung, tetapi kita membiarkan mereka untuk terus menderita – bukankah itu sama saja?
Tanya: Apa itu samaya? Apa arti melanggar samaya dan apa efeknya?
Jawab: Samaya adalah ikatan spiritual, komitmen dan loyalitas antara seorang murid dan gurunya, atau seorang murid dan komunitas spiritualnya (yang bisa merupakan kumpulan orang awam atau ditahbiskan). Untuk menjaga samaya yang baik dan bersih, kita harus melakukan praktik Dharma menurut instruksi guru kita, dengan keyakinan bahwa semua nasihat guru kita adalah untuk manfaat yang lebih besar bagi diri dan semua makhluk. Untuk menepati janji, menjaga kehormatan kata-kata kita dan menjalankan instruksi dengan sempurna.
Melanggar samaya adalah tidak memegang janji kepada guru dan komunitas spiritual kita. Ketika kita tidak jujur, kita menipu atau berbohong dengan cara apapun, bila kita tidak menjalankan instruksi guru kita dan tidak menerapkan nasihat guru kita. Semua tindakan ini mengumpulkan karma negatif yang sangat besar karena secara langsung, kita melawan ajaran Dharma (kebenaran) dan melawan apa yang dikatakan para guru suci, yang hanya akan membawa manfaat bagi orang atau makhluk lain. Dengan tidak menjalankan instruksi ini, kita membiarkan orang atau makhluk lain terus menderita – bayangkan karma yang tercipta dari semua ini.
Dan juga, bila menjaga kemurnian samaya dengan guru kita dan menghormati janji kita terhadap beliau menciptakan pahala, logikanya bila kita melakukan hal yang berlawanan, kita menciptakan karma yang menghalangi terbukanya pahala positif. Ketika kita melanggar samaya, hal ini seperti menyatakan kita tidak mempercayai atau menerima ajaran dan bimbingan dari sang Lama; dan kita mengetahuinya. Dalam kasus ini, kita menciptakan karma untuk terpisah dari guru dan tidak dapat menerima ajaran dari sang guru di masa depan.
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Kumpulan Ajaran Melalui SMS (Bahasa Indonesia)
- Mantra – Kata-Kata Suci nan Ampuh (Bahasa Indonesia)
- Perubahan Itu Bersifat Instan (Bahasa Indonesia)
- Pertikaian Dalam Diri Adalah Pertanda Baik (Bahasa Indonesia)
- Mengapa Alasan Kita Tidak Permanen? (Bahasa Indonesia)
- Membalas Dendam Sangatlah Berbahaya (Bahasa Indonesia)
- Devadatta dan Menyalahkan Orang Lain (Bahasa Indonesia)
- Sikap Dalam Melakukan Pekerjaan Dharma (Bahasa Indonesia)
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- Kebenaran Keras Disampaikan Dengan Kasih (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details