Saya Bersujud di Luar Rashi Gempil Ling (Bahasa Indonesia)
Ketika masih kecil di Howell, New Jersey, ada tiga wihara yang terletak dekat tempat tinggal saya. Yang pertama adalah Kuil Nitsan yang terletak di sudut jalan tempat rumah keluarga saya berada. Saya sering naik sepeda untuk menghabiskan waktu di aula doa utama mereka. Wihara kedua yang sedikit lebih jauh bernama Tashi Lhunpo atau Olna Gazur. Keluarga saya adalah ‘anggota’ wihara ini karena kami berasal dari suku Kalmyk (Torghut). Kami sering naik mobil ke sana dan menghadiri berbagai festival dan perayaan budaya.
Wihara ketiga adalah Rashi Gempil Ling atau RGL. Letaknya di seberang Highway 9 dari rumah saya, dan di tempat inilah guru pertama saya tinggal dan mengajar. Guru pertama saya adalah Yang Mulia Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin dari Biara Sera Mey, dan beliau merupakan murid langsung dari Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche. Kensur Rinpoche tiba di Howell pada tahun 1970, satu tahun sebelum saya datang dari tempat kelahiran saya di Taipei, Taiwan. Saya diadopsi oleh keluarga Kalmyk-Mongol di Howell. Walaupun mereka adalah orang Mongolia dan penganut Buddhis, orang tua angkat saya tidak setuju saya sering pergi ke wihara. Mereka tidak keberatan bila saya hanya pergi sesekali, tetapi karena saya adalah putra mereka satu-satunya, mereka ingin saya mengejar Mimpi Amerika (the American Dream), pergi ke sekolah, menjadi sarjana, bekerja, memberikan mereka cucu, meneruskan nama keluarga dan lainnya.
Tetapi saya tidak menginginkan semua ini. Saya ingin menjadi seorang biksu, saya menginginkan Dharma. Saya ingin pergi ke biara, menjadi biksu, belajar, berlatih dan melakukan retret. Orang tua angkat saya mencoba sebisa mereka untuk membuat saya berhenti pergi ke wihara. Mereka akan memukul, membentak dan menghukum saya ketika saya ketahuan pergi ke kuil. Mereka bahkan mengatakan hal-hal memalukan dan tidak benar mengenai Kensur Rinpoche, karena mereka ingin menurunkan keyakinan saya kepada beliau, dan karenanya berhenti pergi ke wihara. Tentu saja, usaha mereka sia-sia tetapi mereka tetap mencoba. Sebetulnya, orang tua saya tidak melakukan hal ini karena mereka jahat, tetapi mereka tidak mengerti. Mereka pikir semua hal yang mereka inginkan adalah yang terbaik untuk saya, tetapi tentu saja hal ini tidak benar, dan mereka tidak mengetahuinya.
Jadi walau dipukuli atau dihukum, saya tetap pergi ke wihara. Saya akan mencari berbagai alasan untuk pergi ke wihara dan menghabiskan waktu di sana. Bila ada pekerjaan yang harus diselesaikan di wihara, saya akan menawarkan bantuan dengan sukarela. Memotong rumput, mencuci piring, membersihkan taman, memunguti daun – apa saja selama saya bisa menghabiskan lebih banyak waktu di sana. Saya ingin melayani guru saya sebaik-baiknya, dan ketika saya melakukan berbagai pekerjaan, di pikiran saya yang masih anak-anak, saya selalu berharap Kensur Rinpoche akan melihat saya melalui jendela dan berkata, “Benar-benar anak yang baik” dan memuji saya. Tentu saja beliau tidak pernah melakukan hal ini.
Bahkan selama sembilan tahun di RGL, Kensur Rinpoche tidak pernah tersenyum pada saya, apalagi memuji. Beliau selalu merengut dan mengerutkan kening ketika melihat saya, dan selalu berwajah serius di depan saya. Kensur Rinpoche mengetahui apa yang saya inginkan, yaitu pujian dan persetujuan darinya. Beliau tidak pernah memberikannya karena beliau tahu hal ini hanya akan membuat kesombongan saya semakin besar. Jadi Kensur Rinpoche walau tidak pernah berlaku tidak baik pada saya, beliau juga tidak pernah menunjukan rasa senang dengan saya. Saya tahu Kensur Rinpoche sangat peduli pada saya karena beliau sering menyuruh saya pulang ke rumah. Beliau mengetahui apa yang terjadi di rumah dan bagaimana orang tua saya memukuli saya. Kensur Rinpoche juga tahu orang tua saya akan sangat tidak senang jika mereka mendengar saya pergi ke wihara. Beliau tidak ingin saya mendapatkan masalah.
Tetapi pada suatu ketika, Kensur Rinpoche mengundang saya ke dapur untuk makan momo dan itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidup saya! Saya sangat sangat SANGAT bahagia. Setelah selesai, saya mencuci piring dan tentu saja setelah itu Rinpoche segera menyuruh saya pulang. Pada kesempatan lainnya, saya memetik beberapa kuntum bunga, menulis sebuah pesan dan mempersembahkannya kepada Kensur Rinpoche. Tidak secara langsung tentunya. Saya meletakan bunga-bunga ini di beranda rumah seorang murid dimana Rinpoche sedang mengajar, menekan bel pintu dan berlari. Kemudian seseorang datang ke beranda, melihat bunga ini dan memberikannya kepada Kensur Rinpoche. Saya kemudian diberitahu bahwa Rinpoche membaca pesan saya dan beliau tersenyum. Rasanya sulit dipercaya, akhirnya saya melakukan sesuatu yang membuat guru saya tersenyum!
Ketika saya berencana untuk bergabung dengan Biara Gaden dan menjadi seorang biksu, saya kembali ke New Jersey dan melaporkan hal ini kepada Kensur Rinpoche. Beliau sangat senang, tersenyum lebar dan berkata bahwa saya melakukan hal yang benar. Wow! Beliau berkata saya melakukan hal yang benar. Kata-kata ini benar-benar memberikan saya kebahagiaan yang amat sangat. Saya percaya pada beliau sepenuhnya.
Kemudian, ketika saya berada di Gaden, saya sangat miskin dan hanya punya sedikit makanan. Saya menulis surat kepada kerabat, orang tua dan orang lain tetapi tidak ada yang menolong sama sekali. Akhirnya, saya meminta bantuan Kensur Rinpoche dan beliau segera mengatur agar salah satu muridnya mengirimkan USD 50 per bulan. Jumlah yang pada saat itu lebih dari cukup bagi saya untuk bertahan hidup dengan baik di Gaden.
Jadi, guru agung ini banyak sekali membantu saya, lebih dari yang anda bayangkan. Saya menerima inisiasi dari Kensur Rinpoche, termasuk Vajra Yogini, dan di RGL pula saya melihat rupa Dorje Shugden untuk pertama kalinya. Rupa ini berada di lemari pelayan Kensur Rinpoche, seorang biksu bernama Lothar. Pada saat itu, Lothar meninggalkan saya sendirian, jadi saya pergi ke kamarnya dan membuka lemarinya karena saya ingin melihat barang-barang yang disimpan seorang biksu. Saya membuka lemarinya untuk melakukan investigasi. Di rak paling atas, ada gambar Buddha berwarna hitam putih dengan secangkir teh dihadapannya.
Ketika saya mengangkat rupa ini untuk melihat lebih dekat, Lothar masuk ke kamar, menangkap saya dan menanyakan apa yang sedang saya lakukan. Saya bertanya balik kepada Lothar, siapakah Buddha ini. Tetapi ia hanya menjawab bahwa Buddha ini bukan untuk saya. Kemudian ia menutup pintu lemari dan menarik saya keluar kamar. Saya bertanya pada Lothar berulang kali siapakah Buddha tersebut, tetapi ia selalu menjawab, Buddha tersebut bukan untuk saya. Keesokan harinya, saya mencoba lagi, tetapi kali ini Lothar mengunci pintu kamarnya. Jadi saya tidak bisa mencari tahu siapa Buddha itu, dan baru bertahun-tahun kemudian saya menyadari bahwa rupa di lemari Lothar adalah Dorje Shugden.
Tentu saja, seringnya saya pergi ke kuil menimbulkan konflik dengan orang tua saya, dan akhirnya mereka menyebarkan gosip mengenai Kensur Rinpoche. Saya rasa mereka pikir semua orang, termasuk saya, di komunitas kami akan berpikir buruk mengenai Kensur Rinpoche, dan saya akan berhenti pergi ke wihara. Tetapi tentu saja hal ini tidak terjadi. Sebetulnya Kensur Rinpoche mengetahui apa yang mereka lakukan, tetapi beliau tidak pernah membalas.
Apa yang dilakukan orang tua saya benar-benar keterlaluan. Orang tua memukul saya, itu cuma satu hal. Tetapi sekarang mereka juga mencoba untuk menyakiti guru saya. Jadi saya harus pergi dan singkat cerita, sekitar waktu itu, saya melarikan diri ke Los Angeles. Saya tidak punya karma untuk tetap tinggal bersama orang tua angkat saya.
Di Los Angeles, saya diperkenalkan kepada Geshe Tsultim Gyeltsen di Wihara Thubten Dhargye Ling. Ketika saya di sana, sesuai dengan panduan hubungan guru dan murid yang pantas, saya menelpon Kensur Rinpoche dan meminta ijin beliau untuk belajar bersama Geshe-la. Bila Kensur Rinpoche tidak memberikan ijin, saya tidak akan tinggal bersama Geshe-la. Bila Kensur Rinpoche berkata ‘tidak’, saya akan pergi. Tetapi Kensur Rinpoche berkata ‘ya’. Beliau juga berkata bahwa Geshe-la adalah guru yang hebat dan seorang cendikiawan, dan bahkan beliau berkata saya harus memperlakukan Geshe-la seperti saya memperlakukan Kensur Rinpoche. Ketika saya menutup telepon, saya segera bersujud tiga kali di hadapan telepon yang saya gunakan untuk berbicara dengan guru pertama saya. Dan saya merefleksikan kualitas guru saya. Saya pikir, beliau benar-benar guru yang luar biasa dan saya telah berkesempatan untuk belajar di bawah bimbingannya selama bertahun-tahun. Yang diinginkan Kensur Rinpoche adalah agar saya mendapatkan pencapaian dan tidak ada ego atau rasa iri terkait dengan muridnya yang belajar dengan guru lain. Jadi karena Kensur Rinpoche saya tinggal bersama Geshe-la dan melayani beliau dan belajar di bawah bimbingannya selama tujuh tahun dan belajar banyak hal sebelum saya pergi ke India untuk menjadi seorang biksu. Geshe-la mengajar setiap akhir minggu dan menjaga saya, membimbing saya, menasihati saya, memarahi saya, mengayomi saya. Melalui Geshe-la, akhirnya saya bertemu dengan guru utama saya, Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche.
Dan semua ini menjadi mungkin karena kebaikan Kensur Rinpoche.
Jadi, 26 tahun kemudian, pada tahun 2013, saya akhirnya kembali ke Amerika Serikat, dan tentu saja, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah Rashi Gempil Ling. Saya ingin memberikan hormat saya di wihara guru pertama saya, dimana saya menerima banyak pengetahuan, Latihan, kebaikan, pengayoman, ajaran, inisiasi, cinta kasih dan berkat. Saya ingin pergi ke sana, mempersembahkan khata di tahta guru saya, memberikan hormat di hadapan stupa beliau, mempersembahkan dupa, melafalkan doa dan menghabiskan beberapa waktu di tempat dimana saya tumbuh besar dan Kensur Rinpoche telah sangat baik kepada saya.
Tetapi saya tidak bisa masuk wihara. Saya tidak akan disambut dengan baik karena saya mempraktikkan Dorje Shugden dan saya sangat terbuka mengenai praktik ini, dan Rashi Gempil Ling telah melepaskan Dorje Shugden, pelindung yang diandalkan oleh Kensur Rinpoche. Saya dengar dari berbagai sumber bahwa mereka tidak ingin saya datang, saya tahu hal ini karena sahabat-sahabat yang dulu sangat dekat dengan saya telah memutuskan hubungan tanpa penjelasan.
Jadi, saya berdiri di pinggir jalan di depan kuil dan berdoa, mengenang kebaikan sang guru kepada saya. Kemudian saya bersujud tiga kali di pinggir jalan. Saya bersujud tiga kali kepada guru besar yang telah memberikan kebaikan tak terhingga kepada saya. Saya sangat merindukan Kensur Rinpoche. Dan benar-benar menyakitkan bagi saya karena saya tidak bisa masuk kuil untuk memberikan hormat kepadanya. Saya mengetahui Kensur Rinpoche melakukan praktik Dorje Shugden karena semua murid terdekatnya menerima sogtae Dorje Shugden dari Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche. Pelayannya, Lothar memberikan persembahan serkym setiap hari kepada Dorje Shugden. Jadi sudah pasti Kensur Rinpoche juga melakukan praktik ini, tetapi beliau adalah guru Kadampa tradisional. Contohnya, Kensur Rinpoche memiliki rupa Vajra Yogini yang sacral di kantornya, tetapi beliau selalu menutupi rupa ini. Saya tahu ini adalah rupa Vajra Yogini karena pada suatu waktu ketika sedang tidak ada orang, saya menyelinap untuk melihat. Tetapi Kensur Rinpoche tidak pernah menunjukkan kepada kami. Jadi Kensur Rinpoche sangatlah tradisional, dan tidak pernah berbicara mengenai inisiasi atau praktik Pelindung dan menunjukkannya secara terbuka. Tetapi Kensur Rinpoche melakukan praktik ini.
Jadi coba pikir. Satu-satunya alasan saya tidak bisa masuk wihara guru pertama saya, wihara masa kecil saya karena saya menolak melepaskan praktik Dorje Shugden yang diberikan Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche kepada saya. Siapa yang harus saya dengar? Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche yang memberikan saya praktik ini, atau Yang Mulia Kensur Rinpoche yang kata orang telah melepaskan praktik ini? Atas dasar apa sya memilih guru mana yang harus saya dengar? Siapa yang memiliki ranking lebih tinggi? Siapa yang lebih terkenal? Siapa yang lebih baik kepada saya? Jadi siapa yang lebih baik kepada saya? Kyabje Zong Rinpoche yang memberikan berbagai inisiasi termasuk praktik Dorje Shugden kepada saya, atau guru pertama saya, Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin yang memberikan ajaran Dharma pertama yang saya terima dalam hidup ini?
Atas dasar apa saya memilih guru mana yang harus didengar? Hal ini tidak masuk akal. Saya memiliki 16 guru, jadi siapa yang harus saya dengar? 14 guru yang mempraktikkan Dorje Shugden atau dua guru yang tidak melakukan praktik ini? Menyuruh saya memilih antara Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin dan Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche adalah seperti meminta saya memilih mata kanan atau mata kiri saya. Tidak mungkin. Saya sangat mencintai Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin tetapi saya tidak bisa melepaskan praktik yang saya dapat dari guru saya yang lain, Kyabje Zong Rinpoche. Kecuali guru yang memberikan praktik ini kepada saya, tidak ada yang bisa menyuruh saya melepaskan praktik ini, tidak peduli seberapa tinggi, seberapa tenar, kaya atau berkuasanya mereka. Bahkan reinkarnasi guru saya juga tidak bisa menyuruh saya melepaskan praktik ini. Dan hal ini benar adanya.
Terlepas dari semua ini, saya bersyukur mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kuil ini. Benar-benar saat yang pahit dan manis untuk mengunjungi wihara tempat saya menghabiskan banyak waktu semasa kecil tetapi tidak bisa masuk ke dalam. Ada banyak kenangan. Setiap hari saya sangat merindukan Kensur Rinpoche, dan saya berharap suatu hari nanti dapat berkumpul kembali dengan reinkarnasinya yang telah terlahir kembali di India Selatan.
Tsem Rinpoche
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Biografi Singkat Tsem Rinpoche Dalam Foto (Bahasa Indonesia)
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- 35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
- Kyabje Zong Rinpoche: Kelahiran, Kematian & Bardo (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details