Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
Teman-teman di seluruh penjuru dunia,
Saya merasa sangat terhormat telah diberi kesempatan menulis tentang Sang pelindung Dharma Dorje Shugden untuk blog Yang Mulia Tsem Rinpoche. Bagi mereka yang berdoa pada beliau secara tulus, Dorje Shugden mampu memberi pertolongan, bahkan untuk masalah yang paling pelik sekalipun. Meski Dorje Shugden tidak dapat menghapus karma buruk kita, beliau mampu meringankan penderitaan kita, dan membantu kita untuk memurnikan karma buruk tersebut melalui penerapan ajaran beliau sehari-harinya. Saya harap artikel ini dapat memberikan informasi penting untuk memperkuat iman anda pada praktik beliau. Dalam tulisan ini saya akan mendiskusikan secara menyeluruh reinkarnasi lampau Dorje Shugden sebelum beliau bangkit sebagai Pelindung Dharma, turunan praktik spiritualnya, berbagai kuilNya, para penubuatNya dan hal-hal yang lain. Saya harap anda menikmatinya.
Saya ingin berterimakasih pada Pastor Niral, Pastor David dan Pastor Jean Ai untuk semua saran, revisi dan suntingannya selama proses penulisan artikel ini.
Salam,
Valencia Suhendra
Dorje Shugden: Pelindung Dharma Masa Kini
Siapa itu Pelindung Dharma?
Pelindung Dharma atau Dharmapala adalah makhluk suci berpenampilan murka yang telah bersumpah untuk melindungi Dharma dan para praktisinya. Sebagai pembela Dharma, para pelindung seringkali digambarkan dalam bentuk menakutkan penuh kemurkaan, dengan taring menyeringai dan umumnya memiliki kulit biru, hitam atau merah. Meski berpenampilan sangar, tujuan utama mereka adalah memberi manfaat bagi makhluk-makhluk dengan kesadaran sekaligus menciptakan kondisi yang kondusif bagi praktik Dharma.
Kuasa yang dimiliki para pelindung Dharma berasal dari sifat mereka yang tercerahkan, dengan ciri utama welas asih dan penuh kebijaksanaan. Pada tingkat yang paling dalam, mereka adalah representasi sukacita karena kesadaran sunyata, bermanifestasi dalam bentuk kuat penuh energi – perlindungan terbaik menghadapi rintangan. Para Pelindung Dharma siap membela praktisi spiritual tulus yang senantiasa mencari intisari diri yang lebih tinggi; mereka yang sanggup melihat sifat fana materialisme dan masalah lain yang diciptakan pikiran manusia sendiri.
Para Buddha dan Bodhisattva dalam bentuk murka bertindak seperti orang tua yang mengasihi kita, selalu siap melindungi dan membantu anak-anak mereka dengan meredam kerusakan yang ditimbulkan ego berlebihan sekaligus menyembuhkan luka batin yang muncul akibat karma masa lampau. Para Buddha dan Bodhisattva ini membimbing mereka yang telah tersesat dari jalan spiritual, sehingga mereka dapat kembali memperbaiki diri. Penampilan murka mereka dapat disamakan dengan kemarahan orang tua akan perilaku buruk anak-anak mereka. Kemurkaan ini sebenarnya didasarkan atas cinta dan welas asih serta kepedulian mereka pada anak-anak mereka.
Peran dan fungsi Pelindung Dharma adalah untuk melenyapkan masalah dan kesulitan yang menghalangi kemajuan spiritual kita. Pelindung Dharma membantu dengan menyingkirkan rintangan dalam batin kita yang berdampak buruk pada praktik spiritual kita, seperti depresi, kemalasan, perasaan ragu, kemarahan, rasa iri, kurangnya kegigihan dan emosi lainnya yang dapat membuat kita menyimpang dari perjalanan sejati.
Dua Tipe Pelindung Dharma
Ada dua macam Pelindung Dharma – pelindung tercerahkan dan mereka yang terikat sumpah. Setiap biara di Tibet punya Pelindung Dharma masing-masing. Namun tradisi ini tidak dimulai di Tibet. Faktanya, praktisi Mahayana di India kuno juga mengandalkan Pelindung Dharma untuk mengatasi halangan dan membantu mereka mencapai aspirasi spiritual.
Secara umum, terdapat dua kelas Pelindung Dharma, yaitu yang bersifat duniawi dan supra duniawi, semuanya bekerja dengan misi untuk menyingkirkan halangan batin maupun badani. Pelindung duniawi adalah dewata yang terikat pada bumi dan sumpah kepada guru besar jaman lampau, atau makhluk tercerahkan lainnya dengan tekad membantu para praktisi. Dalam beberapa kasus, makhluk tercerahkan bisa memilih untuk beremanasi menjadi pelindung duniawi supaya bisa lebih dekat dengan praktisi yang belum tercerahkan. Hal ini karena pahala yang diperlukan untuk terhubung dengan pelindung duniawi lebih sedikit daripada yang diperlukan seorang praktisi untuk berinteraksi dengan pelindung supra-duniawi.
Pelindung supra-duniawi, juga dikenal dengan sebutan pelindung kebijaksanaan transenden, adalah emanasi atau pancaran makhluk tercerahkan dalam bentuk yang tercerahkan pula. Contoh pelindung supra-duniawi: Mahakala Bertangan Enam yang merupakan emanasi dari Arya Avalokiteshvara; Mahakala Catur (Empat) Muka yang adalah emanasi Shri Chakrasamvara dan Keempat Bunda; Tent Mahakala yang merupakan emanasi dari Hevajra dan Palden Mag Zor Ma, emanasi dari Dewi Saraswati dalam bentuk murka.
Gyalchen Dorje Shugden adalah pelindung tercerahkan yang menunjukkan aspek keduniawian. Dzat inti beliau tidak terpisahkan dari Manjushri dan dewa tertinggi Tantra Yoga Yamantaka. Pelindung lain yang mempunyai sifat mirip dengan Dorje Shugden adalah Setrap Chen, pelindung Alam Suci Sukhavati dan emanasi Buddha Amitabha. Terdapat banyak lagi Pelindung Dharma yang merupakan emanasi makhluk supra-duniawi. Seperti yang tertera di bab tentang pencerahan dalam Uttara Tantra, di bawah bagian yang membicarakan klasifikasi macam-macam perlindungan:
Bak silau permata
Dengan seribu warna yang bukan miliknya,
Karena berbagai macam kondisi Keberadaan,
Para Buddha juga tampil dalam seribu bentuk yang tampak beda dengan Vajradhara Nya.
Seperti sebutir permata yang aslinya tidak memiliki banyak warna, tapi mampu bersinar dengan berbagai warna, para Buddha, meski mungkin muncul dalam berbagai bentuk, tetap merupakan kesadaran tercerahkan tunggal dalam Vajradhara.
Pelindung Dharma tidak tercerahkan atau bersifat duniawi seperti Pehar (yang juga dikenal sebagai Nechung), adalah makhluk/roh yang terikat sumpahnya pada para lama yang mengharuskan mereka berhenti menimbulkan kerusakan untuk kemudian melayani dan melindungi Dharma. Sangatlah penting untuk membedakan dua tipe Pelindung Dharma yang ada. Meskipun pelindung tak tercerahkan mampu membantu meringankan kesulitan yang kita alami dan menciptakan kondisi yang kondusif, hanya pelindung tercerahkan merupakan tempat kita berlindung. Hanya mereka yang mampu membantu kita untuk menggapai tinggi hingga mencapai pencerahan itu sendiri.
Kenapa Pelindung Dharma Terlihat Marah dan Menyeramkan?
Penggambaran bentuk pelindung Dharma yang menyeramkan dan liturginya jelas tidak boleh diartikan secara literal, karena metafora ini sebenarnya penuh arti dan ajaran untuk perjalanan spiritual kita. Sebagai contoh, tubuh yang terinjak di bawah kaki melambangkan delusi ego yang tergerus kekuatan kebijaksanaan; penggambaran yang brutal merupakan bagian integral dari fungsi para pelindung untuk menaklukkan iblis batiniah kita yang tidak bisa dikalahkan dengan cara halus. Jika cukup digertak dengan penampilan sangar, kemenangan bisa jadi dicapai tanpa harus berperang.
Penampilan murka dan garang beberapa pelindung Dharma menggambarkan bahwa mereka sedang berperang melawan karma buruk kita. Banyak pelindung Dharma yang dilengkapi dengan berbagai alat pelindung dan senjata untuk melambangkan kekuatan ilahi mereka dalam terus gigih melawan delusi, emosi negatif dan karma kita.
Kemurkaan mereka juga berarti cepat beraksi. Sebagai contoh, ketika kita marah, kita cenderung bergerak dan beraksi lebih cepat tanggap dari biasanya. Karena itu gerak gerik menakutkan dari pelindung Dharma menunjukkan kecepatan dalam memberi bantuan pada kita.
Penting bagi kita untuk ingat bahwa cepatnya pelindung Dharma datang membantu kita tergantung juga pada beberapa faktor, seperti hubungan spiritual antara guru dan kita, kedekatan kita dengan pelindung Dharma dan sebaik apa kita telah menepati janji dan komitmen spiritual kita. Samaya (hubungan antara guru dan murid) yang rusak atau komitmen yang tidak dipenuhi pada sang guru akan menghambat kemampuan pelindung Dharma untuk datang membantu kita. Dalam kitab-kitab suci, samaya yang rusak diibaratkan menutup mata dan merantai para pelindung Dharma, sehingga mereka tidak bisa membantu kita saat kita paling membutuhkanNya.
Beberapa komentator melihat tradisi pelindung Dharma yang murka sebagai hasil pencampuran budaya yang terjadi di Tibet dan bukanlah sebuah hal yang relevan untuk Budhisme dalam bentuk “murni”. Pendapat ini salah adanya karena para guru Mahayana kuno sudah mengandalkan pelindung Dharma sejak Budhisme dipraktikkan di India. Sebagai contoh, praktik Setrap Chen sebenarnya dibawa dari India ke Tibet. Beliau asalnya tinggal di Bodhgaya, tempat pencerahan Buddha Shakyamuni.
Karena itu, tradisi praktik pelindung bertujuan untuk membantu praktisi untuk memurnikan karma buruk dan mengumpulkan pahala untuk mengatasi segala rintangan dalam dan luar, serta menciptakan kondisi yang mendukung praktik spiritual kita untuk tumbuh pesat. Pada saat bersamaan, hal ini akan menumbuhkan welas asih dalam diri kita bagi mereka yang menderita di alam samsara, sesuatu yang perlu kita lakukan. Ini akan memberi kita pengertian dan tindakan yang didasari atas kesadaran bahwa emosi negatif seperti kemarahan atau nafsu menimbulkan karma buruk dan menjebak kita dalam penderitaan terus menerus. Melatih diri memiliki welas asih, dan pengimbangnya, kebijaksanaan, secara langsung menetralisir emosi negatif yang ada, yang merupakan arti sesungguhnya dari gambaran pedang, belati dan senjata lainnya yang dimiliki oleh pelindung Dharma.
Bantuan surgawi yang bisa diberikan oleh pelindung Dharma mutlak diperlukan oleh para praktisi, terutama di jaman sekarang di mana banyak terdapat godaan yang dapat menghasilkan karma buruk dan rintangan. Karma dapat muncul dalam bentuk penyakit, kecelakaan dan masalah dalam karir, kegagalan bisnis, rusaknya hubungan pribadi kita dan lainnya. Karena masalah-masalah ini punya potensi untuk mencemari praktik spiritual kita, pelindung Dharma bisa membantu kita mengatasinya, dan membimbing kita dalam jalan spiritual menuju pencerahan.
Intensi Murni Para Pelindung Dharma
Karma buruk yang diakumulasi seseorang dalam kehidupannya, baik lampau atau saat ini, hanya bisa dimurnikan oleh orang tersebut. Bahkan Buddha manapun tidak bisa memurnikan karma milik makhluk lain. Namun, dengan menjadikan para Buddha sebagai pondasi, kita mampu memurnikan karma kita sendiri dengan mencontoh praktik mereka dalam welas asih dan kebijaksanaan untuk mencapai pencerahan. Karena mereka adalah emanasi para Buddha, pelindung yang tercerahkan adalah tempat berlindung yang cocok bagi praktisi Budhisme. Melalui praktik mereka, kita dapat memurnikan karma buruk kita dan mengumpulkan pahala.
Suatu hal yang perlu diingat di sini adalah perbedaan antara karma baik dan pahala. Karma baik tercipta melalui tindakan baik pada sesama dalam kehidupan sehari-hari, yang akan menghasilkan kondisi moncer bagi kita di masa depan. Namun, pahala dihasilkan melalui tindakan yang dilakukan dengan motivasi bajik dan didedikasikan pada pencapaian pencerahan sehingga kita bisa memberi manfaat bagi makhluk-makhluk sadar dengan meringankan penderitaan mereka. Jika karma baik bisa habis setelah berbuah, pahala hanya bisa terus berlipat ganda dan tidak dapat habis.
Praktik pelindung Dharma yang tercerahkan menghasilkan pahala dan menciptakan kedekatan pada sang pelindung. Dua alasan ini menjadi penyebab pelindung Dharma muncul untuk membantu kita saat kita membutuhkanNya. Sebenarnya pada sisi pelindung Dharma, motivasi yang ada untuk membantu kita hanya welas asih yang tercerahkan. Tetapi, tanpa akumulasi pahala kita sendiri, pelindung Dharma akan kesulitan membantu kita karena kuatnya karma negatif kita sendiri.
Kita dapat mengumpulkan pahala dengan bersandar pada pelindung Dharma dan memberi mereka persembahan, memvisualisasikan beliau dan membaca mantra dan doa-doaNya. Saat kita telah berhasil meraup pahala yang cukup, sang pelindung akan dapat menggunakannya untuk mencegah berbuahnya karma buruk dengan segala akibatnya. Sang pelindung tidak dapat semerta-merta melenyapkan karma buruk kita, namun mampu mencegah kita untuk menjalani akibatnya karena hal itu dapat menjadi berbahaya bagi kita atau karena hal itu di luar kemampuan kita untuk menghadapinya, sehingga bisa memporak-porandakan praktik spiritual kita. Penundaan ini memberi kita kesempatan untuk memurnikan karma kita sendiri sampai pada tahap dikecilkannya atau dihilangkannya karma tersebut.
Sifat Dorje Shugden
Dorje Shugden adalah pelindung Dharma dengan bentuk dan sifat yang membuat praktiknya cocok untuk era modern kita. Beliau ada untuk membimbing makhluk-makhluk sadar dalam perjalanan mereka mencapai pencerahan. Semua makhluk yang hidup saat ini memiliki kedekatan karma yang lebih kuat dengan Dorje Shugden daripada dengan pelindung Dharma lainnya. Ini adalah alasan Morchen Dorjechang Kunga Lhundrup, seorang guru tinggi dari tradisi Sakya, pernah berujar pada muridnya, “Sekarang saatnya kita bergantung pada Dorje Shugden.”
Manfaat Berdoa Pada Dorje Shugden
Terdapat banyak manfaat dengan berdoa pada Dorje Shugden, termasuk diantaranya:
- Membuka pikiran kita untuk menerima kebijaksanaan universal sehingga kita dapat memiliki kejelasan pikiran, pengertian dan pandangan yang mampu menguak tabir kehidupan.
- Meringankan penderitaan yang kita alami dan membantu kita mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk menggapai potensi spiritual kita. Dorje Shugden mempunyai kemampuan menyediakan kekayaan materi dan spiritual bagi mereka yang percaya padanya.
- Menambah umur, sumber daya materi, pahala dan pencapaian spiritual.
- Menetralisir efek tutur kata negatif dan energinya.
- Mengamankan kesehatan fisik dan mental kita serta membantu kita mencapai target yang kita buat.
- Menetralkan efek guna-guna.
- Memberikan pada kita dukungan spiritual sehingga kita bisa mendapatkan stabilitas dan tekad untuk mengikis emosi negatif yang hanya menghalangi diri kita mencapai potensi maksimal.
Guru agung Tagpo Kelsang Khaedrub Rinpoche menulis dua ayat berikut tentang Dorje Shugden:
Dengan iman teguh ku menyembah diriMu, Vajradhara Dorje Shugden.
Meski Kau telah mendarat di tanah Buddha
Dan telah menjalani dua puluh tujuh perilaku Buddha,
Kau muncul dalam berbagai bentuk untuk membantu
Budhadharma dan para makhluk sadar.Kau telah muncul dalam berbagai aspek
Sebagai guru agung di India dan Tibet,
Seperti Manjushri, Mahasiddha Biwawa, Sakya Pandita,
Buton Rinchen Drub, Duldzin Dragpa Gyaltsen,
Panchen Sonam Dragpa, dan banyak lainnya.
27 perilaku yang disebut dalam ayat pertama dijabarkan dalam Penghias Pencapaian Jernih dan merupakan aktivitas yang dilakukan oleh sebuah sosok yang tercerahkan. Perilaku ini termasuk membimbing makhluk sadar menuju Dharma, membantu makhluk sadar untuk mempraktikkan Dharma dan pada akhirnya membantu mereka mencapai pencerahan.
Kemampuan Dorje Shugden muncul dalam berbagai aspek seperti murka, damai dan banyak lainnya penting karena hal tersebut membantu beliau menyentuh hati lebih banyak orang pada tingkat yang berbeda-beda, membantu mereka dengan masalah yang berbeda-beda pula. Dalam Sutra Pertemuan Bapak dan Anak, Buddha Shakyamuni berkata:
Para Buddha menyatakan diri dalam berbagai aspek seperti Brahma, Indra dan terkadang bahkan sebagai mara atau dalam aspek sebagai sosok jahat– tapi orang duniawi tidak mengenali emanasi-emanasi ini.
Asal Usul Dorje Shugden
Kita semua hidup dan menderita menurut karma masing-masing. Penderitaan yang kita alami seringkali menghasilkan rintangan dan godaan bagi kita dalam mencapai kemajuan praktik spiritual. Percaya dan berdoa pada Dorje Shugden akan membantu kita menciptakan kondisi yang tepat bagi kehidupan dan kemajuan praktik spiritual kita. Sebagai pelindung Dharma, Dorje Shugden akan menghalau semua rintangan yang menghalangi dan melindungi kita beserta orang-orang yang kita kasihi. Dorje Shugden akan datang membantu secepat kilat dan membawa kekuatan puluhan juta pelindung Dharma.
Dorje Shugden berasal dari turunan agung makhluk suci tercerahkan. KaryaNya telah membawa dampak besar bagi perkembangan Dharma di dunia. Silsilah inkarnasi Dorje Shugden meliputi Mahasiddha (praktisi dengan pencapaian tinggi), cendekiawan Budhis kenamaan, biarawan dengan disiplin moral tinggi dan guru Dharma tersohor. Di setiap kehidupan lampau, beliau tidak pernah berhenti melindungi Dharma, termasuk diantaranya sebagai Mahasiddha Virupa, Sakya Pandita, Buton Rinchen Drub, Duldzin Drakpa Gyaltsen, Panchen Sonam Drakpa, Sonam Yeshe Wangpo, Sonam Geleg Pelsang dan Tulku Drakpa Gyaltsen. Dalam setiap masa hidup, mereka berupaya untuk menjaga ajaran suci Dharma. Pada akhirnya, saat meninggalnya Tulku Drakpa Gyaltsen, beliau bermanifestasi sebagai Dorje Shugden.
Pergi ke Silsilah Inkarnasi Dorje Shugden
Silsilah Inkarnasi Dorje Shugden
Inkarnasi Pertama – Buddha Manjushri: Buddha Kebijaksanaan
Garis turunan inkarnasi Dorje Shugden dimulai dari Manjushri, Sang Buddha Kebijaksanaan, yang muncul di masa Buddha Shakyamuni sebagai salah satu murid langsung beliau. Dalam Sutra Menguak Kediaman Manjushri, Sang Buddha menjelaskan bagaimana Manjushri muncul dalam berbagai emanasi dengan misi tunggal untuk membantu makhluk sadar dalam praktik Dharma. Menurut berbagai sutra, Manjushri seringkali memberikan pertanyaan pada Sang Buddha sehingga gurunya tersebut memberikan ajaran yang penting. Manjushri juga dipercaya sang guru untuk memberi ajaran, dan kadang Sang Buddha suka mengirim murid-murid tertentu untuk belajar dari Manjushri, karena beliau lebih ada kedekatan dengan mereka.
Bersama dengan Avalokiteshvara dan Vajrapani, Manjushri adalah bagian dari trinitas Bodhisattva yang terdepan. Mereka juga dikenal sebagai kepala Ketiga Keluarga. Cabang yang diwakili Manjushri dikenal sebagai keluarga Tathagatha. Di dalamnya termasuk Buddha Shakyamuni dan Vairochana, sosok utama dalam Mandala Lima Buddha.
Manjushri telah beremanasi dalam berbagai bentuk termasuk Kalarupa, Mahakala Catur Muka, Yamantaka, Lama Tsongkhapa dan Dorje Shugden. Para lama agung seperti Mahasiddha Tagphu Pemavajra, Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche dan Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche telah secara formal mengakui Dorje Shugden sebagai emanasi Manjushri.
Inkarnasi Kedua – Magadha Sangmo: Patron Sang Buddha
Magadha Sangmo adalah putri dari Suddatta, seorang murid dan patron utama Sang Buddha Shakyamuni. Beliaulah yang membangunkan dan mempersembahkan biara pertama bagi sang Buddha, Jetavana Grove. Kemurahan hatinya membuat orang menamakan dirinya ‘Anathapindika’ yang berarti ‘penderma para yatim piatu dan orang tak berdaya’. Iman kuat Anathapindika pada ajaran Buddha menempatkan dirinya sebagai murid utama Sang Buddha Shakyamuni sekaligus panutan bagi semua donatur dan patron. Magadha Sangmo, anak perempuannya, adalah salah satu inkarnasi terdahulu Dorje Shugden.
Magadha Sangmo mencontoh ayahnya dan menjadi patron panutan, yang rajin dan tanpa lelah memberikan persembahan makanan dan dupa bagi sang Buddha dan komunitas biaraNya.
Magadha Sangmo kemudian menikah dan pindah ke Gokhara untuk hidup bersama kelurga suaminya. Suatu hari, rindu akan gurunya Buddha Shakyamuni, Magadha Sangmo mengundang Sang Buddha dan rombongannya untuk makan di rumahnya. Dia menyampaikan undangannya dengan membakar dupa dan berdoa khusyuk dari atap rumahnya. Suaminya, penganut Jainisme, ragu Sang Buddha akan datang. Meski mendengar suaminya meragukannya, Magadha Sangmo tetap yakin Sang Buddha akan datang. Sesuai jalannya cerita, pada hari berikutnya sang Buddha dan rombongan secara ajaib turun dari langit dengan berbagai wahana untuk menikmati persembahan makanan yang tersaji. Setelah itu, Sang Buddha memberikan ajaran bagi mereka yang hadir. Hasilnya, ribuan orang percaya pada Sang Buddha dan mulai mempraktikkan Dharma. Melalui tindakan Magadha Sangmo memberikan persembahan dupa dan mengundang gurunya untuk mencicipi makanan, ribuan orang menapak jalan Dharma. Tindakannya dalam mempersembahkan dupa kini telah menjadi praktik standar ketika berdoa pada Sang Buddha. Dari caranya membakar dupa dan membaca ayat pengundangan lahir tradisi mengucapkan doa invokasi dalam tradisi Budhis.
Komitmen Magadha Sangmo untuk menyebarkan Dharma sangatlah kuat dan beliau dikenal berhasil memperkenalkan Budhisme para ribuan orang di kota Gokhara. Melalui iman dan dedikasinya untuk melayani orang lain, Magadha Sangmo mencapai tahap Arahat dalam kurun hidupnya sebagai orang awam. Prestasi ini menjadi bukti bahwa seorang praktisi dapat menggapai tinggi meski bukan seorang biarawan atau biarawati.
Devosinya yang murni pada ajaran Sang Buddha menjadikannya figur penting dalam Budhisme dan beliau hidup kekal melalui kitab-kitab suci dalam ketiga aliran Budhisme – Theravada, Mahayana dan Vajrayana.
Inkarnasi Ketiga – Mahasiddha Virupa: Pembuat Keajaiban
Sekitar abad 7 atau 8, Dorje Shugden terlahir dalam keluarga kerajaan di India Timur. Beliau diberi nama Dharmapala tetapi kemudian dikenal dengan nama Virupa, Biwawa atau Birwapa. Birwapa terlahir sebagai putra mahkota dari Raja Roda Emas di sebuah kota bernama Bishana, Penguasa Obat-Obatan, yang terletak di sebelah selatan Bodh Gaya. Pada saat lahir, astrolog kerajaan meramalkan bahwa sang pangeran akan memiliki daya spiritual di atas rata-rata dan akan berjasa dalam penyebaran Dharma. Pada umur yang belia, dirinya masuk biara yang terkenal, Somapurira di Bengal Utara, di mana beliau menerima pengukuhan sebagai pemula dari kepala biara Dulway Lha, Deva dari Vinaya. Di biara ini, dirinya mempelajari semua lima cabang pengetahuan.
Virupa kemudian pergi ke Universitas Nalanda di mana beliau menjalani tapa bersama Chokyi Shenyen, Pembimbing Dharma, kepala biara Nalanda. Dirinya menerima pengajaran luas dari Chokyi Shenyen, terutama tentang praktik Sri Chakrasamvara.
Virupa mengajar di universitas pada pagi hari dan mempraktikkan Sri Chakrasamvara dengan rajin pada malam harinya, menuruti instruksi rahasia yang didapatnya dari sang kepala biara. Tetapi, meski mempelajari Chakrasamvara dengan tekun, dirinya tetap tidak bisa mencapai tingkat spiritual seperti yang diharapkannya. Hal ini berlanjut hingga beliau berumur 70. Kesehatannya yang terus menurun dan gangguan terus menerus oleh para Yaksha dan roh-roh jahat membuatnya depresi. Dirinya mencapai titik nadir ketika bermimpi melihat kebakaran hebat di dasar sebuah lembah dan banjir di bagian atasnya. Dia melihat hujan bongkahan es, glasier, serpihan es dan gunung es berjatuhan dari langit. Dalam mimpi yang sama, dia melihat Gurunya, Yidam dan teman spiritual bergelantungan terbalik dengan muka tercabik, hidung terpotong, bola mata tercungkil, darah menetes ke mana-mana.
Virupa tak sadar bahwa dirinya tiba pada saat dirinya hampir menyelesaikan jalan persiapan dan jalan penglihatan. Penglihatan serta mimpi mengerikan yang dialaminya adalah bagian dari proses ini. Merasa akan ada bencana, dia berkesimpulan bahwa dirinya pasti kurang terhubung dengan Tantra, sehingga menyebabkannya membuang mala miliknya di tempat pembuangan tinja. Malam itu ketika sedang tidur, dirinya bermimpi melihat Nairatmya, dalam bentuknya sebagai seorang wanita biasa berkulit biru. Dewi tersebut kemudian memberitahunya, “Putra garis turunan! Jangan lakukan itu! Lanjutkan praktikmu! Kau akan segera mencapai siddhi! Akulah dewa yang punya hubungan karma denganmu!”
Malam berikutnya dia mengambil kembali mala miliknya, membersihkannya dan mengurapinya dengan parfum wangi dan mulai lagi melafal mantra. Hal ini memperbaharuinya dan dia berhasil menyelesaikan enam bagian dari mandala Kelimabelas-Dewi Nairatmya.
Pada saat ritual tsog (pesta tantrik), mandala Dewi Nairatmya muncul di hadapannya. Para biarawan di Nalanda sering melihat para dewi ini bagai wanita biasa dan gosip tentang kepala biara yang sering terlihat dengan berbagai wanita mulai tersebar. Fitnah ini membuat orang-orang kehilangan kepercayaan padanya dan ajarannya. Virupa menjadi marah dan berkata, “Aku laki-laki yang tidak baik!” Sejak saat itu dia dikenal sebagai Virupa atau Birwapa, yang berarti ‘pahlawan bergondok’.
Setelah itu dia melepas jubahnya dan berjalan menuju Varanasi dalam keadaan telanjang dan bersenandung lagu-lagu vajra. Gangga, dia berujar, “Karena aku buruk, kamu semua akan jadi kotor! Kukatakan, sungai, minggirlah buatku!” Air sungai kemudian terbelah dan Virupa menyeberang. Para biarawan saat itu sadar beliau telah menjadi mahasiddha dan mereka memohon ampun karena telah menyebar gosip yang tidak tidak.
Sejak saat itu hidup Virupa menjelma menjadi sebuah petualangan penuh keajaiban spiritual. Suatu hari dirinya diundang Raja Ghonanta Chakra, seorang non-Budhis, ketika sedang berada di hutan di luar Varanasi. Ketika tahu bahwa dirinya adalah seorang yogi Budhis, sang raja memerintahkan Virupa untuk dirantai, dilempar ke sungai dan kemudian dikubur hidup-hidup. Tapi semua siksaan ini tidak mempan pada dirinya. Melihat sendiri keajaiban ini, sang raja dan seluruh negrinya menerima ajaran Vajrayana.
Virupa melanjutkan perjalanannya menuju selatan. Dia berhenti di tepi sebuah sungai karena tidak ada perahu untuk menyeberang. Dia kemudian berteriak, “Jika tak ada yang bisa menyeberangkanku, berhentilah!” Sungainya berhenti mengalir akibat perintah tersebut.
Di waktu yang lain, saat beliau sedang istirahat di sebuah kedai minuman, dirinya mulai meminum banyak bir tapi tidak punya uang untuk membayar. Ketika pemilik kedai menagih, beliau menjawab akan membayar saat matahari terbenam. Kemudian, dengan satu gerakan tangan, dirinya membuat matahari diam tak bergerak di angkasa. Matahari terlihat diam tidak terbenam selama tiga hari. Setelah itu raja daerah itu datang memohon pada beliau untuk melepaskan kembali matahari supaya bisa bergerak seperti sedia kala dan sebagai gantinya Virupa tidak diwajibkan membayar minumannya. Melalui keajaiban ini, pikiran banyak orang tertuju pada praktik Dharma. Kisah petualangan ajaib beliau diceritakan di dalam Pujian Bodh Gaya:
Menghentikan sungai sungai besar,
Membuat matahari tak bergeming untuk bir,
Kepada sang Guru, yag dikenal sebagai
Birwapa, aku bersujud!
Virupa kemudian tiba di tempat yang disebut Bhimisaradi mana Raja Nathawata mempunyai 500 agamawan berambut gimbal yang bertindak sebagai guru persembahan, menyembelih puluhan ribu kambing dan kerbau untuk persembahan darah pada patung dewa Ishvara. Virupa menunjuk patung tersebut dengan jarinya dan patung itupun terbelah menjadi empat bagian. Pecahan-pecahan patung tersebut kemudian menyatu kembali dan terdapat patung batu Avalokiteshvara, Sang Welas Asih, di bagian mahkotanya. Sang raja dan para agamawan menjadi sangat takut. Salah satu agamawan itu kemudian dikenal sebagai Khrisnapada dari Timur, menjadi murid setia Virupa. Di banyak tempat lain, Virupa juga menghancurkan banyak patung lainnya yang telah dirasuki roh-roh yang menghendaki persembahan darah. Pada akhirnya seluruh kerajaan menganut Budhisme.
Inkarnasi Keempat– Thonmi Sambhota: Bapak Aksara Tibet
Pada abad yang ke-7, Dorje Shugden terlahir di sebuah keluarga pejabat menteri Tibet di tempat yang bernama Tu, sebuah dusun di kaki punggung bukit Khambala di sebelah selatan sungai Yeru Tsangpo di Yorwo. Menurut catatan, beliau lahir di tahun 619. Ayahnya bernama Thonmi Anu Ragata, menjabat sebagai menteri di bawah Raja Tibet Songtsen Gampo (617 – 698).
Thonmi Sambhota merupakan seorang cendekiawan brilian yang dipilih oleh Songtsen Gampo untuk melakukan perjalanan ke India. Bersama dengan 16 cendekiawan muda dan pintar lainnya, Thonmi Sambhota dikirim ke sana untuk belajar bahasa Sansekerta dan kemudian menciptakan aksara untuk bahasa Tibet. Sang raja membekali mereka dengan bubuk emas yang cukup untuk membiayai pengeluaran mereka sepanjang perjalanan serta kebutuhan mereka selama belajar di India.
Thonmi Sambhota dan rombongan melakukan perjalanan kesana kemari di India untuk mencari guru yang tepat. Akhirnya beliau menemukan beberapa guru yang cocok di India Selatan bernama Brahman Lijinkara dan Lha Rigpa Sengge, yang nama Sansekertanya mungkin adalah Devavitsimha. Dia kemudian mempelajari bahasa, tata bahasa, leksikografi, puisi sastra dan bidang yag terkait lainnya, serta filosofi, selama sekitar tujuh tahun lamanya. Fokus utamanya adalah konstruksi gramatikal yang terkait jender dalam naskah-naskah fonologi karya Lha Rigpa Sengge.
Sekembalinya ke Tibet, Thonmi Sambhota menggabungkan aksara Devanagari dan Kashmiri, serta menulis enam naskah tentang bahasa tulis baru untuk Tibet. Dirinya juga membawa pulang semua naskah yang tersedia tentang tata bahasa Sansekerta dan topik lainnya dari India. Naskah-naskah ini diyakini sebagai literatur pertama tentang Budhisme yang masuk ke Tibet dari India. Hanya dua dari naskah yang dibawanya masih ada sampai saat ini (sum bcu pa dan rtags kyi ‘jug pa). Mereka yang mempelajari tata bahasa Tibet harus mengenal dua naskah ini. Setelah Thonmi Sambhota menjabarkan hasil belajarnya di depan seluruh pembesar kerajaan, sang raja mengurung diri selama empat tahun untuk belajar bahasa baru yang diciptakan oleh Thonmi Sambhota. Thonmi Sambhota sendiri akhirnya menjadi salah satu penasehat kepercayaan Songtsen Gampo.
Inkarnasi Kelima – Raja Trisong Detsen: Dharmaraja Yang Agung
Di abad ke-8, Dorje Shugden adalah Raja Dharma kedua dari tiga raja Dharma besar di Tibet, Raja Trisong Detsen. Sebagai seorang pemimpin militer yang handal, beliau sukses berperang melawan bangsa Arab di penjuru Barat dan dinasti Tang dari Tiongkok di Timur.
Raja Trisong Detsen mengundang guru India Shantarakshita dan Guru Padmasambhava untuk mengajar tentang Budhisme di Tibet. Beliau juga membangun biara pertama di Tibet, Samye, di mana biarawan-biarawan Tibet ditahbiskan dan memulai menerjemahkan naskah-naskah penting dari India.
Raja Trisong Detsen sangat teliti dalam memastikan bahwa ajaran Budhis yang masuk Tibet adalah yang murni dan benar. Biara Samye menjadi magnet bagi banyak guru besar dari India, Kashmir, Tiongkok dan tempat lainnya. Ada biksu populer dari Tiongkok bernama Hoshang yang mengajar praktik meditasi mengosongkan pikiran dari konsep-konsep pemikiran. Tetapi Raja Trisong Detsen meragukan sumber dan kebenaran ajaran ini. Keraguan inilah yang kemudian membuatnya mengadakan debat akbar bernama Konsili Lhasa yang berlangsung selama dua tahun di biara Samye. Debat berlangsung antara cendekiawan-cendekiawan utama dari Tiongkok dan India pada waktu itu. Guru Kamalashila dari India akhirnya dinyatakan pemenang debat. Sejak saat itu, Budhisme Tibet hanya mengambil sumber-sumber dari India.
Inkarnasi Keenam – Mahasiddha Naropa: Murid Yang Tak Tertaklukkan
Di awal abad 11, Dorje Shugden terlahir sebagai seorang pangeran Kashmir yang kemudian turun tahta untuk menjadi biksu di biara Nalanda yang tersohor di India. Sebagai cendekiawan yang mencari seorang guru, Naropa berkeputusan untuk mencari Mahasiddha Tilopa dan kemudian menjadi yogi berkelana mencari gurunya. Beliau akhirnya berhasil menemukan Tilopa yang awalnya menolak menerimanya sebagai murid.
Tekad kuatnya untuk berguru menjadi bekal untuk dirinya dalam menjalani 12 tes besar dan 12 tes kecil yang diajukan sang guru. Setelah berhasil menyelesaikan semuanya, dirinya menerima ajaran penuh dari Guru Tilopa, yang termasuk inisiasi ke dalam praktik Tantra Vajravarahi. Dalam beberapa bulan, Naropa mencapai pencerahan sepenuhnya karena proses pemurnian dan pengumpulan pahala yang merupakan hasil melayani gurunya melalui 12 ujian besar dan 12 ujian kecil.
Naropa juga terkenal karena telah mendapatkan penglihatan Vajrayogini. Bentuk Vajrayogini ini sekarang banyak dipraktikkan dan dikenal sebagai Naro Kachö, yang jika terjemahkan adalah ‘Vajrayogini milik Naropa’. Naropa juga diakui telah mengkodifikasi enam praktik Tantra yang kini dikenal sebagai Enam Yoga Naropa. Beliau punya banyak murid, termasuk Guru Tibet Marpa, yang di kemudian hari menjadi pengajar bagi yogi terkenal Milarepa.
Inkarnasi Ketujuh – Ra Lotsawa: Yogi Agung Yamantaka
Pada awal abad 11, Dorje Shugden terlahir sebagai Ra Lotsawa, figur penuh kontroversi yang mempunyai peran penting dalam penyebaran Tantra Yamantaka di Tibet. Beliau lahir di Nyenam, Tibet, pada tahun 1016. Beliau hidup di masa Mahasiddha Naropa dan Lotsawa Loden Sherab, ketiganya merupakan kehidupan lampau Dorje Shugden. Sangatlah mungkin bagi para Bodhisattva untuk membagi kesadaran mereka dan terlahir menjadi beberapa individu secara bersamaan untuk memaksimalkan manfaat mereka bagi makhluk sadar. Ra Lotsawa seumuran dengan Lotsawa Loden Sherab dan keduanya melakukan perjalanan yang sama ke India bersama tiga orang lainnya untuk mempelajari bahasa Sansekerta.
Beliau menerima inisiasi Tantra Yamantaka dan Vajrayogini dari gurunya, Bharo Chakdum, yang merupakan spesialis dalam tantra yang disebut. Beliau juga menerima garis turunan Chakrasamvara dan Namasamgiti dari Mahakaruna, seorang guru yang merupakan murid Naropa, juga Tantra Kalachakra dari Guru India Samantashri.
Sepulangnya ke Tibet, beliau memperkenalkan ajaran Tantra yang dipelajarinya. Banyak yang menentang usaha beliau karena penampilan murka Yamantaka dianggap tidak sesuai prinsip Budhisme oleh beberapa praktisi. Untuk membuktikan bahwa ajarannya valid, beliau memasuki perang magis melawan mereka yang menentang Yamantaka. Beliau berhasil mengalahkan 13 lama dari berbagai tradisi, semuanya penentang penyebaran Tantra Yamantaka. Banyak yang percaya bahwa lama-lama tersebut memang pura-pura menentang supaya bisa dikalahkan, sehingga membuktikan kuasa dan daya Tantra Yamantaka. Melalui kejadian ini, praktik Tantra menjadi resmi di Tibet.
Ra Lotsawa juga membangun ulang banyak biara terutama di daerah Tsang selatan, menerjemahkan banyak buku dan mensponsori pencetakan naskah dharma dan pembuatan berbagai patung Buddha.
Inkarnasi Kedelapan – Lotsawa Loden Sherab: Penerjemah Yang Prolifik
Di pertengahan abad 11, Dorje Shugden melakukan inkarnasi sebagai Lotsawa Loden Sherab. Beliau adalah keponakan sekaligus murid dari guru besar Ngok Lekpai Sherab, yang juga mentahbiskan Lotsawa Loden Sherab sebagai biksu.
Seperti disebutkan sebelumnya, Lotsawa Loden Sherab bergabung dengan ekspedisi bersama Ra Lotsawa menuju India. Misi mereka adalah mempelajari bahasa Sansekerta dan traktat-traktat penting lainnya. Seusai menuntaskan studinya, beliau pulang ke Tibet dan membawa berbagai macam traktat penting dari India serta praktik pelindung Dharma Setrap Chen.
Lotsawa Loden Sherab menetap di biara Sangphu Neutog dan terkenal sebagai seorang lama dan guru hebat yang mampu menarik lebih dari 20 ribu murid untuk mendengarkan ceramah Dharmanya. Seorang penerjemah yang sangat produktif, beliau juga memotori usaha menerjemahkan traktat-traktat dari India ke dalam bahasa Tibet dan meminta bantuan banyak cendekiawan India untuk membantunya.
Sepanjang hidupnya, Lotsawa Loden Sherab telah menerjemahkan lebih dari 135,000 ayat dan melatih banyak sekali murid dalam filosofi Budhis kuno. Beliau meninggal dunia di tengah-tengah berbagai pertanda bajik, yaitu munculnya pelangi, getaran bumi dan cahaya di angkasa. Relik beliau disimpan di biara Sangphu.
Inkarnasi Kesembilan – Shakya Shri Bhadra: Cendekiawan Agung dari Kashmir
Di awal abad 12, Dorje Shugden lahir sebagai Shakya Shri Bhadra, di keluarga seorang Brahmin di Kashmir. Beliau pada akhirnya menjabat sebagai Mahapandita di biara Nalanda dan juga ditunjuk sebagai kepala biara di Nalanda sekaligus Vikramashila.
Shakya Shri Bhadra juga merupakan guru terkenal di Tibet. Bersama rombongannya, beliau berkeliling mengunjungi berbagai biara di Tibet untuk memberi ajaran yang menyeluruh tentang berbagai topik seperti kelima teks utama filosofi Budhis. Beliau juga memutar Roda Sutra dan Tantra melalui upaya Tropu Lotsawa, seorang penerjemah dan ahli debat yang handal.
Sepanjang perjalanannya, Shakya Shri Bhadra mentahbiskan banyak biksu berdasarkan sistem Vinaya dari Kashmir yang pada akhirnya menjadi sistem panduan bagi aliran Sakya, Kagyu dan Gelug di Tibet. Beliau juga diakui telah menguji keaslian garis praktik Vajrakilaya, dan memperkenalkan sistem logika India ke dalam aliran Sakya melalui Sakya Pandita Kunga Gyaltsen, yang beliau temui dalam perjalanannya.
Inkarnasi Kesepuluh – Sakya Pandita Kunga Gyaltsen: Guru Sakya Yang Mumpuni
Sakya Pandita Kunga Gyaltsen terlahir sebagai Sri Amogasiddhi, yang mempunyai arti Pencapai Maksud Yang Jaya. Beliau terlahir sebagai putra dari Sri Maha Prabha dan Trapum Nyitri. Dirinya juga bisa berbicara dalam bahasa Sansekerta dari momen kelahiran dan mampu mengenali berbagai huruf dalam bahasa Sansekerta, Tibet dan lainnya tanpa diajari terlebih dahulu.
Pada saat umur 19 beliau telah menguasai semua Sutra dan Tantra yang diajarkan Yang Terhormat Dragpa Gyaltsen. Melalui mimpinya, Kunga Gyaltsen mendapatkan ajaran tentang Abhidharma dari cendekiawan Vasubandhu, instruksi tentang lagu Tantrik yang mendalam dari Pandit Agung Kashmir dan sebagainya. Ketika bangun dari tidur, beliau selalu bisa mengingat semua yang telah diajarkan padanya.
Kunga Gyaltsen melanjutkan mencari ilmu dengan mendengarkan ajaran Maitreya, Dorje Kyab, Vajra Sharana dan ajaran semua garis ilmu yang ada di masa awal tersebarnya Dharma di Tibet. Dari murid Chapa Chokyi Sengge, Wangchuk Sengge, beliau juga menerima semua ajaran tentang sistem empat prinsip yang ada di India. Beliau juga mempelajari semua ilmu yang dikenal di Tibet, seperti Shijay, Dzogchen, Chod dan ajaran Kadam dari Chiwo Lhapa Jangchub-o.
Saat berumur 23, beliau bertemu dengan Pandit Kashmir Shakya Shri Bhadra dan murid-muridnya di sebuah mata air di Tsang. Mereka mengajarkan padanya lima ladang ilmu yang berasal dari sistem surgawi di India, murni tanpa tercemar pengucapan ala Tibet dan lima cabang sekunder, puisi, leksikografi, semantik, teater dan astrologi. Kesepuluh cabang ilmu kemudian bergabung dengan pengetahuan Dharma beliau. Setelah studinya selesai, beliau mulai dikenal sebagai ‘Pandit’.
Kunga Gyaltsen sepenuhnya ditahbiskan pada umur 27 di kuil Nyangme Gyengong. Pandit Kashmir Shakya Shri Bhadra bertindak sebagai kepala biara, Chiwo Lhepa dan Jangchub O sebagai ‘pemimpin aksi’ dan Bodhisattva Donmo Ripa berperan sebagai ‘instruktur dalam rahasia’.
Ketika umurnya 38, Kunga Gyaltsen menulis traktat terkenalnya tentang kongnisi berjudul ‘Rig Ter’, Perbendaharaan Logika untuk mengklarifikasi ide-ide salah yang telah muncul di India dan Tibet. Di umur 51 beliau menulis Membedakan Tiga Sumpah. Beliau menang debat dengan enam musuh sengit yang adalah Thirtika dari selatan India, dan sekaligus membawa mereka pada ajaran Buddha. Reputasi dan ajaran beliau tersebar luas ke India, Tiongkok, Mongolia dan Nepal.
Inkarnasi Kesebelas – Buton Rinchen Drub: Kolektor Kangyur dan Tangyur
Buton Rinchen Drub terlahir sebagai anak Lama Dragton Gyaltsen Pelsang. Ibunya adalah seorang praktisi tingkat tinggi Nyingma, Sonam Bumney. Beliau lahir di pertapaan Shab Me Gom Ne di Changro Nashi. Keluarganya, Drag, adalah turun temurun sebanyak 17 generasi menghasilkan banyak mahasiddha aliran Nyingmapa.
Sebagai seorang bocah, Buton Rinchen Drub telah mampu bertukar pikiran dengan Manjushri dan memperlihatkan pencapaian welas asih dan kebijaksanaan dalam tutur kata dan tindakan. Beliau menjalani ordinasi saat berumur 18 dari kepala biara Rinchen Senge Pel Sri Singharatna dan Guru Tseme Kyebu Pramana Sattva. Dirinya memfokuskan diri belajar berbagai Sutra, terutama paramita atau kesempurnaan. Buton Rinchen Drub ditahbiskan pada umur 23 di Tsang Tsongdu Gurmo Ladrang di bawah kepala biara Dragpa Shonu Pelsang dan Guru Sonam Dragpa.
Buton Rinchen Drub terkenal karena pengetahuannya yang luas tentang Tantra dan telah menerjemahkan 360 traktat opini. Ketika berumur 31, beliau pergi ke Shalu Serkang dan di sana memberi pengajaran tentang Sutra dan Tantra secara luas. Beliau mendirikan kuil Shalu Ripug berdasarkan sebuah rancangan yang didasari oleh sebuah tsa-tsa yang dibuat oleh tangan Atisha sendiri. Di kuil inilah beliau mengadakan praktik Kalachakra sebulan sekali.
Beliau menulis 26 buku besar tentang pemberdayaan Tantrik, transmisi oral, Tantra yang memperjelas dan traktat asli hasil pemikirannya, membedah Sutra dan Tantra. Di masa bulan Saga Dawa, Buton Rinchen Drub membuka tabir 45 mandala dari empat kelas Tantra dan meninggalkan instruksi mendetil tentang praktik Yoga Tantra seperti Doa Emanator Catur Muka yang Murka.
Dengan mengandalkan Yoga Tantra, Buton Rinchen Drub menggapai aspek ketidakterikatan dan realisasi spiriritual yang sebelumnya tak terbayangkan. Beliau melakukan tindakan yang memberi manfaat bagi makhluk hidup serta mengajarkan Dharma. Beliau meninggalkan tubuh fisiknya dan masuk ke inti Maitreya di Tushita pada umur 75.
Inkarnasi Keduabelas – Duldzin Drakpa Gyaltsen: Pembangun Gaden
Duldzin Drakpa Gyaltsen (1350 – 1413) menggunakan kekuatan magis doa untuk datang ke dunia dengan tujuan menyebarkan ajaran Lama Tsongkhapa. Beliau terlahir di daerah antara Tibet tengah dan barat. Disebutkan bahwa suara beliau sangat merdu bak suara Brahma.
Duldzin adalah cendekiawan yang tekun dan aktif dan telah menerima bermacam-macam pelajaran tentang Sutra dan Tantra dari berbagai guru; beliau paling terkenal sebagai salah satu murid utama Lama Tsongkhapa. Duldzin mempunyai dedikasi tinggi pada praktik meditasi dengan fokus pada dewata yoga baik yang kentara maupun subtil yang terdapat pada empat kelas Tantra. Beliau mengalami manifestasi para dewata dalam mandala sekaligus bagian yang terpenting dari praktik tahap pengadaan dan penyelesaian.
Duldzin Drakpa Gyaltsen menyadari bahwa bersandar pada sang Guru adalah sumber semua berkat dan tercapainya realisasi spiritual. Beliau selalu hormat pada Gurunya dan selalu rajin mengikuti instruksi yang diberikan. Sesuai dengan permintaan Lama Tsongkhapa, beliau membangun biara Gaden sesuai dengan Vinaya. Sebagai kepala bagian konstruksi, Duldzin bertanggungjawab untuk segala sesuatu, dari proses ekskavasi untuk pembangunan dapur sampai sentuhan-sentuhan akhir pada kuil dan representasi Buddha di altar.
Ketika Lama Tsongkhapa menanggalkan tubuh fisiknya, Duldzin menolak menggantikan posisi gurunya, meski ditawari. Beliau malah memberikan kehormatan tersebut pada Gyaltsab Je karena Duldzin sendiri ingin menghabiskan sisa hidupnya dalam praktik pribadinya. Beliau menyimpan sisa badani Lama Tsongkhapa dalam sebuah kotak yang terbuat dari kayu Cendana. Kotak tersebut ditempatkan di dalam sebuah stupa yang terbuat dari 18 ‘dre’ (sekitar 30 pon) perak tempaan.
Duldzin mendirikan sebuah biara bernama Tsunmo Tsel, ‘Taman Sang Ratu’ di situs Istana Gyamadar, Jampa Migyur Ling, di Uruto sesuai instruksi sang Guru. Komunitas biara tersebut berkembang hingga mencakup lebih dari 800 biksu. Beliau menanamkan disiplin etika tinggi pada murid-muridnya melalui nasehatnya berdasarkan Vinaya. Duldzin juga dikenal karena penjelasannya saat mengajarkan tentang Lamrim di kuil Tselgungtang .
Beliau menulis sederet karya tentang Vinaya termasuk Presep Utama Vinaya, Nasehat untuk Pemula dan Ritual Untuk Tiga Dasar. Menggunakan ajaran gurunya sebagai acuan, karya tulis Duldzin sangat banyak. Karyanya termasuk sadhana untuk mandala pencapaian, ritual konsekrasi, persembahan luar untuk Chakrasamvara, panduan persembahan kepada Akshobya Guhyasamaja, Sadhana Lima-Dewa Gandhapa, Pencapaian Roda Besar Vajrapani, Ritual Mandala untuk Luipa Chakrasamvara, Sadhana Yamantaka Merah-Hitam, Ritual Mandala Vajradhatu Ishvari, Ritual Kunrig Vairochana, traktat tentang Alam Bawah Pemurnian, dan Praktik Ritual dalam Tiga Aliran Kriya Tantra.
Dengan mengandalkan bodhicitta beliau mampu meraih realisasi khusus dan mereka yang mengadakan kontak dengan dirinya terciprat “benih putih kebajikan” yang tersebar dalam alam pikiran mereka. Duldzin telah menjaga Dharma secara luar biasa, dari menolak menempati posisi terhormat sampai bekerja tanpa mengenal lelah untuk memberi manfaat ajaran dan bagi semua makhluk hidup.
Pada usia 63, Duldzin kembali ke Taman Sang Ratu dan menanggalkan jasadnya untuk bergabung dengan Lama Tsongkapa di alam murni Tushita.
Inkarnasi Ketigabelas – Panchen Sonam Drakpa
Panchen Sonam Drakpa (1478 – 1555) terlahir di Tsetang sebagai putra dari Nangwar Lampa. Ketika beliau ditahbiskan, beliau diberi nama Sonam Drakpa. Dirinya menerima ordinasi pemula dari Sangye Zangpo dan sumpah pentahbisan penuh dari Choje Rinchen Chozang.
Beliau belajar di Sangpu, Nyimatang dan biara agung Sera. Ketika berada di Sera, Panchen Sonam Drakpa memperdalam topik logika dan bernalar selama 12 tahun dengan Yongzin Donyo Palden. Beliau mempelajari semua kitab tentang Sutra dan Tantra menurut berbagai tradisi, hingga beliau akhirnya menjadi salah satu cendekiawan utama pada masanya.
Setelah itu beliau mendalami ilmu di Drepung selama lima tahun di bawah bimbingan Tonpa Ketsun Yonten Gyatso, yang memberinya pemberdayaan dan komentar mendalam tentang keempat kelas Tantra Guhyasamaja, Heruka dan Vajra Bhairava, Kalachakra dan Kunrig.
Beliau datang ke Perguruan Tantrik Gyuto pada usia 31 untuk belajar di bawah bimbingan Choden Lodro Dorje Chang. Dari Guru ini, beliau menerima inisiasi dan ajaran tentang Tantra Bapak seperti Sri Guhyasamaja yang muncul dari Nagarjuna, dan juga instruksi mendalam tentang Tantra Ibu seperti Chakrasamvara dari Ghantapa, dan lainnya.
Ketika berumur 34, Panchen Sonam Drakpa menjadi kepala biara Perguruan Tantrik Gyuto sekaligus pengajar selama 14 tahun. Beliau menulis tentang tahap pengadaan dan penyelesaian Guhyasamaja dan mulai mengajar topik ini pada umur 36. Mencapai umur 47, beliau mempercayakan urusan biara ke Choje Kondarwa dan pergi untuk mengajar di biara Drepung Loseling. Dari sana, beliau juga naik ke tahta Gaden Shartse. Beliau menduduki kedua tahta serta mengajar di kedua biara. Di kemudian hari, beliau dikenal sebagai Gaden Tripa, pemegang tahta seluruh garis turunan aliran Gelug dan dianggap sebagai wakil Lama Tsongkhapa di bumi.
Panchen Sonam Drakpa juga akan menjadi pemegang tahta biara Kyormo Lung, Pagmo Chode, Nyiding, Lungsho Ona dan Chode Rinchen Ling. Selama kepemimpinannya, beliau tidak hanya mengajar dan memastikan ajaran-ajaran Dharma dijaga tapi juga menyediakan semua kebutuhan Sangha, baik materi maupun spiritual. Beliau juga menjadi tutor bagi Dalai Lama ketiga, Sonam Gyatso, yang menerimanya sebagai Guru yang paling berharga.
Beliau mengabdikan hidupnya untuk melatih lebih dari 20 Guru dan menggabungkan pengetahuannya dalam belajar, kontemplasi dan meditasi. Beliau sukses meraih puncak keberhasilan sebagai cendekiawan dan yogi. Daftar karya tulisnya panjang dan bervariasi, mencakup lima topik besar dalam ilmu pengetahuan, Sutra dan Tantra.
Inkarnasi Keempatbelas – Sonam Yeshe Wangpo
Sonam Yeshe Wangpo (1556 – 1593) terlahir di dekat Tölung Lampa. Nama orang tuanya Tsering Tashi dan Gonmo Tsering. Beliau memiliki kemampuan batin untuk mengingat hidup masa lampaunya sejak umur satu sampai dua. Ketika berumur 4 tahun, beliau dibawa ke Drepung dimana Sonam Gyatso yang mahatahu melakukan upacara pemotongan rambut baginya serta memberinya nama, Sonam Yeshe Wangpo.
Di umur 9 tahun, beliau menerima wejangan dari Sonam Gyatso dan Choje Dewa Geleg Pelsang. Ketika berumur 11, beliau mengadakan perjalanan ke biara Kyormo Lung. Di sana beliau mengucap dedikasi dan doa. Beliau juga bisa mengajar begitu cakapnya sehingga mereka yang hadir punya keyakinan bahwa beliau adalah inkarnasi Panchen Sonam Drakpa.
Dari sana, saat berumur 12, beliau pergi ke Chakar Dratsang untuk belajar dari gurunya Damcho Pelbar. Dirinya kemudian mengambil ordinasi penuh di hadapan 10 kepala biara, guru dan biksu, termasuk Gyalwa Sonam Gyatso. Beliau kemudian berangkat bersama Gyalwa Sonam Gyatso ke Mongolia sebagai bagian dari rombongan. Setelah itu mereka meninggalkan Mongolia dan mengunjungi berbagai biara.
Ketika berumur 33, Sonam Yeshe Wangpo mempunyai jasa besar pada Sangha di Gaden, Sera, Drepung, Chakar dan biara lainnya dengan menyediakan suplai dan bahan baku lainnya yang dibutuhkan. Beliau juga membagikan persembahan di Olka dan Gyal. Sempat ditawari untuk menjadi lama utama di Chamdo, tapi beliau tutup usia ketika berumur 37 di Olka. Sisa jasadi beliau dikremasi dengan hormat dan setelahnya ditemukan banyak relik.
Inkarnasi Kelimabelas – Ngawang Sonam Geleg Pelzang
Ngawang Sonam Geleg Pelzang (1594 – 1616) lahir di Olka Ribug. Sejak umur yang muda, beliau sudah bisa membaca mantra panjang umur dharani dan menyebut secara jelas tentang kehidupan masa lampaunya. Ponsa, Choje Ngawang dan Chokyong Lozang datang dari Olka Tagtse dan membawanya ke tempat tinggalnya di kehidupan lampau. Pada umur tiga tahun, beliau sudah bisa membacakan Guru Yoga dari tahtanya saat berlangsung Festival Doa Lhasa. Orang-orang yang mendengar menjadi takjub dan dipenuhi iman. Beliau mengambil sumpah pemula dari kakaknya Jama Kangsar, Paljor Sonam Lhundrub dan kemudian diberi nama Ngawang Sonam Geleg Pelzang.
Beliau ditahbiskan penuh oleh Panchen Lama yang keempat, Lobsang Chokyi Gyaltsen, di Drepung ketika berumur 20 tahun. Di musim panas pada tahun yang sama, beliau tiba di biara Tashi Lhunpo untuk belajar tradisi kitab suci, dan di sana kebijaksanaannya tumbuh pesat.
Beliau juga berkunjung ke Tibet tengah sebagai musafir ke tempat-tempat suci di Tsang, dimulai dengan Sakya. Tempat suci yang dikunjungi termasuk Marlam Gongkar Dorje Den, Jampa Ling dan Tsethang, setelahnya beliau berangkat menuju Olka dan Gyal. Dari Gyal beliau pergi ke Kyisho, dalam satu rombongan bersama Yonten Gyatso sebagai Gurunya, yang kemudian memberinya ajaran mendalam tentang Sutra dan Tantra.
Ketika dirinya berumur 21, Panchen Lobsang Chokyi Gyaltsen bertindak sebagai kepala biara dan Ngawang Sonam Geleg Pelzang sebagai pemimpin aksi, mentahbiskan Yonten Gyatso dengan sumpah sepenuhnya di Drepung. Beliau terus-menerus memberikan ceramah yang penuh arti dan memimpin pembacaan mantra di Festival Doa Lhasa.
Ketika Ngawang Sonam Geleg Pelzang berumur 22, beliau terkena penyakit cacar dan meninggal. Banyak relik dan bentuk dewa yang muncul dari kremasi beliau, yang kemudian dipakai dalam pembangunan patung relik Buddha Amitayus.
Inkarnasi Keenambelas – Tulku Drakpa Gyaltsen
Reinkarnasi tertinggi Ngawang Sonam Geleg Pelzang, Tulku Drakpa Gyaltsen, lahir di Tolung Geka dengan ayah bernama Namse Norbu dan ibu bernama Agyel. Kelahirannya disertai berbagai pertanda yang diluar nalar. Panchen Lama yang keempat, Lobsang Chokyi Gyaltsen, mengenali Tulku Drakpa Gyaltsen sebagai inkarnasi Ngawang Sonam Geleg Pelzang ketika beliau berumur enam tahun. Panchen Lobsang Chokyi Gyaltsen kemudian mentahtakan dirinya pada posisi sebelumnya.
Di umur tujuh, Tulku Drakpa Gyaltsen mengambil sumpah pemula. Beliau menerima pemberdayaan Vajra Bhairava, inisiasi hidup panjang dan jenang (ijin mempraktikkan) berbagai Dharmapala seperti Mahakala dan Dharmaraja, serta naskah Atisha tentang jalur menuju pencerahan dari Panchen Lobsang Chokyi Gyaltsen.
Beliau menerima pentahbisan penuh sebagai biksu dari garis Vinaya Me, dengan empat aturan dasar dan identik dengan tujuh pantangan tradisi Pratimoksha dari Panchen Lobsang Chokyi Gyaltsen yang agung. Guru yang sama juga memberinya transmisi tentang Sutra dan Tantra, disertai komentar tentang praktik Bodhisattva, Gyalse Kabum, ajaran penting seperti Tahapan Besar Titian dan Tahapan Besar Titian Tantra yang menggabungkan instruksi dari Yang Terhormat Tsongkhapa dan Kedrub Rinpoche, serta berbagai macam pemberdayaan dan jenang. Ketika Tulku Drakpa Gyaltsen berumur 38, beliau menerima transmisi tentang karya-karya Gedun Gyatso dari Dalai Lama Kelima yang Agung.
Makhluk suci ini telah mempelajari ajaran-ajaran suci sejak umur yang muda. Beliau mengerti dan menguak arti setiap kata dalam kitab-kitab suci. Beliau bertekad untuk mempraktikkan dan memperoleh realisasi dengan menyendiri di tempat seperti Olga Cholung, Gya Sog, Lha Ding, Rinchen Gang, Gyal Lha Tog dan Riwo Gepel. Beliau menjalankan pemurnian dan penumpukan pahala dalam koneksinya dengan guru yoga, dan menyelesaikan tapa menyendiri bersama berbagai dewa yidam dengan konsentrasi penuh. Hal ini menghasilkan berbagai realisasi yang digambarkan di Sutra dan Tantra.
Tulku Drakpa Gyaltsen mencapai tahapan mahasiddha tertinggi. Meski sudah dari kecil didatangi penglihatan tentang guru guru besar dan dewata tertinggi, beliau jarang membicarakannya untuk mempertahankan kerendahan hati sesuai ajaran aliran Kadam yang diajarkan Lama Atisha.
Bagaimana Tulku Drakpa Gyaltsen menjadi Dorje Shugden Sang Pelindung Dharma
Pada masa hidup Duldzin Drakpa Gyaltsen, Nechung, roh duniawi yang telah ditaklukkan Guru Rinpoche, menjelma menjadi seekor merpati putih dan terbang kesana kemari dalam aula pengajaran di mana Lama Tsongkhapa sedang berceramah. Mengenali penyamaran Nechung, Duldzin Drakpa Gyaltsen tinggal setelah acara selesai untuk menanyakan apa yang dimaui roh tersebut.
Nechung kemudian menjelma menjadi seorang bocah laki berpakaian putih dan memberitahu Duldzin Drakpa Gyaltsen bahwa ajaran berharga Lama Tsongkhapa tentang Pandangan Tengah Nagarjuna memerlukan perlindungan khusus. Nechung meminta Duldzin menjadi Pelindung Utama bagi ajaran itu. Duldzin setuju dan Nechung berjanji akan kembali lagi jika waktunya telah tepat.
Setelah beberapa inkarnasi, Duldzin kembali sebagai Tulku Drakpa Gyaltsen. Dalam sebuah pertemuan dengan Nechung, yang berbicara melalui seorang penubuat, Nechung mengingatkan Tulku Drakpa Gyaltsen akan janjinya melindungi ajaran Lama Tsongkhapa.
Tidak memiliki ingatan akan waktu lampau tersebut, Tulku Drakpa Gyaltsen mengaku tidak ingat akan janjinya. Hal ini berlangsung sampai Nechung memberinya beras suci untuk dimakan, di mana kemudian beliau ingat dan menyatakan akan memenuhi janjinya.
Untuk menjadi Pelindung Dharma, beliau harus bangkit dalam bentuk murka. Masalahnya kemurkaan bukanlah sifat yang dimiliki dirinya. Beliau ramah, penuh kasih dan sabar. Sadar akan hal ini, Nechung memberitahu Tulku Drakpa Gyaltsen bahwa dia akan membuat situasi khusus sehingga kemurkaan dapat muncul dalam dirinya. Hanya dengan cara itu Tulku Drakpa Gyaltsen dapat bangkit sebagai Pelindung Dharma.
Tulku Drakpa Gyaltsen hidup di masa pemerintahan Dalai Lama Kelima. Untuk menghindari konflik dan menyatukan negara, Dalai Lama duduk di atas tahta dan diberi gelar ‘Raja-Religi dan Pemegang Iman Budhis”. Kedudukannya memberi dirinya kekuasaan politik dan keagamaan tertinggi di Tibet.
Tulku Drakpa Gyaltsen kemudian dianggap sebagai ancaman oleh para pendukung Dalai Lama karena beberapa alasan:
- Di umur beliapun beliau pernah dinominasikan sebagai reinkarnasi Dalai Lama Keempat.
- Kemudian beliau diakui secara resmi sebagai inkarnasi Panchen Sonam Drakpa, yang adalah guru Dalai Lama Ketiga.
- Status beliau sama dengan Dalai Lama Kelima karena mereka berdua murid Panchen Lama Keempat, Lobsang Chokyi Gyaltsen.
- Pengetahuan beliau tentang Dharma dan kemurnian praktik spiritualnya sering dianggap satu tingkat dengan Dalai Lama.
- Beliau lebih popular dan mempunyai murid lebih banyak, menerima persembahan lebih banyak daripada Dalai Lama Kelima.
Oleh sebab itu, meningkatnya popularitas beliau dianggap sebagai ancaman dan hal itu menaikkan tensi dan kecemburuan di antara pendukung Dalai Lama. Akhirnya para menteri Dalai Lama menjadi sangat khawatir tentang pengaruh Tulku Drakpa Gyaltsen yang semakin kuat. Untuk mengamankan posisi Dalai Lama, para menteri bersekongkol untuk membunuh Tulku Drakpa Gyaltsen tanpa sepengetahuan Dalai Lama.
Sonam Rabten, tangan kanan Dalai Lama dan anak didik Dalai Lama, Norbu, sudah beberapa kali mencoba membunuh Tulku Drakpa Gyaltsen. Mereka gagal karena Tulku Drakpa Gyaltsen tidak memiliki karma untuk dibunuh. Karena pencapaian Dharmanya, beliau mampu mengeluarkan racun dari dalam tubuhnya dan ketika penyerangnya berusaha menikam, sebuah mata muncul di tempat dirinya ditikam dan memelototi penyerangnya.
Mengerti apa yang berusaha dilaksanakan oleh Nechung, serta teringat janjinya sendiri menjadi Pelindung Dharma, Tulku Drakpa Gyaltsen akhirnya membuka rahasia pada penyerangnya bahwa dirinya hanya bisa dibunuh dengan dijerat lehernya menggunakan secarik khata. Musuh-musuh beliau akhirnya menggunakan informasi ini untuk membunuhnya.
Setelah kematiannya, dokumen resmi tentang inkarnasi lampau Tulku Drakpa Gyaltsen diotak atik. Nama Buton Rinchen Drub dan Panchen Sonam Drakpa dihapus dari doa tentang garis turunan inkarnasi Tulku Drakpa Gyaltsen dengan tujuan untuk mengerdilkan nama besar beliau.
Sonam Rabten dan Norbu juga membunuh anggota keluarga Tulku Drakpa Gyaltsen dan merampas tanah dan aset mereka. Mereka juga mengeluarkan larangan untuk pencarian inkarnasi beliau setelah mereka membongkar tempat tinggal beliau di Drepung. Larangan untuk mengakui inkarnasi beliau berlangsung sampai saat ini. Perbuatan-perbuatan mengerikan ini tercatat dalam otobiografi Dalai Lama Kelima.
Di saat kematiannya, ketika lehernya dijerat, sedikit energi kuat mirip dengan murka muncul dalam diri Tulku Drakpa Gyaltsen. Hal ini kemudian membuat dirinya mampu bangkit sebagai pelindung Dharma yang murka, Dorje Shugden.
Ribuan orang menghadiri upacara kremasi Tulku Drakpa Gyaltsen karena beliau adalah seorang lama agung. Tetapi tumpukan kayu di bawah jasad tidak bisa disulut api. Dalai Lama Kelima mengetahui tentang perbuatan bawahannya yang telah membunuh Tulku Drakpa Gyaltsen ketika hal ini sedang berlangsung. Dengan duka yang mendalam, beliau menulis sebuah permintaan maaf, menyatakan penyesalan yang besar atas apa yang telah terjadi dan sekaligus memuji berbagai hal tentang Tulku Drakpa Gyaltsen. Surat tersebut dikirim ke tempat upacara dan dibacakan keras-keras oleh salah satu asisten Tulku Drakpa Gyaltsen. Setelah pembacaan permintaan maaf tersebut, api menyala.
Seorang asisten Tulku Drakpa Gyaltsen terguncang ketika mengetahui tragedi yang menimpa gurunya dan karena terbawa emosi dia mengibaskan zen (jubah) nya pada tumpukan kayu kremasi sambil berteriak, “Kok bisa anda biarkan mereka lakukan itu pada anda dan tidak menghentikannya? Lama agung macam apa anda?” Seketika, segumpal asap muncul dari api yang membara yang kemudian menutupi kota Lhasa dalam bentuk sebuah tangan hitam raksasa. Penduduk kota Lhasa semuanya terkejut dan ketakutan, dan serentetan bencana menyusul tak lama kemudian. Hewan ternak dan tanaman di ladang mati sementara terjadi gempa bumi dan cuaca sangat tidak bersahabat. Bahkan Dalai Lama Kelima tidak bisa makan atau minum, menaruh cangkir pun tehnya tumpah sendiri.
Orang-orang takut bahwa Tulku Drakpa Gyaltsen telah menjelma menjadi roh yang murka. Mereka tidak sadar bahwa semua gonjang-ganjing terjadi akibat karma buruk kumulatif yang dihasilkan oleh mereka yang merencanakan dan melakukan pembunuhan seorang lama agung. Meski demikian, tetap saja kebanyakan orang percaya bahwa semua bencana terjadi karena roh Tulku Drakpa Gyaltsen murka dan ingin membalas dendam akan ketidakadilan yang menimpa dirinya. Dalai Lama juga mengalami berbagai gangguan. Ritual-ritual pengusiran roh jahat diadakan secara besar-besaran tetapi gagal menyingkirkan Dorje Shugden. Kegagalan ritual yang diadakan untuk menghancurkan Dorje Shugden terjadi karena beliau bukanlah sekedar roh. Saat meninggalkan jasad, Tulku Drakpa Gyaltsen menjadi Pelindung Dharma Dorje Shugden, yang tak terpisahkan dari Manjushri.
Setelah meneliti kegagalan pengusiran roh, Dalai Lama Kelima berkesimpulan yang sama. Beliau menyadari bahwa Tulku Drakpa Gyaltsen tidak terlahir kembali sebagai roh pendendam tapi telah bangkit sebagai pelindung Dharma. Beliau langsung menyesali semua ritual dan upaya menghancurkan apa yang beliau sangka sebagai roh jahat. Dalai Lama Kelima kemudian mengakui Dorje Shugden sebagai pelindung Dharma yang tercerahkan, sosok darimana siapapun bisa mendapatkan perlindungan.
Dalai Lama Kelima menerbitkan sebuah proklamasi resmi sekaligus doa (tersedia di sini dalam bahasa Tibet), yang menyatakan bahwa Dorje Shugden tak terbantahkan adalah pelindung Dharma dan emanasi langsung dari Tulku Drakpa Gyaltsen. Beliau juga memerintahkan pembangunan Trode Khangsar sebagai tempat pemujaan bagi Dorje Shugden, sebuah tempat yang masih ada di Tibet sampai saat ini.
Kita bisa bertanya, bagaimana Dalai Lama sebagai emanasi Chenrezig, Buddha Welas Asih, tidak mengenali sifat Dorje Shugden ketika beliau pertama kali bangkit? Sekarang dipercaya bahwa Dalai Lama memerintahkan pengadaan ritual untuk menghancurkan Dorje Shugden hanya untuk menunjukkan dan membuktikan pada semua orang bahwa Dorje Shugden tidak dapat dihancurkan dan sifatnya yang tercerahkan.
Doa Dalai Lama Kelima pada Dorje Shugden
HUM
Meski engkau tak bergeming dalam alam awal dengan semua spontanitasnya,
Penuh kuasa bergejolak, kilatpun kalah cepat,
Penuh dengan nyali pahlawan untuk memilah baik dan jahat,
Ku undang dirimu dengan iman, datanglah kemari!
Jubah biksu, mahkota terhias topi kulit badak,
Tongkat ukir di genggaman tangan kanan, kiri mencengkram jantung manusia,
Naik berbagai wahana seperti naga dan garuda,
Kaulah penakluk mamo yang menghantui alam kematian, terpujilah dirimu!Zat-zat Samaya, persembahan dan torma, luar, dalam dan terselubung,
Persembahan kesukaan dan berbagai benda telah diatur.
Meski, sebelum ini, kemauanku sedikit tolol,
Jangan hentikan penampakanmu, Kunyatakan dan mengaku!Saat ini, memuji dengan hormat, tubuh, tutur dan pikiran,
Untuk kami, guru, murid, para penolong dan rombongan,
Berikan yang baik dan cegahlah yang jahat!
Berikan kemakmuran bak purnama dalam hal batin dan badan!Tak lupa, cepat dalam mengabulkan,
Seperti doa kami, berikan yang tertinggi dengan mudah!
Dan seperti permata yang memberi apapun yang dimaui,
Selalu lindungi kami dengan Tri Ratna!
Garis Turunan Dorje Shugden
Dalam Budhisme terdapat penekanan khusus pada keberadaan garis turunan tanpa putus yang menandakan transmisi pengetahuan dan pengalaman dari guru ke murid. Hanya menguasai secara intelek pengetahuan tentang jalan spiritual tidaklah cukup; sosok guru yang mampu menghidupkan ajaran Dharma melalui pengalaman hidup mereka sangat diperlukan. Menarik benang dalam garis turunan antara guru dan murid adalah sebuah aspek penting dalam ajaran Budhis. Hal ini terutama penting dalam aliran Gelug karena hal ini membuktikan keotentikan ajaran dan membuktikan bahwa sebuah praktik mempunyai dasar dan hasil. Jika ajaran tidak mempunyai garis silsilah, hal itu berarti bahwa praktik dan ajaran tersebut tidak memiliki dasar, sehingga bisa jadi hanya karangan tidak jelas semata. Ketika praktisi menerima ajaran dan praktik menurut tradisi silsilah, guru trah akan memberikan berkat pada para praktisi.
Di biara dan pusat pemujaan Dorje Shugden, guru trah seringkali digambarkan dalam bentuk thangka atau patung untuk mewakili sejarah praktik Dorje Shugden ditransmisikan melalui berbagai guru, dan akhirnya pada praktisi. Sebagai contoh, dalam organisasi Budhis Kechara, silsilah spiritual Dorje Shugden dimulai dengan Tagphu Dorje Chang sebelum diturunkan kepada Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche, dan setelah itu kepada Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche, selanjutnya kepada Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche dan akhirnya kepada Yang Mulia Tsem Rinpoche ke-25.
Tagphu Dorje Chang (1876-1935)
Tagphu Ke-4, Pemavajra Jampel Tenpai Ngodrub atau lebih dikenal dengan nama Tagphu Dorjechang atau Tagphu Pemavajra lahir di tahun 1876 di Naksho, Kham. Garis inkarnasi Tagphu telah menghasilkan yogi mumpuni yang terkenal dengan visi murni mereka tentang dewata tercerahkan. Mereka juga diyakini punya kemampuan untuk berkunjung ke berbagai alam suci untuk menerima ajaran Dharma. Contohnya, Lobsang Chokyi Wangchuk yang termahsyur karena pengalamannya dalam Tigabelas Penglihatan Suci Tagphu yang menjelaskan tentang berbagai praktik seperti Amitayus, Avalokiteshvara, Vajrapani dan Cittamani Tara, semuanya dipraktikkan secara luas saat ini.
Di tahun 1888, pada umur 12, Jampel Tenpai Ngodrub masuk biara Drepung Loseling di Lhasa. Di Drepung beliau mempelajari Pramana, Madhyamaka, Prajnaparamita dan Abhidharma. Beliau pulang ke Naksho pada tahun 1894.
Pada umur 33, beliau kembali ke Lhasa dan singgah di Chubzang Ritro, satu dari banyak pertapaan yang terletak di atas Biara Sera. Melalui seorang penubuat, Dorje Shugden menyuruhnya berkunjung ke alam suci Maitreya, Tushita, untuk menerima ajaran. Tushita (Surga Gaden) adalah alam dimana Lama Tsongkhapa, pendiri aliran Gelug, bersemayam.
Ketika berada di Tushita, Jampel Tenpai Ngodrub diyakini telah menerima transmisi lengkap tentang Dorje Shugden dan kelima kerabatnya, termasuk inisiasi pengimanan-kehidupan dari Lama Tsongkhapa melalui Duldzin Drakpa Gyaltsen. Duldzin Drakpa Gyaltsen adalah inkarnasi lampau Dorje Shugden.
Sekembalinya, Jampel Tenpai Ngodrub meneruskan kumpulan ajaran rumit ini kepada murid utamanya, Pabongka Rinpoche, yang pada gilirannya menyebarkan ilmu tersebut dalam tradisi Gelug. Jampel Tenpai Ngodrub dikabarkan pertama kali terlibat praktik Dorje Shugden ketika singgah di U-Tsang.
Jampel Tenpai Ngodrub kembali ke Kham untuk melakukan perjalanan menyeluruh yang ketiga ke Lhasa ketika beliau berumur menjelang 40. Pada kunjungan ini beliau kembali memberi ajaran dan transmisi kepada Pabongka Rinpoche, termasuk tentang Lamrim dan Lojong, ajaran tahap akhir tentang Guhyasamaja, Enam Yoga Naropa, inisiasi dan instruksi tentang Heruka Chakrasamvara dan siklus Cittamani Tara. Beliau juga menerima ajaran dari Pabongka Rinpoche pada beberapa kesempatan, seperti tentang tahap akhir Heruka dan inisiasi yang dijabarkan dalam Seratus Sumber Permata.
Pada tahun 1923, beliau datang ke Lhasa kembali untuk menemui Pabongka Rinpoche, yang kemudian menemaninya ke Gua Takten dimana beliau mendapatkan beberapa penglihatan lagi, termasuk tentang Dromtonpa Gyelwai Jungne. Di kunjungan beliau ke U-Tsang Jampel Tenpai Ngodrub berhasil menemui Trijang Rinpoche Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso, yang kemudian memohonnya untuk memberi ajaran, inisiasi dan instruksi berdasarkan penglihatan sucinya kepada sekelompok tujuh orang.
Selain itu, Jampel Tenpai Ngodrub secara pribadi memberikan jenang rahasia Cittamani Tara, pemberdayaan akhir dari tiga dewi ini (dua lainnya adalah inisiasi torma luar dan inisiasi mandala tubuh dalam) dan Berkat Hidup Kekal Bersinar yang merupakan inisiasi sepanjang hidup kepada Trijang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso.
Trijang Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso kemudian meminta Jampel Tenpai Ngodrub untuk memperlihatkan padanya dewa mana yang harus menjadi fokus praktiknya saat itu dan menjelang ajalnya. Jampel Tenpai Ngodrub kemudian menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Dewi Tara dan beliau menjawab dengan sebuah teks delapan baris.
Pabongka Rinpoche juga mengunjungi Naksho beberapa kali untuk menemui Jampel Tenpai Ngodrub, termasuk kunjungannya di tahun 1926 dan 1935. Di kunjungan Pabongka Rinpoche yang pertama, beliau mengunjungi biara Driru Drubde yang didirikan oleh Jampel Tenpai Ngodrub pada tahun 1920. Biara ini juga dikenal sebagai Genden Lukzang Kunphel Ling. Sepanjang semua kunjungannya, Pabongka Rinpoche menerima ajaran dan inisiasi dari Jampel Tenpai Ngodrub, termasuk ajaran Gaden Nyengyu seperti Guru Puja, ceramah Lamrim, Tigabelas Penglihatan Suci Tagphu, juga inisiasi keimanan-kehidupan Dorje Shugden, yang telah diterimanya di Tushita. Pada tahun 1945, setelah kunjungan Pabongka Rinpoche yang terakhir, Jampel Tenpai Ngodrub meninggal dunia.
Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche (1878 – 1941)
Pabongka Rinpoche Pertama, Dechen Nyingpo, lahir di tahun 1878 di Yutok Shar, sebuah wilayah di luar kota lama Lhasa dekat jembatan Yutok. Ayahnya pegawai sipil negara dari Tsang bernama Chabpel Tseten Namgyel.
Ibunya, Konchok Drolma, membawanya menemui Ganden Trichen ke-81, Ngawang Norbu, ketika masih berumur dua tahun. Ganden Trichen memberinya nama Ngawang Rabten. Ketika berumur enam tahun, ibunya kembali membawanya menemui seorang lama, Sharpa Choje Lobzang Dargye. Seperti dicatat dalam Suara Merdu Sang Brahma, biografi paling lengkap Pabongka Rinpoche, Sharpa Choje langsung mengenali bocah itu sebagai makhluk tinggi. Tidak lama setelah pertemuan ini, beliau masuk Akademi Sera Mey untuk hidup di antara para biksu biasa.
Beliau mengambil sumpah sebagai pemula di depan Purchok Yongdzin Ketiga, Jampa Gyatso, dan menerima nama ordinasi Jampa Tendzin Trinley Gyatso. Dengan bantuan dari ibunya, beliau secara resmi diakui dan diberi gelar ‘tulku’ pada umur 9.
Pabongka Rinpoche memiliki garis inkarnasi panjang yang dapat ditelusuri ke belakang hingga Mahasiddha Krisnacharya. Dalam inkarnasi lain beliau adalah Tsako Ngawang Dragpa, murid Lama Tsongkhapa dan, di kehidupan lain, beliau adalah Changkya Rolpai Dorje, guru Kaisar Tiongkok Qianlong.
Saat belajar di Gyelrong Khangtsen, sebuah rumah residensi di Sera Mey, beliau juga mendalami dan mempraktikkan Tahap-Tahap Penting Pada Jalan menuju Pencerahan (lam rim chen mo) karya Lama Tsongkhapa dan naskah-naskah Lamrim (lam rim) lainnya. Beliau menyelesaikan studi Madhyamaka pada usia 14 dan dianugrahi sebuah gelar Lingse saat berumur 18. Setelah ini, beliau kelar menjalani kurikulum Tantrik di perguruan Gyuto dalam waktu tiga tahun. Pada masa ini, di saat berumur 19, beliau menjalani pentahbisan penuh sebagai biksu dalam sebuah upacara dipimpin Purchok Yongdzin Jampa Gyatso.
Sepanjang tahun-tahun awal ini, salah satu guru terpenting bagi Pabongka Rinpoche adalah Dragri Dorjechang Lobsang Thubten Namgyel, seorang guru yang terafiliasi dengan beberapa biara terkenal di sebelah utara Lhasa. Dari Dragri Dorjechang, Pabongka Rinpoche menerima ajaran tentang biografi Milarepa (1040-1123 M) serta transmisi tentang lagu-lagu Milarepa, Tengyur seluruhnya, karya Tsongkhapa dan dua murid utamanya, serta naskah-naskah bebum dan banyak lainnya. Beliau juga menerima inisiasi Mahacakra-Vajrapaṇi, berbagai ijin mendalami Rinjung Gyatsa, Zurka Gyatsa dan siklus Tantrik Nartang Gyatsa, juga berbagai ajaran, inisiasi dan transmisi oral.
Saat Pabongka Rinpoche berusia 24, Dragri Dorjechang meninggal dunia. Tak lama kemudian, Penpo Gangya Rinpoche Ngawang Jangchub Tsultrim meminta Pabongka Rinpoche untuk menganugrahinya Rinjung Gyatsa jenang dan ilmu lainnya yang diturunkan Dragri Rinpoche padanya. Karena Pabongka Rinpoche sekarang telah menjadi guru, Lingtrul Lobsang Lungtok Tenzin Trinley yang kelima mengarang ayat permohonan baginya.
Pabongka Rinpoche meneruskan mencari ilmu dengan menerima ajaran dari berbagai guru terkenal seperti mantan kepala biara Gyuto, Trinley Gyeltsen dan dari biara Gomang Kangyurwa Chenpo Lobsang Dhonden. Dari para guru terhormat tersebut, beliau menerima Lamrim, ajaran dan berbagai inisiasi dan ceramah, tentang berbagai topik seperti Guhyasamaja, Chakrasamvara dan Vajrabhairava, serta transmisi tentang karya guru-guru besar lainnya.
Pada umur 28, beliau menerima Sangwa Gyachen, penglihatan, inisiasi dan instruksi Dalai Lama Kelima dari Khyenrab Pelden Tenpai Nyima dari biara Gungru Gyatso Ling. Beliau juga menerima Tigabelas Penglihatan Suci Tagphu dari Tagphu Pemavajra Jampel Tenpai Ngodrub, yang menjadi guru terpenting bagi Pabongka Rinpoche setelah kematian Dragri Dorjechang. Pabongka Rinpoche dan Tagphu Pemavajra Jampel Tenpai Ngodrub memiliki hubungan yang khusus karena mereka saling bertukar ilmu. Pada tahun 1906, Pabongka Rinpoche meminta ijin pada Tagphu Pemavajra Jampel Tenpai Ngodrub untuk menulis naskah inisiasi baru untuk siklus penglihatan Takpu.
Insting Pabongka Rinpoche sebagai cendekiawan tulen membuatnya siap menerima ilmu dari tradisi lain, seperti dari aliran Sakya dan juga melakukan praktik yang berasal dari aliran Nyingma, seperti Sang Sangat Rahasia Hayagriva. Hayagriva adalah dewa meditasi murka yang disembah di Sera Jey.
Menurut biografi Pabongka Rinpoche, praktik esoteris utama beliau adalah Lamrim dan praktik dewa esoteris utamanya adalah Chakrasamvara. Oleh sebab itu beliau memiliki banyak pengalaman mistis yang berhubungan dengan Chakrasamvara. Di tahun 1908, Pabongka Rinpoche pergi ke Drangsong Sinpori untuk mengadakan ziarah dan mengunjungi sebuah patung Chakrasamvara dari India yang terkenal. Setelah melakukan sebuah ritual Tantra di sana, Pabongka Rinpoche melihat Chakrasamvara turun dan merasuk ke dalam patung yang kemudian mulutnya mengeluarkan nektar yang segera diambil oleh Pabongka Rinpoche.
Pada usia 30, beliau menerima ajaran untuk pertama kali dari guru utamanya, Dakpo Lama Lobsang Jampel Lhundrub Gyatso tentang pengalaman beliau mengenai naskah Lamrim Jalan Bahagia karya Panchen Lama keempat, Lobsang Chokyi Gyaltsen. Mulai saat itu, Pabongka Rinpoche menjadi sangat terikat dengan Jampel Lhundrub. Dari beliau, Pabongka Rinpoche menerima berbagai ceramah, transmisi, inisiasi dan pengukuhan sebagai pemegang ajaran dalam silsilahnya.
Beliau bertekad menyebarkan ilmu yang dimilikinya sehingga selalu berpergian ke berbagai tempat di Tibet: U-Tsang, Dakpo, Kongpo dan Kham. Murid-murid utamanya, kebanyakan yang ada di Lhasa adalah pegawai pemerintah dan golongan bangsawan. Mereka juga menjadi patron bagi berbagai kegiatan beliau. Beliau juga mempunyai pengaruh besar di komunitas biara Sera, Gaden dan Drepung.
Di tahun 1921, beliau memberi ceramah terkenal tentang Lamrim, yang didasarkan pada karya Panchen Lama kelima, Lobsang Yeshe’s Jalan Singkat dan karya Dalai Lama kelima Ujaran Manjushri. Beliau juga memberi instruksi tentang pelatihan pikiran melalui tujuh prinsip. Intisari ajaran beliau disadur dan diterbitkan oleh Trijang Rinpoche ketiga Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso sebagai Kebebasan di Telapak Tangan Anda. Karya ini muncul setelah meninggalnya Pabongka Rinpoche dan tetap merupakan salah satu karya yang mudah dicerna tentang Lamrim.
Pada tahun 1935, beliau mengunjungi gurunya, Tagphu Pemavajra, di biara Naksho. Hal ini bebarengan dengan perjalanan Tagphu Pemavajra ke alam suci Tushita di mana beliau menerima ilmu lengkap tentang Dorje Shugden dan berbagai manifestasinya, termasuk inisiasi keimanan-kehidupan. Menurut biografi Pabongka Rinpoche, Karya Pilihan, Pabongka Rinpoche jelas meyakini bahwa Dorje Shugden secara langsung memintanya untuk menulis naskah baru untuk praktikNya. Ilmu yang disampaikan oleh Tagphu Pemavajra memungkinkan Pabongka Rinpoche untuk menyelesaikan tulisan mengenai kangsol (sadhana panjang Dorje Shugden). Karya tersebut dinamakan Tabuhan Merdu Berjaya di Segala Penjuru dan telah menjadi doa utama yang digunakan untuk memanggil Dorje Shugden saat ini.
Koneksi beliau dengan Dorje Shugden telah dimulai sejak awal dalam hidupnya karena beliau mewarisi praktik ibundanya. Ibunya, Konchok Drolma terlahir dalam keluarga yang memuja Dorje Shugden sebagai pelindung. Karena itu, Pabongka Rinpoche sudah lama memiliki hubungan erat dengan Shugden dan telah sering bertanya pada sang pelindung melalui para penubuat bahkan sebelum tahun 1935.
Berikutnya Pabongka Rinpoche dituduh menyebabkan perpecahan agama, terutama di Kham, meski beberapa murid dekatnya menolak tuduhan bahwa Pabongka Rinpoche bertanggung jawab atas berbagai insiden sektarian. Beliau tetap merupakan penilai tangguh bagi semua tradisi di bawah Budhisme Tibet dan tidak pernah ragu untuk memberi pendapat jujur tentang mana praktik yang beliau anggap sesat. Melalui penelitian dan menjalani berbagai praktik, Pabongka Rinpoche menjadi sangat yakin bahwa pemahaman tentang Madhyamaka yang paling murni dan jelas dipegang aliran Gelug.
Murid utama Pabongka Rinpoche, Trijang Rinpoche, menerima dari beliau ajaran lengkap tentang Dorje Shugden dan melanjutkan upaya beliau dengan menghasilkan karya baru tentang sang pelindung Dharma sehingga ajaran ini makin tersebar. Biografi Pabongka Rinpoche terdiri dari 11 volume dan bisa didapatkan dengan mudah di Tibet; lima volume ditulis secara khusus tentang Dorje Shugden.
Pabongka Rinpoche meninggal di tahun 1941 pada usia 63. Trijang Rinpoche dan murid Pabongka Rinpoche lainnya kemudian menemukan reinkarnasi Pabongka Rinpoche selanjutnya, Ngawang Lobsang Trinley Tenzin. Tapi reinkarnasi ini meninggal di usia 20an. Inkarnasi masa kini beliau telah diidentifikasi sebagai Lobsang Thubten Trinley Kunkhyab. Beliau lahir di tahun 1969 dan ditemukan di tahun 1970an.
Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche (1901 – 1981)
Trijang Ketiga, Lobsang Yeshe Tenzin Gyatso, lahir pada tanggal 10 Maret 1901, di Gungtang. Ibunya adalah Tsering Dolma dan ayahnya bernama Tsering Dondrub. Ayah beliau adalah keturunan paman Dalai Lama ke-7, Kelzang Gyatso.
Kehidupan awal beliau penuh kesulitan karena ayahnya memutuskan untuk masuk biara. Ibu dan kedua anaknya diusir dari rumah oleh anggota keluarga yang semestinya mengayomi mereka. Karena itu, Trijang Rinpoche tidak asing terhadap kemiskinan dan sering tidak punya makanan cukup. Beliau juga terkena cacar parah di masa pendudukan oleh pasukan Tiongkok pada kota Lhasa di tahun 1910. Meski dirinya selamat, kakak laki-lakinya meninggal akibat cacar.
Ketika masih kecil, beliau dikenali sebagai reinkarnasi Trijang Rinpoche ke-2, Lobsang Tsultrim Pelden, yang menjabat sebagai Gaden Tripa ke-85 dari tahun 1896 sampai 1899. Setelah dikenali, beliau dipindah ke Lhasa di tahun 1904, awalnya ke Trijang Ladrang dan kemudian ke pertapaan Chubzang Ritro. Pertapaan ini didirikan oleh Trijang Rinpoche pertama Trichen Jangchub Chopel, yang menjabat sebagai Gaden Tripa ke-69.
Di tahun-tahun awalnya, Trijang Rinpoche sudah bertemu dengan guru utamanya Pabongka Rinpoche. Dari Pabongka Rinpoche, beliau menerima pemberdayaan jenang terkait Manjushri, termasuk Dharmaraja dan petunjuk untuk bagaimana menggambar mandala hati untuk ritual api. Beliau juga menerima inisiasi Kalachakra dari yogi terkenal Serkong Dorjechang, Ngawang Tsultrim Dhonden.
Trijang Rinpoche menjalani ordinasi pemula atas bimbingan Reting Rinpoche ke-4, Ngawang Lobsang Yeshe Tenpai Gyaltsen dan menghabiskan masa mudanya belajar. Beliau akhirnya bergabung dengan Dokhang Khangtsen di biara Gaden Shartse dan diajar oleh Geshe Lobsang Tsultrim.
Pada tahun 1919 beliau menerima gelar Geshe Lharampa sekaligus ditahbiskan penuh sebagai biksu oleh Dalai Lama ke-13, Thubten Gyatso. Beliau menyelesaikan studi tentang lima topik yaitu Pramana, Madhyamaka, Prajnaparamita, Vinaya dan Abhidharma. Beliau kemudian diberikan jenang untuk belajar siklus Tantra Manjushri oleh Pabongka Rinpoche, serta Tigabelas Dharma Emas aliran Sakyapa. Di samping itu, beliau juga menerima empat inisiasi dalam sindhura mandala Vajrayogini Naro Kechari, sekaligus ceramah tentang tahap-tahap pengadaan dan penyelesaian, juga Tigabelas Penglihatan Suci Tagphu, yang mencakup Cittamani Tara. Beliau juga menerima ajaran-ajaran lain terkait Gaden Nyengyu, seperti Gelug Mahamudra dan Guru Puja milik Panchen Lama ke-4 Lobsang Chokyi Gyeltsen.
Trijang Rinpoche adalah murid terutama Pabongka Rinpoche yang diajari semua ilmu turunan gurunya. Karena itulah dari sang guru juga Trijang Rinpoche diberi ajaran dan transmisi tentang praktik Dorje Shugden. Kyabje Trijang Rinpoche juga bertemu dengan Tagphu Pemavajra dan mendapat sebuah nubuat tentang dewa meditasi pribadi beliau dan ke mana beliau akan pergi setelah kehidupan ini.
Seusai pendidikannya, Trijang Rinpoche melakukan perjalanan ke banyak daerah di Tibet. Beliau memberi ajaran, transmisi dan pemberdayaan, termasuk Heruka, Vajrayoginī dan Guhyasamāja. Beliau juga ditunjuk sebagai guru junior bagi Dalai Lama ke-14 di samping Kyabje Ling Rinpoche yang ditunjuk sebagai guru senior. Beliau mengajari Dalai Lama tentang Lamrim, memberi inisiasi Tantrik serta mengajar soal etiket yang pantas bagi status tinggi sang Dalai Lama. Trijang Rinpoche adalah guru pertama yang memperkenalkan Dorje Shugden kepada Dalai Lama.
Ketika masih di Tibet, Kyabje Trijang Rinpoche sering diminta oleh berbagai cendekiawan dan lama inkarnasi untuk menulis tentang praktik Dorje Shugden. Beliau mulai mengumpulkan berbagai naskah kuno untuk melengkapi karya pentingnya. Tetapi beliau terpaksa berhenti menulis dan meninggalkan semuanya ketika beliau ikut melarikan diri bersama Dalai Lama ke-14 ke India.
Beliau akhirnya berhasil menyelesaikan naskahnya tentang Dorje Shugden di tahun 1967, ketika seorang pengungsi dari Tibet tiba di India membawa semua catatannya yang tertinggal. Karya beliau berjudul Musik Penghibur Samudra Para Pelindung yang sejak saat itu menjadi buku definitif tentang sejarah dan praktik Dorje Shugden. Karya Trijang Rinpoche yang paling terkenal adalah Kebebasan di Telapak Tangan Anda, naskah tentang Lamrim yang didasarkan atas catatan beliau ketika mendengarkan ajaran Pabongka Rinpoche tentang Lamrim pada tahun 1924 di Chubzang Ritro.
Setelah mengungsi, Trijang Rinpoche melakukan perjalanan secara luas untuk mengajar dan memberi pemberdayaan ke banyak negara seperti Inggris, Prancis, Jerman dan Swiss. Murid-murid Trijang Rinpoche mencakup nama-nama terkenal seperti Yang Suci Dalai Lama ke-14, Kyabje Zong Rinpoche, Zemey Rinpoche ke-4, Denma Locho Rinpoche, Gelek Rinpoche, Geshe Rabten dan Lama Yeshe. Semua praktisi dan guru tersebut memainkan peran penting dalam penyebaran Dharma secara internasional.
Trijang Rinpoche tidak pernah bicara di ranah publik tentang kontroversi Dorje Shugden. Beliau menginstruksikan muridnya untuk tetap percaya pada Dalai Lama dan Dorje Shugden, sekaligus meramalkan bahwa di masa mendatang para lama tinggi dan Dorje Shugdenakan berkonflik. Trijang Rinpoche meninggal dunia pada tanggal 9 November 1981.
Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche (1904 – 1984)
Kyabje Zong Rinpoche Lobsang Tsondru terlahir di Mangsang, Kham pada tahun 1905 dalam sebuah keluarga penganut aliran Nyingma. Beliau kemudian dikenali sebagai reinkarnasi seorang guru Gelug, Zongtrul Tenpa Chopel (1836 – 1899). Dari sejak kecil, kemampuannya untuk mempelajari dan menghafal berbagai naskah suci membuat orang di biara lokal kagum. Beliau berangkat ke U-Tsang di tahun 1916 dan masuk ke Akademi Shartse di biara Gaden. Di sana beliau mulai belajar tentang Pramana, Madhyamaka, Prajnaparamita, Vinaya dan Abhidharma. Pada saat bersamaan, Lobsang Tsondru bertemu dengan guru utamanya Kyabje Trijang Rinpoche muda untuk pertama kalinya. Dari guru utamanya beliau menerima berbagai ilmu turunan Tantrik, seperti Cittamani Tara, Vajrayogini Naro Kechari dan Heruka Chakrasamvara. Beliau ditahbiskan penuh di tahun-tahun awal ketika berada di Gaden dan kemudian masuk biara Gyuto dimana beliau mendalami Tantra tingkat tinggi.
Zong Rinpoche ditunjuk sebagai kepala biara Gaden Shartse di tahun 1937 oleh pelaksana Reting Rinpoche Thubten Jampel Yeshe Gyaltsen, dan beliau ada di posisi ini untuk 10 tahun ke depan. Setelah purna jabatan sebagai kepala biara, beliau melakukan kunjungan ke berbagai tempat di Tibet seperti gunung suci Dragpa Shelri di Tsari. Beliau juga pulang ke tanah kelahirannya di Kham untuk mengajar dan memberi inisiasi pada penduduk setempat. Sepanjang perjalanannya di tahun 1940an dan 1950an, beliau memanfaatkan pengetahuannya yang luas tentang praktik Tantra untuk menaklukkan dewa-dewa dan roh lokal, menyembuhkan penyakit dan mengontrol cuaca.
Pada saat krisis politik terjadi di Lhasa pada tahun 1959, biara Gaden diserang. Untuk membeli waktu supaya para biksu bisa melarikan diri, Zong Rinpoche melakukan puja Trakze Shugden Sang Angkara Murka untuk menahan musuh. Saksi mata menyaksikan kilatan cahaya keluar dari ruangan beliau dan menghantam kamp musuh, menyebabkan gempa bumi yang menghasilkan kekacauan. Karena itu penyerangan berhenti untuk beberapa hari, memberikan kesempatan bagi semua biksu untuk ikut mengungsi bersama Dalai Lama ke-14 ke India.
Di India, Zong Rinpoche menetap di Buxa, Assam, di sebuah bekas kamp Inggris. Pada tahun 1965, atas permintaan Dalai Lama, Zong Rinpoche menjabat sebagai direktur program Sekolah Pelatihan Guru Tibet di Mussoorie. Di tahun 1967, Dalai Lama menunjuk Zong Rinpoche sebagai kepala sekolah pertama Institut Sentral Studi Tinggi Tibet di Varanasi.
Di masa tuanya, Zong Rinpoche sering melakukan perjalanan internasional ke Amerika Utara dan Eropa untuk memberikan ajaran tentang Sutra dan Tantra, termasuk ceramah tentang Chod dari aliran Bisikan Telinga Gaden, topik di mana beliau adalah seorang ahli, serta keimanan-kehidupan Dorje Shugden.
Setelah melakukan serentetan ceramah dan pemberdayaan tentang Cittamani Tara dan Hayagriva di Mundgod pada tahun 1983, Zong Rinpoche jatuh sakit. Sayangnya, di tahun 1984, beliau meninggal, sebuah kejadian yang mengejutkan semua orang. Berbagai upacara seperti Tsog dan inisiasi diri Cittamani Tara, Vajrayogini dan Vajrabhairava dilakukan untuk menghormatinya.
Yang Mulia Tsem Rinpoche ke-25 (1965 – 2019)
Yang Mulia Tsem Rinpoche ke-25 terlahir pada tahun 1965 di Taiwan. Ayahnya serorang Tibet dan ibunya seorang putri Mongolia. Beliau melewati Sebagian besar masa mudanya di Amerika Serikat diasuh oleh satu keluarga Mongolia. Meskipun dibesarkan jauh dari komunitas biara, Tsem Rinpoche menunjukkan bakat kuat untuk praktik Budhis, mempunyai insting alami sejak kecil bagi devosi ke gurunya dan kerinduan untuk Dharma. Tsem Rinpoche bertemu guru utamanya Kyabje Zong Rinpoche di Los Angeles pada tahun 1983, yang kemudian memberinya banyak ajaran dan praktik, termasuk Yamantaka, Vajrayogini, Cittamani Tara, Heruka Chakrasamvara dan keimanan-kehidupan Dorje Shugden.
Setelah ditahbiskan oleh Yang Suci Dalai Lama ke-14, Tsem Rinpoche masuk biara Gaden Shartse. Setelah itu, Tsem Rinpoche diakui dan dinobatkan sebagai inkarnasi kepala biara ke-72 Gaden Shartse, Gendun Nyendrak.
Pada tahun 1992, Tsem Rinpoche diminta untuk melakukan perjalanan ke Malaysia, awalnya untuk mengumpulkan dana untuk biara dan kemudian untuk menyebarkan Buddha dharma. Delapan tahun kemudian, beliau mendirikan organisasi Budhis Kechara, yang saat ini telah berkembang pesat, membawahi berbagai inisiatif untuk mereka yang mencari jalan spiritual di jaman modern. Pada tahun 2010, Tsem Rinpoche meluncurkan sebuah blog tentang Dharma (tsemrinpoche.com) yang menjadi kendaraan beliau untuk membawa ilmu turunan Lama Tsongkhapa dan Dorje Shugden kepada jutaan orang di seluruh dunia.
Kechara juga menjadi rumah untuk patung Dorje Shugden terbesar di dunia. Patung ini terletak di Kechara Forest Retreat, Bentong (Pahang) yang selesai dibangun pada tahun 2012, di bawah bimbingan dan berkat Dorje Shugden.
Para Pengiring Dorje Shugden
Tempat bersemayamnya Dorje Shugden di surga (mandala) adalah sebuah istana tiga tingkat yang tercipta dari pikirannya yang tercerahkan. Ketika praktisi melakukan praktik Dorje Shugden, Dorje Shugden dan rombongan pengiring yang terdiri dari 32 dewa turun dari surga mereka. Ke-32 dewa tersebut sama jumlahnya dengan 32 dewa pada mandala Tantra Buddha Guhyasamaja.
Praktisi dapat mendapat pengetahuan dan manfaat lebih ketika mereka mengerti setiap elemen dari mandala suci Dorje Shugden untuk supaya bisa menvisualisasikannya di saat melakukan meditasi dan praktik.
Lima Kerabat Dorje Shugden
Dorje Shugden bersemayam di lantai dasar istana dalam lima rupa yang berbeda. Bentuk utama beliau adalah Duldzin yang mengendarai seekor singa salju. Di samping bentuk utama ini ada emanasi beliau di empat penjuru angin – Shize, Gyenze, Wangze dan Trakze. Kelimanya secara kolektif dikenal sebagai “Kelima Kerabat Dorje Shugden” (Shugden Rig Nga).
Setiap bentuk Dorje Shugden juga berkoresponden dengan Lima Dhyani Buddha – Amitabha, Akshobhya, Vairochana, Amoghasiddhi dan Ratnasambhava – dan setiap bentuknya mewakili sebuah bagian yang telah disucikan dari delusi tertentu. Karena itu tujuan inti setiap bentuk Dorje Shugden adalah untuk menyingkirkan rintangan yang spesifik terhadap setiap bagian hidup.
Duldzin Dorje Shugden
Dewa utama di sini adalah Duldzin dan beliau dinamakan sesuai kehidupan lampauNya, Duldzin Drakpa Gyaltsen, Pemegang Vinaya, salah satu dari delapan murid utama Lama Tsongkhapa. Di atas kepalaNya, beliau mengenakan topi kubah emas seperti yang dipakai seorang lama yang berkelana dan untuk baju beliau memakai tiga set jubah seorang biksu yang telah ditahbiskan.
Di tanganNya, beliau menggenggam sebilah pedang bijak berlekuk dan jantung si musuh, melambangkan dicabutnya kebebalan. Beliau juga membawa sebuah kait penjinak di lipatan lengan kiri dan mengendarai seekor singa salju yang melambangkan keberanian yang luar biasa.
Duldzin adalah manifestasi bagian dari kesadaran atau Buddha Akshobhya dan karena itu bersifat memerangi kemarahan dan kebencian. Beliau menganugrahkan kebijaksanaan dan membebaskan semua rintangan dalam dan luar.
Shize Vairochana Shugden
Shize, bentuk pembawa kedamaian dari Dorje Shugden, tampil sebagai sosok pangeran rupawan dengan senyum yang setengah murka. Di tangan kananNya beliau memegang sebuah anak panah dimana ditalikan sebuah cermin dan di tangan kiri sebuah jerat. Kulitnya berwarna putih dan beliau memakai jubah sutra berkibar, sorban berwarna emas dan mengendarai Raja Gajah.
Shize adalah manisfestasi Buddha Vairochana dan karena itu beliau melawan keidaktahuan. Beliau menyucikan karma buruk kita dan menyembuhkan praktisi dengan menetralisir penyakit yang serius, memberi bakat paranormal dan meredakan bencana alam.
Gyenze Ratna Shugden
Gyenze, bentuk Dorje Shugden yang membawa kemakmuran, memegang sebuah vas panjang umur berisi tangkai dari pohon pengabul permintaan yang menghadap ke langit di tangan kananNya dan sebuah mangkuk penuh permata di kirinya. Beliau kadangkala digambarkan dengan sebuah kait penjinak dan bendera kemenangan di lipatan lengan kirinya. Beliau berkulit kuning, memakai jubah kuning mewah dan mengendarai seekor kuda palomino berwarna keemasan.
Gyenze adalah manifestasi bagian dari perasaan atau Buddha Ratnasambhava dan karena itu beliau melawan kesombongan dan kekikiran. Beliau menambah sumber kehidupan, kebijaksanaan, kekayaan dalam dan luar dan semua yang menunjukkan bakat.
Wangze Pema Shugden
Wangze, bentuk pengendali dari Dorje Shugden, berwarna merah darah dan memiliki ekspresi wajah setengah marah dan menggoda. Beliau memegang sebuah kait penjinak Vajra di tangan kanannya dan sebuah jerat bertahtahkan permata di tangan kiri. Beliau memakai jubah sutra merah dihiasi dengan bunga-bunga dan mengendarai naga biru kehijauan.
Wangze adalah manifestasi dari bagian kecermatan Buddha Amitabha dan karena itu beliau memerangi keinginan berlebihan dan nafsu. Beliau menciptakan ketenangan pikiran dan membantu menjinakkan orang-orang yang sulit dihadapi dan membalikkan situasi negatif menjadi positif.
Trakze Karma Shugden
Trakze, bentuk paling murka dari Dorje Shugden, berwarna merah tua dan mempunyai penampilan yang sangat murka. Beliau menggenggam sebilah pedang besar di tangan kanan dan menenteng jantung berlumuran darah di tangan kiri. Beliau mengenakan baju berwarna hitam dan mengendarai seekor garuda yang sangar.
Trakze adalah manifestasi Buddha Amoghasiddhi dan karena itu beliau memerangi rasa iri hati dan ketakutan. Praktik beliau sangat cocok untuk mengatasi masalah pelik dan ancaman pada nyawa kita, tempat hidup yang tidak stabil dan penuh kekerasan dan rintagan besar bagi usaha duniawi dan spiritual kita.
Pengiring Dorje Shugden
Rombongan pengiring Dorje Shugden – Sembilan Bunda, Delapan Biksu Pembimbing dan Sepuluh Asisten Muda dan Murka – juga hasil manifestasi dari pikiranNya. Menjelma dalam berbagai penampilan dan bentuk, mereka ada di sekitar Lima Kerabat Dorje Shugden dan mengerjakan fungsi spesifik terkait jalan spiritual sang praktisi secara umum dan praktik Dorje Shugden secara khusus.
Delapan Biksu Pembimbing
Delapan biksu yang telah ditahbiskan mengenakan jubah kuning saffron dan memakai topi dari berbagai biara termasuk topi kubah emas, topi pandit, topi kuning, topi meditasi terbelah dan lainnya. Masing-masing biksu membawa berbagai benda menurut berbagai tradisi, seperti tongkat biksu, mangkok meminta, naskah Dharma, vajra dan genta, tongkat Tantra khatvaga dan lainnya.
Kedelapan biksu pembimbing bertugas membantu praktisi dengan melenyapkan halangan dan menciptakan kondisi yang mendukung pemenuhan sumpah dan pertumbuhan Dharma. Secara khusus, mereka membantu murid yang tulus dalam praktik Vinaya dan memenuhi komitmen spritual.
Sembilan Bunda
Sembilan gadis surgawi, juga dikenal sebagai dakini, mengenakan baju sutra surgawi. Mereka memakai delapan macam perhiasan dan membawa lima obyek keinginan.
Para Sembilan Bunda memberkati kita untuk mengembangkan kendali akan empat elemen dalam tubuh kita – bumi, udara, air dan api, serta lima indra – rasa, sentuhan, penglihatan, suara dan bau. Secara khusus, mereka membantu murid yang tulus dalam praktik Tantra untuk mencapai prestasi melalui meditasi tingkat tinggi.
Sepuluh Asisten Muda dan Murka
Sepuluh Asisten Muda dan Murka memiliki penampilan ahli perang dari Tiongkok, Mongolia, Nepal, Tibet, Kashmir dan Bengal. Mereka mempunyai berbagai macam ekspresi wajah, dari tersenyum hingga marah dan membawa berbagai macam senjata tajam di tangan.
Sepuluh Asisten Muda dan Murka membantu praktisi menghindar dari rintangan dalam dan luar. Secara khusus, mereka membantu murid yang tulus untuk menepati komitment mereka pada pembimbing spiritual.
Para Menteri Besar Dorje Shugden
Dua menteri besar Dorje Shugden berdiri menjaga gerbang mandala, Kache Marpo dan Namkar Barzin. Keduanya merupakan pelindung yang terikat sumpah dan telah mempercayakan hidup mereka pada raja mereka, Dorje Shugden. Tugas mereka mirip dengan tugas menteri pada umumnya yaitu membantu raja dalam menjalankan roda pemerintahan. Keduanya bukan emanasi Dorje Shugden tapi merupakan pelindung Dharma.
Kache Marpo
Pelindung Dharma Kache Marpo merupakan emanasi dari Buddha Hayagriva. Sejak bangkitnya Dorje Shugden, makhluk tercerahkan ini secara sukarela bergabung dengan Dorje Shugden untuk melayani sebagai menteri utama. Meski tercerahkan, Kache Marpo tampil sebagai roh jenis tsen, yang mirip dengan pelindung Dharma Setrap.
Sama seperti Setrap, beliau memiliki tiga mata yang melambangkan kemampuanNya untuk melihat masa lampau, kini dan akan datang pada saat yang bersamaan. Ekspresi mukanya yang murka menandakan kasih dan kepeduliannya akan penderitaan makhluk-makhluk sadar. Beliau memakai baju pelindung dari kulit dengan lima bendera kemenangan berkibar di atas helm kulitNya. Beliau memegang sebuah jerat yang terikat pada “sang musuh” – simbol ketidaktahuan – dan pada saat yang sama menusuk musuh menggunakan tombak yang dahsyat.
Bukti yang ditemukan dalam kitab suci menghubungkan Kache Marpo dengan sosok Tsiu Marpo, pelindung Dharma lain yang merupakan kepala dari Tujuh Bersaudara Bersinar. Kache Marpo dianggap pernah menjadi bagian dari tujuh bersaudara ini. Kisah tentang asal mula Tujuh Bersaudara Bersinar menceritakan bahwa Tsiu Marpo awalnya seorang manusia dengan nama Lise Chorpa dari negeri Li. Dia adalah orang baik budi yang tinggal di dalam hutan tapi kemudian dituduh sebagai ancaman.
Dipersekusi, dia dikejar-kejar sekerumunan massa dan sang raja, yang termakan rasa takut, memenggal kepalanya. Dari berbagai bagian tubuhnya – daging, tulang, jantung, cairan dan lainnya menjelma menjadi Ketujuh Bersaudara yang dipimpin oleh Tsiu Marpo.
Namkar Barzin
Namkar Barzin adalah pelindung Dharma dari kelas belum tercerahkan dan terikat sumpah untuk menjadi menteri bagi Dorje Shugden. Beliau memiliki tiga mata, menggigiti bibir bawahnya, memegang cawan tengkorak berisi darah di tangan kiri dan menggengam pedang di tangan kanan. Beliau mengenakan jubah seorang biksu dan menaiki makhluk mitologi kilin.
Namkar Barzin pertama kali muncul di tahun 1920an. Di kehidupan sebelumya, beliau adalah seorang Geshe Mongol yang pemarah. Saat itu, beliau baru saja kembali dari ziarah di situs Budhis di India. Dalam perjalanan pulang ke Lhasa, beliau singgah di biara Dungkar dimana secara tak terduga beliau jatuh sakit. Karena lama biara Dungkar, Yang Mulia Domo Geshe Rinpoche, sedang tidak ada di tempat, Umze Sherab meminta sang Geshe untuk tinggal dulu di biara guna menyembuhkan penyakitnya. Tetapi Geshe bersikeras melanjutkan perjalanan karena beliau ingin sudah ada di Lhasa ketika festival doa Monlam dimulai.
Di perjalanan, kesehatannya menurun drastis karena cuaca buruk dan beliau meninggal di tengah jalan curam menuju Phari. Saat beliau tergeletak dalam keadaan sekarat, beliau memulai meditasi kematian. Beberapa dukun setempat menemukan tubuhnya dan mengira beliau telah meninggal. Karena itu mereka melakukan ritual kematian untuk sang Geshe yang ternyata mengganggu meditasi kematianNya. Lebih celaka lagi, beberapa penggembala setempat mengolok-olok mayatnya. Murka, Geshe bangkit sebagai roh yang penuh kemarahan.
Tak lama kemudian, para penggembala dan hewan peliharaan mereka mati satu demi satu dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka semua mati dengan ekspresi muka yang ketakutan, seakan-akan mereka dibunuh oleh sesuatu yang tak tampak mata. Bahkan para dukun juga tak lolos dari maut dan mati dalam keadaan yang mirip. Salah satunya mengalami kerasukan sebelum meninggal dan mengeluarkan suara aneh sambil mengangkat tangan dengan empat jari terbentang. Roh itu telah memberitahu jumlah korban yang hendak disasar dalam upaya balas dendam.
Orang-orang mencoba berbagai cara untuk meredam roh yang marah tersebut tapi tidak berhasil. Akhirnya, seseorang melaporkan semua kejadian ini kepada Domo Geshe Rinpoche. Sang lama dengan cepat mengalahkan roh itu melalui sebuah ritual yang kuat dan kemudian menitipkannya pada Dorje Shugden.
Domo Geshe Rinpoche kemudian menunjuk Namkar Barzin sebagai pelindung biara Tromo dan Dungkar. Sebuah altar menghormati pelindung baru dibangun dan setelah itu penubuat di biara mulai menyuarakan Namkar Barzin yang sering memberi nasehat tentang pengelolaan biara. Serangkaian doa dan liturgi ditulis untuk menghormati Namkar Barzin sebagai pelindung Dharma.
Tingkatan Atas Istana Surgawi
Pada tingkat pertama bersemayam pelindung yang kuat dan sigap Setrap Chen bersama para pengiring beliau. Setrap adalah pelindung Dharma lebih tua daripada Dorje Shugden namun memiliki kekerabatan dekat dengan beliau.
Dharmapala Setrap Chen yang juga disebut sebagai ‘Tsen Liar’ merupakan sosok pelindung yang sangat tua. Beliau berasal dari tanah suci Bodhgaya di mana Shakyamuni Buddha mencapai pencerahan. Setrap sebenarnya adalah bentuk murka Buddha Amitabha yang bersumpah untuk melindungi ajaran Buddha Sakyamuni. Di India kuno, Setrap banyak dipraktikkan di berbagai biara Budhis yang ada di Nalanda dan Bodhgaya.
Seorang penerjemah Tibet bernama Loden Sherab (Ngog Lotsawa) memperkenalkan praktik Setrap dari India ke Tibet dengan tujuan untuk penyebaran ajaran Dharma. Sebelum Loden Sherab kembali ke Tibet, kepala biara di Bodhgaya mempercayakan Setrap untuk dibawa pulang ke Tibet demi kesuksesan dan pertumbuhan Budhisme di sana.
Nama Setrap berasal dari kata ‘zirah keemasan’ dan merupakan julukan yang didapat karena beliau mengenakan baju zirah warna keemasan ketika hendak berperang. Perang di sini bermaksud perang batin, yaitu perang dalam pikiran kita sendiri, maupun konflik yang kita alami di luar pikiran. Setrap telah menjadi pelindung Gaden Shartse, salah satu sekolah yang ada di biara Gaden selama ratusan tahun. Menurut ‘Buku Puja Setrap’ (Permata Shartse), pentungan yang digenggam oleh Setrap di tangan kanan terbuat dari ‘kayu cendana yang berasal dari tanah Malaya’ (Malaya adalah Malaysia saat ini). Setrap menempatkan sepatu Guru Rinpoche pada mahkotanya ketika beliau memperbaharui sumpahnya sebagai tanda dirinya terberkati karena telah menjadi pelindung Budhisme.
Sesuai penampilannya yang murka, Setrap dikenal telah berhasil menghancurkan secara dahsyat semua rintangan, baik dalam, luar maupun yang tersamar. Hal ini menjadikan Setrap salah satu pelindung yang penuh kuasa, sosok yang pantas menjadi tujuan doa kita dalam upaya mengatasi rintangan dalam hidup, terutama yang bakal membuat kita melenceng dari Dharma.
Setrap Chen dan Dorje Shugden
Setrap (Amitabha) dan Dorje Shugden (Manjushri) masing-masing merupakan pelindung Dharma mandiri satu sama lain. Tetapi keduanya saling terkait karena Tulku Drakpa Gyaltsen (reinkarnasi terakhir sebelum Dorje Shugden bangkit dalam bentukNya sekarang) menyembah Setrap sebagai salah satu pelindung di masa hidupnya. Ketika Dorje Shugden dituduh sebagai roh jahat, berbagai ritual dan puja api dilakukan untuk menghancurkanNya, tetapi karena sifatnya yang tercerahkan, beliau tidak bisa dimusnahkan. Pada masa awal ini, Setrap datang membantu teman dekatnya, Dorje Shugden. Bantuan ini diberikan berkali-kali.
Dorje Shugden dan Setrap bersemayam di istana mandala yang sama. Itu berarti Setrap mengakui Dorje Shugden setara dengan diriNya, dan sosok pelindung Dharma dengan misi yang sama – melindungi Dharma dan praktisinya. Intisari sifat Setrap sama dengan Buddha Amitabha tapi beliau beremanasi sebagai sosok pelindung Dharma untuk membantu makhluk-makhluk sadar. Karena itu, tidaklah mengejutkan bahwa tingkat teratas dari istana surgawi Dorje Shugden adalah tempat bersemayam Buddha Amitabha, karena beliau adalah Setrap dalam bentuk damai.
Ikonografi Dorje Shugden
Seperti sang Buddha, tubuh Dorje Shugden muncul akibat pencapaianNya yang besar. Oleh sebab itu, setiap bagian dari bentukNya melambangkan jalan lengkap Lamrim atau berbagai tahap dalam jalan menuju pencerahan. Jadi bermeditasi menggunakannya dengan pengertian yang benar akan menghasilkan pahala besar dan pencapaian spiritual. Di bawah ini penjelasan singkat tentang bentuk Dorje Shugden:
Pedang Kebijaksanaan
Pedang lekuk Dorje Shugden mirip pentingnya dengan pedang yang digenggam oleh Manjushri, Buddha Kebijakan. Hal ini sebuah ciri kuat bahwa pikiran Dorje Shugden sama dengan pikiran Manjushri.
Pedang kebijaksanaan berfungsi untuk menebas tembus ketidaktahuan dan delusi yang terjadi karena karma buruk dan rintangan lain, supaya kita dapat mendapatkan kebijaksanaan sang Buddha. Pedang kebijaksanaan juga melambangkan kemampuan Dorje Shugden untuk menembus dan memurnikan karma buruk kita. Bentuk lekuk mata pedang adalah fitur yang dirancang untuk menimbulkan kerusakan maksimal. Jadi hal ini menunjukkan bahwa praktik Dorje Shugden sangat ampuh untuk tujuan purifikasi karma, melenyapkan rintangan dan pada akhirnya mendapatkan pahala dan pencapaian batin.
Topi Kubah
Topi Kubah Keemasan Dorje Shugden menjadi simbol perlindungan yang beliau berikan kepada para praktisi dan penegak standar tinggi dalam Madhyamika. Ini adalah pandangan khusus Nagarjuna akan kekosongan yang diwakili secara sempurna dalam ajaran dan silsilah Lama Tsongkhapa. Topi berkubah adalah bentuk topi tradisional yang dipakai lama Tibet saat berkelana. Dalam pengartian ini, Dorje Shugden adalah pelindung yang mampu bergerak cepat untuk membantu para praktisi yang tulus meminta padaNya.
Mata Kebijaksanaan
Dorje Shugden memiliki tiga mata bundar menonjol yang melambangkan kemampuan cenayangnya dalam melihat masa lampau, kini dan masa depan secara bersamaan. Keberadaan mata ini juga menjadi ciri sosok dengan pencapaian tinggi yang mampu melihat kebenaran dalam segala bentuk – dengan kata lain Buddha. Hanya mahkluk suci semacam itu yang pantas menjadi tempat berlindung. Jadi kita bisa mempercayai Dorje Shugden sepenuhnya.
Permata Jantung
Dalam naskah suci, Permata Jantung menggambarkan jantung berdarah milik sang “musuh” yang dipegang Dorje Shugden di tangan kiri. Dinamakan jantung musuh karena melambangkan sumber segala sifat negatif kita– ketidaktahuan. Ini juga menggambarkan betapa efektifnya praktik Dorje Shugden untuk menangani masalah kita sampai ke “jantung-jantung”nya. Beliau langsung mencabut ketidaktahuan kita seperti beliau mencabut jantung musuh. Hal ini kemudian membunuh delusi dan negatifitas dalam diri kita karena mereka tidak dapat hidup tanpa si jantung, sama halnya dengan tubuh kita yang berhenti berfungsi jika jantung kita dicabut.
Dalam pengertian lainnya, Permata Jantung melambangkan kesukacitaan besar dan niat suci Bodhicitta Dorje Shugden, yaitu keinginan untuk melindungi semua makhluk dan membimbing mereka menuju pencerahan sepenuhnya. Di sini jantung mewakili welas asih yang luar biasa besarnya dan sukacita yang luas dan spontan – intisari semua tahapan dalam jalan luas Sutra dan Tantra.
Jantung ini juga melambangkan sifat Buddha kita yang terdalam, yaitu welas asih yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa Dorje Shugden mendukung dan melindungi mereka yang membaktikan hidupnya untuk memberi manfaat bagi yang lain dengan berusaha keras menuju pencerahan tertinggi.
Yang terpenting, jantung melambangkan intisari kita yang terdalam, keinginan kita yang terdalam, keseluruhan intensi kita – pencerahan. Dengan memegang keinginan kita yang terdalam, kita bisa yakin bahwa Dorje Shugden akan melindungi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk makhluk lain.
Garangan Pemuntah Permata
Bercokol di lengan kiri bawah Dorje Shugden adalah seekor garangan yang memuntahkan permata, sebuah simbol kuno untuk kekayaan yang melimpah. Ini juga berarti bahwa Dorje Shugden akan menyediakan kebutuhan materi dan spiritual bagi para praktisi yang tulus hatinya. Bentuk kekayaan tertinggi yang bisa dianugrahkan Dorje Shugden tentunya adalah pencapaian batin dalam hal kebijaksanaan dan welas asih.
Kait Penjinak Vajra
Kait penjinak Vajra yang disandang Dorje Shugden di lipatan lengan kiriNya diartikan sebagai alat pengendali. Fungsinya adalah menredam semua negatifitas dan delusi liar dan penuh bahaya yang merupakan halangan dalam mencapai pembebasan spiritual. Di sisi lain, kait penjinak juga melambangkan tindakan menarik semua kondisi yang menguntungkan praktik Dharma sehingga dapat tumbuh. Hal ini mencakup bantuan materi, teman yang mendukung perjalanan spiritual kita dan keberadaan sosok pembimbing spiritual dari silsilah yang otentik.
Jubah Biksu
Dalam masa lampaunya sebagai, antara lain, Duldzin Drakpa Gyaltsen, Panchen Sonam Drakpa dan Tulku Drakpa Gyaltsen, Dorje Shugden menjalani hidup sebagai biksu murni. Jadi tidaklah aneh beliau digambarkan mengenakan tiga macam jubah biksu untuk melambangkan bahwa beliau adalah pelindung untuk semua yang menggenapi sumpahnya. Jubah juga perlambang bahwa mempraktikkan disiplin moral yang murni sangatlah penting bagi mereka yang ingin mencapai pencerahan.
Sepatu Bot Kulit Macan
Dorje Shugden memakai sepatu bot dengan bahan kulit macan, yang secara jelas menunjukkan manifestasinya dalam bentuk duniawi. Meski beliau adalah makhluk yang tercerahkan sepenuhnya, Dorje Shugden telah memilih terlahir kembali sebagai sosok dewa supaya bisa memiliki kedekatan karma dengan makhluk sadar biasa lainnya. Dalam bentuk ini, beliau menjadi lebih mudah didekati karena hanya diperlukan usaha dan pahala yang tidak terlalu banyak untuk terhubung dengan beliau. Ketika dibandingkan dengan pelindung Dharma tercerahkan lainnya seperti Kalarupa, Mahakala, Palden Lhamo dan yang lain, bantuan yang diberikan melalui praktik Dorje Shugden datang jauh lebih cepat, terutama di masa genting.
Singa Salju
Dalam tradisi aliran Gelug, kendaraan Dorje Shugden adalah makhluk mistis berupa seekor Singa Salju yang kuat dan garang. Singa Salju sebenarnya merupakan emanasi pikiran Dorje Shugden yang melambangkan keberanian. Absennya rasa takut dicapai saat kita telah berhasil mengalahkan tiga racun batin – ketidaktahuan, keterikatan dan rasa benci.
Penampilan singa salju memang dimaksudkan untuk menimbulkan kesan garang dan menakutkan. Perilaku murka Dorje Shugden dan wahananya melambangkan kemampuannya mengatasi semua rintangan atau makhluk perintang, sehingga hal itu tak menjadi masalah bagi para praktisi.
Kemurkaan adalah atribut umum bagi pelindung Dharma. Dalam Budhisme, energi murka menandakan kecepatan dan welas asih yang besar bagi praktisi yang menderita akibat diserang masalah baik dari dalam maupun luar.
Sang Musuh
Singa Salju Dorje Shugden biasanya digambarkan sedang menginjak-injak mayat manusia. Inilah penggambaran “sang musuh”, yang melambangkan tiga racun yang telah disebut di atas dan mewakili semua karma buruk kita. Menginjak-injak musuh ke dalam piringan surya melambangkan lenyapnya ketidaktahuan melalui pencapaian kekosongan atau sunyata.
Teratai
Bunga teratai mungkin adalah salah satu simbol yang paling langgeng dalam Budhisme. Para Buddha dan Bodhisattva biasanya digambarkan duduk di atas tahta teratai. Arti penting teratai telah berulang kali dijelaskan dalam berbagai kitab suci Budhis. Bunga teratai yang diduduki Dorje Shugden menunjukkan bahwa tindakan beliau didasarkan pada dan dilakukan karena welas asih yang besar dari sesosok Buddha.
Piringan Surya
Bunga teratai Dorje Shugden dihiasi di bagian pinggir dengan sebuah piringan surya atau bantal surya, yang menunjukkan pencapaiannya akan sunyata. Ini juga sebuah atribut umum dalam ikonografi dewa dewa murka lainnya.
Api Kebijaksanaan
Api kebijaksanaan yang mengelilingi tubuh Dorje Shugden adalah manifestasi Bodhicitta, atau welas asihnya yang tanpa batas. Percikan api bijak ini keluar dari setiap pori-pori tubuhnya membentuk cincin api mengelilingi beliau. Menurut tradisi, api tersebut berfungsi membakar habis rintangan baik yang kelihatan maupun yang tersembunyi. Jadi semakin dekat diri kita pada Dorje Shugden dalam praktik kita, semakin mudah bagi api bijakNya untuk memusnahkan segala halangan yang memalingkan kita pada jalan spiritual dan pencerahan.
Penubuat Dorje Shugden
‘Kuten’ adalah istilah dalam bahasa Tibet untuk menyebut seorang yang bertindak sebagai “medium” untuk menerima kesadaran sosok dewa. Melalui kuten inilah dewata bisa menyampaikan pesan-pesan untuk para praktisi guna membantu mereka dalam hal-hal spiritual maupun sekuler. Memanggil dewata melalu penubuat merupakan bagian yang kuno dan esoteris budaya Tibet. Beberapa penubuat yang sangat terlatih terbukti bisa membiarkan para pelindung Dharma, seperti Setrap dan Dorje Shugden, untuk merasuk dalam dirinya untuk menyampaikan pesan. Karena sifat transenden yang dimiliki Dorje Shugden, penubuat beliau diberi gelar yang lebih terhormat sebagai ‘Chojela’.
Menjadi seorang penubuat adalah komitmen seumur hidup di mana sang penubuat harus melepaskan keinginan egois diri sendiri untuk melayani orang lain. Beberapa orang memiliki bakat alami untuk menjadi penubuat, sedangkan yang lain karena dipilih oleh lama atau bahkan dipilih oleh sosok dewata sendiri. Sebagai contoh, Dorje Shugden bisa memilih seseorang untuk menjadi penubuat beliau dengan memasuki orang tersebut sekali dua kali sebagai tanda bahwa mereka harus mulai berlatih untuk menjadi penubuat.
Sebelum menjadi penubuat, seseorang harus menjalani latihan yang ketat dan berat. Hal ini dibutuhkan untuk mempersiapkan, mengembangkan dan menstabilkan jalur-jalur cenayang yang ada dalam orang tersebut. Contoh latihan yang diberikan mencakup tapa Lama Tsongkhapa yang memerlukan devosi Guru yang baik dan tapa Yamantaka untuk membuka semua chakra dan saluran energi dan kemampuan cenayang lainnya. Hal ini untuk memastikan bahwa tubuh fisik sang penubuat cukup kuat untuk menahan energi yang kuat saat pelindung masuk dan keluar dari tubuhnya. Manfaat praktik Yamantaka sebenarnya sekunder dibanding tujuan utama praktik ini, yaitu mencapai pencerahan total.
Pelatihan untuk penubuat bisa berlangsung sampai tujuh tahun. Menjadi penubuat adalah komitment seumur hidup dan kemampuan ini harus tetap dipertahankan dengan meditasi, serta memiliki samaya yang bagus dengan Guru mereka. Semakin besar usaha yang ditanamkan saat pelatihan, semakin jelas dan akurat hasil nubuat mereka.
Penubuat Panglung
Posisi Penubuat Panglung saat ini dipegang oleh Yang Mulia Panglung Oracle ke-7 dari biara Sera. Dengan reputasi sebagai biksu murah hati dan lembut serta teguh dalam menjaga sumpah, beliau tidak pernah meminta imbalan ataupun pengakuan untuk pelayanan beliau bagi Budhadharma. Penubuat Panglung dilatih dan dilantik secara pribadi oleh Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche dan telah menjalankan tugasnya selama lebih dari 30 tahun. Selama ini beliau telah memberi nasehat bagi berbagai lama tinggi, biara, ladrang dan biksu. Sebagai hasil dari pelatihan yang dijalaninya, dan kemurnian sumpah dan motivasinya, beliau bisa menjadi medium bagi banyak pelindung Dharma yang tercerahkan seperti Dorje Shugden, Kache Marpo, Setrap dan lainnya.
Tata cara pemanggilan Dorje Shugden dimulai dengan pembacaan doa pengundangan, yang dilakukan oleh para asisten penubuat. Tradisi penggunaan doa pengudangan berasal dari kisah Magadha Sangmo, yang merupakan inkarnasi pertama Dorje Shugden. Beliau adalah murid setia Buddha Shakyamuni yang mempersembahkan ayat pengundangan dan dupa untuk Gurunya yang Mahatahu. Penggunaan dupa dan doa pengundangan sejak itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik Budhisme.
Saat pengundangan berlangsung, Dorje Shugden memasuki tubuh penubuat, setelahnya beliau mungkin akan melakukan tarian vajra untuk menghalau rintangan. Kemudian beliau kembali duduk di tahtanya untuk menerima persembahan dan menyapa para lama tinggi serta memberkati mereka yang hadir.
Karena sifat Dorje Shugden yang murka dan intens, sang pelindung Dharma biasanya tidak tinggal dalam tubuh penubuat lama-lama karena hanya akan membuat tubuhnya lemas. Biasanya setelah merasuk tubuh penubuat, Dorje Shugden akan pergi lagi. Setelah itu, doa pengundangan dibaca lagi untuk mengundang Kache Marpo. Kache Marpo kemudian akan menjawab semua pertanyaan secara sabar. Terkenal akan kejelasan dan artikulasinya, Kache Marpo dikenal pandai memberikan penjelasan tentang Dharma. Beliau juga mengabulkan permintaan dan menyembuhkan mereka yang sakit.
Penubuat Panglung ke-6, yang merupakan ayah dari Penubuat Panglung ke-7, patut dipuji untuk menubuatkan bagi Dorje Shugden, dengan demikian membantu Dalai Lama ke-14 mengambil keputusan untuk lari dari Tibet ke India. Penubuat Panglung ke-6 secara pribadi dilatih oleh Kyabje Pabongka Rinpoche. Pada tahun 1959, Kyabje Trijang Rinpoche berkonsultasi dengan Dorje Shugden melalui penubuat Panglung ke-6 apakah Dalai Lama seharusnya meninggalkan Tibet atau tidak. Dorje Shugden bangkit dari tahtanya dan melakukan tarian vajra untuk menyingkirkan halangan buat Dalai Lama. Beliau kemudian menyerahkan pedangnya dan memberi instruksi supaya Dalai Lama pergi dari Tibet secepatnya. Beliau juga memberi petunjuk supaya rombongan pengungsi membawa pedang beliau di barisan depan untuk keselamatan semua anggota rombongan.
Beberapa tahun sebelum pelarian diri Dalai Lama, Penubuat Panglung ke-6, menyuarakan Dorje Shugden, menyuruh sekelompok pejuang Khampa untuk membentuk pasukan gerilya Chushi Gangdruk dan memilih langsung tempat markas besar mereka. Letak markas mereka ternyata tepat ada di rute pelarian Dalai Lama di tahun 1959, satu-satunya rute yang aman saat itu. Pasukan gerilya inilah yang menyediakan pengawalan kepada rombongan Dalai Lama menuju India. Melalui perencanaan Dorje Shugden yang lihai, beliau menyelamatkan nyawa Dalai Lama melalui pesan yang disampaikan Penubuat Panglung ke-6.
Kuil-kuil Dorje Shugden
Ada banyak kuil, biara dan pertapaan yang terus mengandalkan Dorje Shugden sebagai pelindung Dharma mereka. Semuanya terbuka untuk orang awam dan senang menerima mereka yang ingin menemukan jalan spiritual. Bagian ini akan membahas tempat-tempat tersebut,
- Biara Serpom Thoesam Norling di Karnataka, India Selatan
- Biara Shar Gaden di Karnataka, India Selatan
- Kechara Forest Retreat di Pahang, Malaysia; dan
- Manjushri Kadampa Meditation Centre di Ulverston, Inggris.
There are also other places that continue to practise Dorje Shugden, such as:
- Kapel Trode Khangsar (Lhasa, Tibet)
- Biara Phelgyeling (Kathmandu, Nepal)
- Trijang Buddhist Institute (Vermont, Amerika Serikat)
- Gaden Tashi Choling Retreat Centre (Nelson, Kanada)
- Zuruling Tibetan Buddhist Centre (Vancouver, Kanada)
- Albagnano Healing Meditation Centre (Bee, Italia)
- Biara Tashi Lhunpo (Shigatse, Tibet)
- Biara Dungkar (Yadong, Tibet)
- Thar Deu Ling Buddhist Centre (Paris, Prancis)
- Rabten Choeling (Le Mont-Pelerin, Swiss)
- Tsongkhapa Meditation Centre (Quebec, Kanada)
- Biara Gaden Sumtseling (Indiana, Amerika Serikat)
- Biara Sampheling (Chatreng, Tibet)
- Dagom Gaden Tensung Ling (Indiana, Amerika Serikat)
- Biara Amarbayasgalant (Selenge, Mongolia)
- Biara Tugs Bayasgalant (Ulaanbaatar, Mongolia)
- Biara Delgeriin Choiriin (Mongolia)
- Biara Gaden Dhamcholing (Markham, Tibet)
- Biara Zetho (Chamdo, Tibet)
- Biara Lhamo Setri (Sungai Bailong, Tibet)
- Segyu Gaden Phodrang (Kathmandu, Nepal)
- Gaden Tharpa Choling (Kalimpong, India)
- Biara Longrong (Sichuan, RRC)
- Biara Drepung (Gunung Gephel, Tibet)
- Biara Riwo Choling (Lhoka, Tibet)
- Biara Jampa Ling (Chamdo, Tibet)
- Kuil Xia Feng (Yu Zhu, Chong Qing, RRC)
- Biara Gonsa (Kham, Tibet)
- Kuil Jangchup Lamrim (Lumbini, Nepal)
- Biara Yangting Dechen Ling (Kham, Tibet)
- Pertapaan Tashi Choling (Lhasa, Tibet)
- Ganden Dhokhang Buddhist Center (Taiwan)
- Biara Mahasukhanga (Hualian, Taiwan)
- Biara Mahayana (Kathmandu, Nepal)
- Biara Phelgyeling (Kathmandu, Nepal)
- Dan masih banyak lagi, informasi lebih lanjut bisa ditemukan di www.dorjeshugden.org
Biara Serpom Thoesam Norling
Biara Serpom Thoesam Norling, biasa dikenal sebagai Serpom, terletak di Pemukiman Tibet Bylakuppe di distrik Mysore, negara bagian Karnataka, India. Biara Serpom terdaftar sebagai organisasi nirlaba dan universitas biara untuk studi tinggi Budhis. Biara ini menyediakan edukasi gratis, makanan dan akomodasi bagi ratusan biksu. Tempat ini telah melahirkan berbagai guru Budhis, filsuf, cendekiawan dan pengajar yang memajukan perdamaian dunia.
Biara Serpom awalnya adalah bagian dari biara Sera Mey di Tibet, yang didirikan pada tahun 1419 oleh Jamchen Choeje Shakya Yeshi di bawah bimbingan Lama Tsongkhapa. Setelah pemberontakan di Tibet pada tahun 1959, banyak biksu terpaksa mengungsi ke India. Di India, para pengungsi Tibet diterima dengan baik, hangat dan adil; pemerintah India di bawah Jawaharlal Nehru memberi mereka tanah dan kesempatan untuk mencari nafkah. Salah satu petak tanah tersebut dipakai untuk membangun kembali biara Sera sebelum dipindah ke lokasinya saat ini di Bylakuppe.
Biara Sera di India terus menerus dikenal sebagai salah satu pusat pembelajaran Budhisme yang paling terdepan. Sayangnya, karena kontroversi tentang Dorje Shugden, pada tahun 2008 banyak biksu anggota Pomra Khangtsen (rumah fraternitas) di Sera Mey dikeluarkan dan dipisahkan dari Sera. Mereka kemudian membangun biara sendiri dengan nama Serpom untuk mempertahankan tradsi murni Gelug dan praktik pelindung Dharma Dorje Shugden.
Para biksu di biara Serpom menguasai lima naskah utama kurikulum Budhis Mahayana yang memerlukan 18 tahun untuk dipelajari. Sebagai syarat lulus, para biksu mengikuti ujian Geshe dan mereka yang lulus ujian dengan memuaskan diberi gelar Geshe Lharampa, gelar tertinggi dalam filosofi Buddhis.
Biara Serpom berkomitment untuk menyediakan biksu muda dengan pendidikan yang modern. Pada tanggal 25 April 2009 mereka meresmikan Serpom Thoesam Norling School untuk mengajar biksu muda di bawah usia 15 tahun dengan berbagai mata pelajaran seperti sastra Tibet, kaligrafi Tibet, bahasa Inggris, matematika, ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial.
Kepala biara Serpom saat ini adalah Yang Suci Kyabje Yongyal Rinpoche. Beliau diakui sebagai inkarnasi keempat dalam garis inkarnasinya oleh Yang Suci Kyabje Trijang Dorjechang, guru junior bagi Yang Suci Dalai Lama ke-14. Selama lebih dari 20 tahun, Yongyal Rinpoche memperdalam ilmunya tentang lima naskah utama dalam Budhisme Tibet. Setelah menerima gelar Geshe Lharampa di tahun 1980, beliau kemudian menyelesaikan studi Tantra di Akademi Tantra Gyume. Kyabje Yongyal Rinpoche telah menerima berbagai transmisi Dharma dan inisiasi dari Yang Suci Kyabje Trijang Dorjechang, Yang Suci Kyabje Ling Rinpoche, Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche dan guru besar lainnya.
Bangkitnya biara ini setelah perpecahan mereka dari Sera, dan kenyataan bahwa mereka terus menerus tumbuh dan sukses mempertahankan tradisi dan standar skolastik mereka, mengingatkan kita bahwa praktik Dorje Shugden hidup dan berkembang pesat.
Biara Shar Gaden
Biara Shar Gaden dibangun untuk menggantikan biara Gaden di Tibet yang didirikan oleh Lama Tsongkhapa. Setelah pemberontakan di Tibet pada tahun 1959, banyak biksu Budhis Tibet harus melarikan diri ke India sebagai pengungsi.
Melalui dedikasi dan inisiatif sendiri berbagai biksu dan guru spiritual dari Tibet yang selamat, serta murah hatinya pemerintah India, banyak biara yang mereka tinggal di Tibet bisa dibangun ulang di berbagai wilayah konsesi Tibet di India Selatan. Salah satu biara yang dibangun ulang baru adalah Gaden Shartse dengan 11 rumah fraternitas sesuai aslinya. Kyabje Trijang Rinpoche adalah salah satu patron spiritual biara Gaden Shartse di samping Yang Suci Gaden Trisur ke-101, Jetsun Lungrik Namgyal dan Domo Geshe Chocktrul Rinpoche muda. Saat ini kepala biara dijabat oleh Geshe Lobsang Jinpa.
Akibat kebijakan agama dan politik di sekitar praktik Dorje Shugden, para biksu Dokhang Khangtsen di Gaden Shartse dikeluarkan dari biara di tahun 2008. Dokhang Khangtsen adalah tangan kanan biara Gaden Shartse karena kontribusinya selama berabad-abad mempertahankan tradisi dan disiplin biara.
Setelah diusir, para biksu Dokhang Khangtsen mendirikan biara mereka sendiri dengan nama Shar Gaden pada tanggal 23 Februari 2008. Shar Gaden dibangun untuk menyediakan tempat yang mendukung mereka yang memiliki kedekatan karma dengan Dorje Shugden, dan sebagai tempat belajar, praktik dan mempertahankan silsilah.
Kechara Forest Retreat
Mimpi surga kini menjadi nyata
Tempat di mana hujan turun untuk menyegarkan yang letih
Kecuplah hujan, pelukkan pohon atau ucapkan saya cinta diri
Pulanglah sekarang, pada janji kebebasan
Kechara Forest Retreat, juga dikenal dengan singkatan KFR, terletak di jantung kota Bentong, Pahang. KFR adalah tempat retret dengan luas sekitar 14 hektar dan berada di tengah hutan tropis. Didirikan oleh Yang Mulia Tsem Rinpoche ke-25 di tahun 2012, Kechara Forest Retreat bertujuan untuk menjadi tempat untuk mengembangkan keseimbangan sempurna dalam kesehatan holistik – tubuh, pikiran dan jiwa.
Kechara Forest Retreat menawarkan akomodasi yang nyaman, fasilitas luas dan ketenangan dalam damai. Misi KFR tidak hanya membantu siapa saja untuk menemukan kedamaian hati; tapi juga sebagai bagian dari keluarga Kechara Buddhist Organisation, sebuah grup spiritual progresif yang bertujuan untuk menciptakan sebuah komunitas sadar mawas yang bersama-sama melayani orang lain.
Melalui kerja keras dan dedikasi tulus para relawannya, Kechara adalah organisasi Budhis Tibet yang terbesar di Malaysia dan menawarkan berbagai program untuk berbagai macam kebutuhan, minat dan bakat untuk para spiritualis modern. KFR menawarkan kegiatan tradisional Budhis seperti pengajaran Dharma, puja bersama mingguan dan program pendidikan komprehensif yang diadakan di Kechara House, yang merupakan kuil utama. Kechara Forest Retreat juga mengadakan kursus meditasi secara rutin, program pengalaman kerja, festival Buddhis dan diskusi Dharma yang dipimpin pastor dan murid senior.
Terdapat juga banyak fasilitas untuk membantu kita melakukan berbagai aktifitas dalam menemukan jalan spiritual, seperti Vajrayogini Stupa, Bukit Manjushri, Tara Walk, Kapel Gyenze, Dukkar Apartment, kolam ikan dan penangkaran burung, kebun sayur dan tanaman obat.
Ada juga Wisdom Hall, sebuah aula meditasi dengan luas 1.000 meter persegi, yang juga merupakan rumah bagi patung Dorje Shugden terbesar di dunia dengan tinggi lebih dari 7 meter. Terdapat juga patung indoor Buddha Shakyamuni, pendiri Budhisme, setinggi 4 meter dan patung outdoor Lama Tsongkhapa, pendiri aliran Gelug, dengan tinggi sekitar 2,5 meter.
Manjushri Kadampa Meditation Centre
Manjushri Kadampa Meditation Centre, biasanya disingkat menjadi MKMC, adalah sebuah pusat meditasi yang terkenal di seluruh dunia. Siapapun boleh berkunjung untuk menikmati suasana damai atau ikut bergabung dengan berbagai program yang ditawarkan sepanjang tahun. Dibangun di atas tanah seluas 28 hektar di Ulverston, Cumbria, Inggris Timur Laut, MKMC berfungsi sebagai kuil sementara dan pusat meditasi dengan reputasi dunia, sekaligus markas bagi New Kadampa Tradition (NKT).
NKT, organisasi Budhis Tibet terbesar di dunia saat ini, didirikan oleh YT Geshe Kelsang Gyatso. Geshe Kelsang Gyatso adalah salah satu lama Budhis Tibet yang paling berpengaruh dalam penyebaran tradisi Budhis Mahayana berdasarkan ajaran Lama Tsongkhapa di dunia Barat. Geshe Kelsang Gyatso telah memberikan banyak ajaran Dharma dan pemberdayaan di MKMC.
Manjushri Kadampa Meditation Centre adalah rumah bagi patung perunggu Buddha Shakyamuni terbesar di dunia Barat. Patung ini berada di altar utama kuil. Di sampingnya terdapat patung Buddha Maitreya, simbol pikiran yang telah tercerahkan, dan Buddha Manjushri, simbol kebijakan yang tercerahkan. Patung-patung indah Lama Tsongkhapa dan kedua murid utamanya ada di sebelah kiri jauh. Sebuah altar agung untuk pelindung Dharma ada di sebelah kanan jauh, di mana terdapat lima patung emanasi Dorje Shugden.
Manjushri Kadampa Meditation Centre menawarkan berbagai macam aktifitas yang terbuka untuk siapa saja. Termasuk di antaranya bermacam-macam program Dharma, kursus meditasi dan retret, baik singkat maupun panjang, kegiatan seni (contohnya membuat patung Buddha dan seni Budhis), program pelatihan guru dan program sukarelawan yang terstruktur dengan berbagai aktifitas.
Penjelasan Doa Doa Dorje Shugden
Makhluk yang telah tercerahkan sepenuhnya seperti para Buddha dan Bodhisattva semuanya mempunyai kemampuan untuk memanifestasikan diri dalam banyak bentuk sesuai kebutuhan. Sebagai contoh, para Buddha dapat menjelma menjadi seorang lama atau dalam bentuk suara. Yang terakhir, yang dinamakan embodimen suara, lebih sering disebut sebagai “mantra”. Membaca mantra sama dengan mengundang energi suci para Buddha dalam bentuk suara, serta meminta berkat mereka dalam hidup kita.
Kata ‘mantra’ berasal dari bahasa Sansekerta dan memilik arti “perlindungan pikiran”. Mantra adalah kontraksi dua kata: ‘mana’ yang berarti pikiran dan ‘tram’ yang berarti perlindungan.
Ada tiga manfaat membaca mantra:
- Mengunduh energi tercerahkan para Buddha, seperti pahala dan sifat suci mereka. Hal ini penting karena pengetahuan yang didapat dari tindakan ini akan menghasilkan peta perjalanan kita untuk mencapai pencerahan. Kita pastinya tidak bisa pergi ke suatu tempat jika kita tidak tahu lokasinya secara pasti.
- Menciptakan kesadaran dalam diri untuk pengertian yang lebih mendalam.
- Mengundang energi dewa tertentu.
Dengan membaca mantra Dorje Shugden kamu bisa memasuki pikiran Dorje Shugden dan menjadi lebih dekat dengan beliau. Tapi hal ini tidak berarti kamu menjadi Dorje Shugden. Yang didapat dari membaca mantra Dorje Shugden, antara lain, adalah berkembangnya sifat-sifat tulus seperti yang dimiliki makhluk tercerahkan, seperti welas asih, kebijaksanaan, integritas dan lain-lain.
Ketika kamu sudah mempunyai pikiran tulus sosok tercerahkan seperti Dorje Shugden, kamu akan juga punya kemampuan untuk menyembuhkan penderitaan orang di sekitarmu dengan menetralisir negatifitas dalam hidup mereka.
Hal-hal Umum Dalam Pembacaan Mantra
Suku kata seperti “OM”, “AH” dan “HUM” merupakan suku kata bijak yang sering digunakan dalam pembacaan mantra. Mereka mewakili tubuh, tutur kata dan pikiran tercerahkan para Buddha, yang merupakan pencapaian tertinggi bagi seorang praktisi.
Secara umum, ketika menjalankan praktik kita, mantra seharusnya dibaca di depan sebuah altar di mana terdapat representasi tubuh, tutur kata dan pikiran Buddha yang tercerahkan dan persembahan. Menurut tradisi yang ada, praktisi duduk bersila atau dalam posisi teratai tapi bagi yang sudah berumur atau yang sedang sakit bisa duduk di kursi. Mantra biasanya dibaca ulang pada hitungan atau multiplikasi 3, 7, 21, 108 atau lebih, menggunakan tasbih Budhis Tibet yang terdiri dari 108 biji.
Mantra biasanya dibaca ketika kita menjalankan praktik sehari-hari tetapi untuk menghasilkan pahala yang lebih besar dan menciptakan hubungan yang lebih dekat dengan sang dewa, kita bisa membaca mantra bahkan saat menonton TV, berjalan kaki atau saat berolahraga.
Seperti mantra para Buddha lainnya, mantra yang diasosiasikan dengan Dorje Shugden disertai visualisasi atau meditasi saat membacanya. Bahkan, sebelum sampai pada bagian pembacaan mantra dari kangsol, ritual pemenuhan atau praktik harian, seorang praktisi sudah melakukan visualisasi tertentu seperti dianjurkan pada saat pembacaan doa awal.
Murid Tantra seharusnya sudah melakukan transformasi menjadi Yidam dari salah satu empat kelas Tantra, karena praktik Yidam dijalankan sebelum doa pelindung.
Untuk menvisualisasi diri kita sebagai Yidam, seorang praktisi harus menerima pemberdayaan terlebih dulu. Mereka yang belum diinisiasi bisa membayangkan Lama Tsongkhapa duduk di atas kepala mereka, sebesar jempol. Visualisasi ini dibarengi dengan praktik Gaden Lhagyama atau Guru Yoga Lama Tsongkhapa, yang dibaca sebelum doa kepada Dorje Shugden. Setelah Guru Yoga Lama Tsongkhapa selesai, untuk memulai doa Dorje Shugden, bacalah ayat visualisasi kemudian baru mantranya.
Mantra Utama Dorje Shugden
OM BENZA WIKI BITANA SOHA
OM: Mengacu pada bentuk Dorje Shugden; karena itu pembacaan suku kata ini memanggil Dorje Shugden.
BENZA: Mewakili pikiran tercerahkan Dorje Shugden, tidak dapat dihancurkannya persatuan antara sukacita dan pengetahuan tentang kekosongan yang dimiliki para Buddha.
WIKI BITANA: Mewakili aktifitas yang damai, terkendali, murka dan mencerahkan.
SOHA: Mewakili permohonan untuk pengabulan permintaan.
Ada dua mantra lain yang dapat kamu baca setelah mantra utama. Keduanya sebaiknya dibaca ulang sebanyak setidaknya tujuh kali masing-masing atau lebih, sesuai kebutuhanmu.
Mantra Penyembuhan
OM BENZA WIKI BITANA SHANTI SIDDHI HUNG
Mantra Kekayaan
OM BENZA WIKI BITANA SOHA TSESO PALJOR
LONG CHO THAMCHED PUTRIM KURU OM
Mantra manapun yang kamu pilih sebagai fokus, efeknya sama – pemurnian karma buruk, dihasilkannya pahala dan hubungan yang lebih erat dengan Dorje Shugden.
Mantra Para Pengiring
OM DHARMAPALA MAHA RADZA BENDZA BEGAWAN
RUDRA PANTSA KULA SARVA SHATRUM MARAYA HUM PHAT!
Mantra para Pengiring Dorje Shugden dibaca sebagai mantra tambahan, tujuh kali setelah mantra utama usai dibaca.
Selain mantra-mantra di atas, masih ada mantra lain Dorje Shugden diperuntukkan situasi khusus.
Selama pembacaan mantra, visualisasi harus dilakukan pada saat yang bersamaan. Mulailah dengan membayangkan Duldzin Dorje Shugden (bentuk utama) ada di depanmu dengan jarak kira-kira satu lengan. Disekeliling beliau ada Shize (bentuk damai), Gyenze (bentuk makmur), Wangze (bentuk kendali) dan Trakze (bentuk murka). Mengelilingi mereka adalah rombongan pengiring. Pada titik ini, bayangkan dan percayalah bahwa Dorje Shugden dan Gurumu adalah satu. Hal ini sangat penting untuk praktik Dorje Shugden, dan kamu harus percaya sepenuhnya tentang hal ini.
Bayangkan bahwa cahaya keluar dari Dorje Shugden untuk membawa persembahan kepada semua Buddha di sepuluh arah mata angin. Percikan cahaya kemudian kembali pada tubuh Dorje Shugden, membawa energi tercerahkan dan berkat dari semua Buddha, membentuk suku kata bija “HUM” yang ada di dada Duldzin Dorje Shugden. Bija ini mewakili pikiran tercerahkan Dorje Shugden. Mengelilingi “HUM” adalah mantra utama “OM BENZA WIKI BITANA SOHA” yang berputar-putar mengelilingi “HUM” sesuai arah jam. Ini disebut sebagai untaian mantra.
Sebagian cahaya tadi bercabang dan mengenai suku kata bija “HUM” yang ada pada bagian jantung bentuk lain Dorje Shugden seperti yang telah divisualisasikan di atas – Shize, Gyenze, Wangze dan Trakze. Bayangkan Shize dengan untaian mantra putih mengitari “HUM” di bagain jantung dan Gyenze dengan untaian mantra kuning mengitari “HUM” di dada beliau. Untuk Wangze dan Trakze bayangkan untaian merah dan merah tua mengitari “HUM” di bagian jantung.
Bayangkan cahaya keluar dari semua lima bentuk Dorje Shugden dengan warna masing-masing dan masuk ke chakra mahkota di kepalamu, memenuhi tubuhmu dengan cahaya dan berkat dari Dorje Shugden. Ini berfungsi sebagai permintaan kepada Dorje Shugden untuk melakukan aktifitas untuk perdamaian, kemakmuran, kendali dan kemurkaan. Bayangkan dengan kuat bahwa di tahap ini kamu telah mampu mengerti dan mempraktikkan Dharma dengan mudah, dan menghasilkan pencapaian. Kamu juga bisa membayangkan sembuh dari penyakit, atau dilindungi dari pengaruh negatif. Yang terakhir, bayangkan semua permintaanmu dikabulkan Dorje Shugden.
Setelah selesai dengan mantra utama, lanjutkan dengan mantra penyembuhan dan kekayaan, diikuti dengan mantra pengiring tujuh kali. Setelah itu baca mantra panjang Vajrasattva mantra (mantra 100 suku kata) yang berfungsi untuk menstabilkan pembacaan mantra dan memurnikan kesalahan. Visualisasi yang digambarkan di atas aman dilakukan oleh semua praktisi, tidak peduli apa kamu sudah menerima pemberdayaan Tantra.
Doa Pembacaan Mantra
Tergantung apa kita sedang berdoa untuk kesehatan, kekayaan atau gabungan dari beberapa siddhi, sebaiknya membaca Tiga Mala dari mantra yang berpasangan dan tujuh kali untuk dua mantra lainnya.
Bayangkan pancaran cahaya keluar dari suku kata jantung diri kita sebagai Yidam. Cahaya kemudian mengenai bija HUM dan mengitari untaian mantra sesuai warna masing-masing dewa. Bayangkan berdiri di atas tahta matahari di bagian tengah masing-masing lima kerabat Dharmapala Gyalchen Shugden, meminta mereka, tanpa bisa memilih, untuk melakukan apa yang dimaui – damai, makmur, kuasa atau murka, secepatnya.
Mantra untuk mencapai gabungan Siddhi
OM BENZA WIKI BITANA SOHA
Mantra Penyembuhan
OM BENZA WIKI BITANA SHANTI SIDDHI HUNG
Mantra Kekayaan
OM BENZA WIKI BITANA SOHA TSESO PALJOR
LONG CHO THAMCHED PUTRIM KURU OM
Mantra Para Pengiring
OM DHARMAPALA MAHA RADZA BENDZA BEGAWAN
RUDRA PANTSA KULA SARVA SHATRUM MARAYA HUM PHAT! (7x)
Setelah membaca mantra sebanyak apapun dengan dibarengi visualisasi. Untuk bagian akhir, bacalah mantra seratus suku kata.
OM BENZASATTO SAMAYA MANU PALAYA
BENZASATTO TENO PATITA DIDRO MAY BHAWA
SUTO KAYO MAY BHAWA SUPO KAYO MAY BHAWA
ANU RAKTO MAY BHAWA SARWA SIDDHI ME PAR YATSA
SARWA KARMA SUT TSA ME TISHTAM SHRIYAM KURU HUM
HA HA HA HA HO BHAGAWAN SARWA TATAGATA
BENZA MA MAY MUN TSA BENZA BHAWA MAHA
SAMAYA SATTO AH HUM PHET
Koleksi Mantra Dorje Shugden
Mantra Dorje Shugden untuk Perdamaian
Mengundang manfaat emanasi Dorje Shugden dalam bentuk damai. Menghasilkan situasi penuh perdamaian, pikiran yang stabil, keselarasan dengan lingkungan dan di rumah serta meredam bencana.
OM BENZA WIKI BITANA SHANTI SIDDHI HUNG
Mantra Dorje Shugden untuk Kesehatan
Mengundang berkat Dorje Shugden untuk umur panjang, penyembuhan dan perlindungan dari penyakit.
OM BENZA WIKI BITANA AYU SIDDHI HUNG
Mantra Dorje Shugden untuk Peningkatan
Mengundang berkat dari Dorje Shugden untuk pengumpulan pahala besar dan peningkatan sumber daya spiritual maupun materi.
OM BENZA WIKI BITANA SOHA TSESO PALJOR LONG CHO THAMCHED PUTRIM KURU OM
Mantra Dorje Shugden untuk Kendali
Mengundang berkat dari Dorje Shugden untuk mempengaruhi teman menuju hal positif, mengendalikan dewata duniawi, orang-orang negatif dan naga.
OM BENZA WIKI BITANA WASHAM KURU HO
Mantra Dorje Shugden untuk Penghancuran
Mengundang ijin Dorje Shugden untuk penghancuran rintangan dan ‘musuh’ luar dalam.
OM BENZA WIKI BITANA SHATROO MARAYA PHET
Mantra Dorje Shugden untuk Mendapatkan Semua Siddhi
Mengundang berkat dari Dorje Shugden untuk pencapaian siddhi biasa dan luar biasa.
OM BENZA WIKI BITANA SIDDHI PALA HO
Mantra Dorje Shugden untuk mendapatkan semua pencapaian tak lazim
Mengundang berkat dari Dorje Shugden untuk pencapaian prestasi tak lazim.
OM BENZA WIKI BITANA SARWA SIDDHI PALA HO
Mantra Dorje Shugden untuk Perlindungan
Mengundang berkat Dorje Shugden untuk perlindungan dari situasi berbahaya, ketika dalam perjalanan atau tinggal di tempat penuh permusuhan. Ketika membaca mantra, bayangkan dirimu di dalam mandala beliau, dilindungi sepenuhnya dari rintangan maupun gangguan.
OM BENZA WIKI BITANA RAKYA RAKYA HUNG
Mantra Kache Marpo
Mantra asisten utama Dorje Shugden, pelindung Dharma Kache Marpo
OM SHRI DHARMAPALA HUM PHET
Mantra Namkar Barzin
Mantra asisten Dorje Shugden lainnya, pelindung Dharma duniawi Namkar Barzin
OM BIYADA PAR DHARMA DHARA SOHA
Mantra nama Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche Dechen Nyingpo.
OM AH GURU BENZADHARA METRI SHASANA DHARA KARMA SARWA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama Yang Suci Kyabje Pabongka Chocktrul Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari inkarnasi masa kini dari Yang Suci Kyabje Pabongka Rinpoche.
OM AH GURU BENZADHARA SUMATI MUNI SHASANA KARMA SARWA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari Yang Suci Kyabje Trijang Dorje Chang Losang Yeshe Tenzing Gyatso
OM AH GURU BENZADHARA SUMATI JANA SHASANA DHARA SAMUDRA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari Yang Suci Kyabje Zong Dorje Chang Lobsang Tsondrue
OM AH GURU BENZADHARA SUMATI BIRYA MUNI SHASANA DONZA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama Yang Mulia Kyabje Gangchen Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari Yang Mulia Kyabje Gangchen Dorje Chang Lobsang Thubten Trinley Yarphel
OM AH GURU BENZADHARA SUMATI MUNI SHASANE KARMA UTA WARDANYE SHRI BHADRA WARSAMANYA SARVA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama Yang Mulia Tsem Rinpoche
Mantra nama suci untuk mengundang berkat dari Yang Mulia Tsem Rinpoche ke-25 Tenzin Zopa Yonten Gyatso
OM AH GURU KIRTI DAZA SHASANA DARA BIRYA SIDDHI HUNG HUNG
Migtsema (Mantra Lama Tsongkhapa)
MIGMEY TSEWEY TERCHEN CHENREZIG
DRIMEY KHENPI WANGPO JAMPALYANG
DUPUNG MALU JOMZEY SANGWEY DAK
GANGCHEN KEPEY TSU GYEN TSONGKAPA
LOSANG DRAGPEY SHABLA SOLWA DEB
Lama Tsongkhapa’s Name Mantra
OM AH GURU BENZADHARA SUMATI KIRTI SIDDHI HUNG HUNG
Mantra nama panjang umur Tsongkhapa (rje tshe ‘dzin ma)
OM AH GURU SUMATI KIRTI APARAMEDA AYU JANA SIDDHI HUNG HUNG
Mantra Buddha Shakyamuni
OM MUNI MUNI MAHA MUNI SHAKYAMUNI YE SOHA (mantra panjang)
OM MUNI MUNI MAHA MUNI YE SOHA (mantra pendek)
Sumber:
- http://www.khenpo.eu/protect.pdf
- http://www.chinabuddhismencyclopedia.com/en/index.php/
What_are_dharma_protectors%3F - http://www.wildmind.org/mantras/figures/manjushri
- http://www.dharmakeng.co.uk/2015/09/18/magadha-sangmo-%E9%A1%BB%E6%91%A9%E6%8F%90%E5%A5%B3/
- http://www.treasuryoflives.org/biographies/view/Tonmi-Sambhota/P5788
- http://ngalso.org/spiritual-lineage/
- http://www.dorjeshugden.org/overview/the-spiritual-lineage
- http://www.treasuryoflives.org/biographies/view/Takpu-06-Pema-Vajra-Jampel-Tenpai-Ngodrub/4000
- http://www.treasuryoflives.org/biographies/view/Pabongkha-Dechen-Nyingpo/P230
- http://www.dorjeshugden.org/blog/panglung-oracle-in-tibet
- http://www.dorjeshugden.org/overview/the-oracles-of-dorje-shugden
- http://tsegyalgar.org/theteachings/vajradance/
- http://www.dorjeshugden.org/practice/dorje-shugdens-mantra
- http://www.dorjeshugden.org/practice/diamond-path-a-daily-sadhana-of-dorje-shugden
- http://www.dorjeshugden.org/benefits/how-dorje-shugden-helps
- http://www.dorjeshugden.org/practice/the-collected-mantras-of-dorje-shugden
- http://www.dorjeshugden.org/temples/kechara-forest-retreat
Teks Divinasi (‘mo’) oleh Dorje Shugden
Ini adalah teks divinasi/penujuman penting yang ditulis oleh Dorje Shugden sendiri. Dorje Shugden melakukan perasukan pada lama penubuat Choyang Dulzin, penubuat senior di Biara Gaden Shartse, yang kemudian menulis teks ini langsung di tempat dalam waktu dua jam.
Teks divinasi tersebut menyampaikan informasi bagaimana menggunakan dadu untuk melihat ke masa depan dan metode ini dipercayai sangat akurat. Ketika praktisi menggunakan teks ini, mereka akan langsung terhubung dengan Dorje Shugden untuk mendapat jawaban tentang masa depan. Kehormatan ini akan menjadi milik mereka yang mempunyai samaya yang baik dengan Dorje Shugden dan telah terbebas dari delapan dharma duniawi sehingga bisa membawa manfaat bagi orang lain dengan menujum masa depan.
Tsem Rinpoche
Sanggahan: Teks di atas berasal dari pelayanan buku resmi yang menawarkan pengunduhan teks cuma-cuma. Teks di atas tersedia di sini untuk tujuan pendidikan dan non komersial.
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details