Bagaimana Geshe Tsultrim Gyeltsen Merubah Hidup Saya (Bahasa Indonesia)
Dalam hidup, saya sangat beruntung dapat duduk di kaki guru-guru agung dan menerima ajaran dari mereka. Dari 16 guru, saya menghabiskan waktu paling banyak, baik secara pribadi maupun formal, bersama Guru kedua saya, Yang Mulia Geshe Tsultrim Gyeltsen. Dan bila dipikir, saya bertemu dengan Geshe-la karena kebetulan … sekarang ketika mengenangnya, semua seperti mimpi.
Seperti guru saya yang lain, kebaikan Geshe-la kepada saya tak terhingga banyaknya. Melalui Geshe-la, saya bertemu dengan Kyabje Zong Rinpoche, Guru utama saya. Geshe-la juga memperkenalkan saya pada Dorje Shugden. Saya menerima banyak ajaran, penjelasan dan kelas ritual seperti kelas Lamrim setiap hari minggu selama delapan tahun dari Geshe-la. Beliau juga memberikan saya tempat tinggal dan atap di atas kepala saya selama delapan tahun. Tanpa Geshe-la, saya tidak punya rumah. Geshe-la juga mengajarkan bagaimana masak makan siang dalam waktu lima menit saja (saya tidak pernah mendengar tentang mie instan sebelumnya). Geshe-la juga lah yang menasihati saya untuk menelpon ibu angkat saya dan mencoba berdamai dengannya. Jadi saya menerima banyak sekali dari Geshe-la.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saya bertemu dengan Geshe-la secara kebetulan. Setelah saya melarikan diri dari New Jersey ke Los Angeles, keadaan saya lebih tenang dan saya mulai mencari tempat untuk melakukan praktik saya. Berdoa di hadapan altar dan pergi ke wihara adalah sesuatu yang saya rindukan selama berminggu-minggu dan saya berusaha mencari tempat seperti ini. Jadi saya melihat buku telepon – waktu itu belum ada Internet, jadi kita mencari orang di buku telepon – dan saya menemukan tempat bernama Dharmadhatu. Setelah mencatat alamatnya, saya naik bis ke seberang kota dan tiba di depan pintu mereka.
Dharmadhatu menempati sebuah rumah toko yang menghadap ke jalan besar. Saya tidak yakin bila lantai dasar juga ditempati mereka, tetapi yang pasti mereka menempati lantai atas. Jadi saya pergi ke pintu utama di lantai bawah yang diamankan dengan kisi-kisi besi dan menatap tangga. Di atas tangga, ada sebuah tirai pintu bergaya Tibet, menutupi pintu yang terbuka. Angin sepoi sepoi mengepakan tirai tersebut dengan ringannya. Saya memencet bel, dan menggoncang kisi-kisi besi tersebut dan memanggil, “Halo! Halo! Apakah ada orang di sana?”
Saya bisa mendengar suara-suara dari lantai atas dan ada cahaya lampu yang terlihat, tetapi tidak ada orang yang datang membuka pintu masuk walaupun saya membunyikan bel dan mengetuk pintu untuk waktu yang lama. Aneh rasanya. Mungkin mereka sibuk, sedang meeting atau melakukan hal lainnya. Jadi setelah beberapa waktu, saya pikir, “Ok, mereka tidak akan membuka pintu” jadi saya kembali mencari tempat lain di buku telepon. Kemudian saya menemukan “College of Oriental Studies”. Dalam pikiran saya yang tidak berpengalaman, kata ‘oriental’ menandakan mereka punya altar di sana.
Jadi saya pergi ke universitas tersebut dan bertemu dengan seorang pria yang baik hati bernama Dr. Leo Pruden. Sayang sekali sekarang beliau telah meninggal. Dr. Pruden berkata pada saya,
“Kami tidak punya altar di sini karena ini adalah sebuah universitas. Tetapi saya mengenal baik seorang guru dari Tibet. Saya bisa memperkenalkanmu kepadanya bila kamu mau, dan beliau bisa membantumu. Kamu mau?”
Saya senang sekali karena akhirnya, “Saya akan punya tempat untuk berdoa!” Jadi saya segera menerima tawaran Dr. Pruden. Ia mengantarkan saya ke sebuah rumah di St. Andrew’s Place dengan mobilnya. Ternyata rumah ini sebetulnya adalah sebuah wihara bernama Thubten Dhargye Ling (TDL).
Dr. Pruden membawa saya ke dalam dan ketika saya masuk, saya sangat terkesima. Geshe-la berada di ruang tamu yang dirubah menjadi aula mengajar dan berdoa. Beliau duduk dalam posisi meditasi di bawah rupang Lama Tsongkhapa. Beliau sedang bermeditasi dan berlatih. Ada cahaya matahari yang masuk melalui jendela dan di sekitar beliau banyak thangka dan rupang Buddha. Geshe-la seperti mengeluarkan cahaya keemasan, dan saya pikir, “WOW!” Saya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan beliau. Geshe-la terlihat sangat indah, seperti bayangan saya tentang guru agung dari Tibet.
Saya segera bersujud tiga kali, dan kemudian Dr. Pruden memperkenalkan saya pada Geshe-la, “Maaf karena mengganggumu Geshe-la. Saya tidak seharusnya datang hari ini, tetapi saya membawa tamu. Anak muda ini mencari tempat untuk berdoa dan beliau datang ke universitas kami. Kami tidak punya altar di sana, jadi saya berpikir untuk membawa dia kepada anda.”
Kemudian, Dr. Pruden berkata pada saya, “Ok, saya rasa tempat inilah yang kamu cari. Saya pergi sekarang.” Saya sangat berterima kasih pada Dr. Pruden dan menghargai kebaikannya. Saat itu, saya baru berusia 16-17 tahun, masih sangat muda. Geshe-la menyambut saya dan bertanya siapa saya. Saya memperkenalkan diri sebagai murid dari Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin di Howell, New Jersey dan menjelaskan apa yang terjadi dengan keluarga saya dan mengapa saya berada di Los Angeles. Geshe-la menjawab, “Oh, saya kenal Geshe Lobsang Tharchin. Beliau adalah guru yang sangat hebat.” Saya sangat senang mendengar hal ini, ada orang lain yang memuji Guru saya dan hal ini menunjukkan kualitas Geshe-la sendiri, yang tidak memiliki ego dan iri hati. Beliau menghormati guru lain. Memang begitu seharusnya.
Setelah berbincang beberapa saat, Geshe Tsultrim Gyeltsen berkata, “Ok, saya sangat sibuk sekarang jadi tidak bisa berbicara banyak. Tetapi kamu datang pada hari yang baik, kita akan melakukan tsok malam ini.”Saya sangat gembira mendengar hal ini karena sejak saya meninggalkan New Jersey, saya mencari tempat untuk melakukan praktik saya. Saya memiliki komitment pada Kensur Rinpoche ketika saya menerima inisiasi tantra tingkat tinggi dari beliau, dan saya tidak pernah dan tidak bermaksud melanggarnya. Bahkan, saya telah menjaga komitmen ini setiap hari sejak saya menerima inisiasi dari Kensur Rinpoche sekitar 40 tahun yang lalu.
Jadi, saya segera bertanya pada Geshe-la apakah saya boleh bergabung bersama mereka malam itu, bukan sebagai murid beliau, tetapi apakah saya boleh datang dan melakukan tsok. Geshe-la melihat saya dan bertanya, “Kamu tahu bagaimana melakukan tsok?” Saya menjawab “ya,” dan menjelaskan inisiasi yang telah saya terima dari Kensur Rinpoche. Geshe-la berpikir selama sedetik dan berkata, “Ok, kamu boleh datang. Datang malam ini pukul 7.”
Saya tidak mau terlambat, jadi saya segera pulang dan mengambil semua peralatan tsok. Waktu masih menunjukan pukul 3-4 sore dan Geshe-la bilang saya bisa kembali pukul 7 malam, jadi masih ada beberapa jam. Karena tidak punya banyak uang, saya menghabiskan waktu beberapa jam keliling kota. Ketika pukul 7 malam tiba, saya kembali ke wihara dan ketika saya masuk, tempatnya ramai. Ada sekitar 30-40 orang di sana, dan suasananya benar-benar ramai. Ini adalah tempat yang saya cari. Kami melakukan tsok Lama Chopa malam itu. Saya kemudian mendengar banyak orang yang bertanya, “Siapakah anak laki-laki aneh ini? Bagaimana dia belajar mempersembahkan tsok dengan baik?”
Malam itu, saya bertemu dengan semua murid Dharma di TDL. Singkat cerita, salah satu anggota komite sangat menyukai saya dan memutuskan untuk menurunkan sewa kamar kosong yang ada di wihara tersebut untuk saya. Pada saat itu, saya tinggal di rumah Bob, sepupu saya. Bob jauh lebih tua dari saya dan sudah menikah. Dia punya hidup dan urusan sendiri. Jadi Bob sangat baik karena memberikan tempat bagi saya di rumahnya. Tetapi Bob ingin saya hidup mandiri. Saya sendiri selalu ingin tinggal di wihara. Jadi ketika tawaran untuk tinggal di TDL datang, saya segera menerimanya. Saya berhasil mendapatkan pekerjaan di Fotomat dan menyewa kamar di wihara seharga USD 150 per bulannya. Jumlah tersebut sangat besar bagi saya pada saat itu.
Ketika saya memberitahu Bob mengenai rencana pindah ke wihara, ia tidak terkejut. Dia tidak keberatan saya pindah. Tetapi dia menganjurkan saya untuk mencoba hal lain sebelum pindah ke wihara. Pada saat itu, Bob masih berkomunikasi dengan orang tua saya di New Jersey, dan mereka tidak senang mendengar rencana saya pindah ke wihara. Mereka tidak ingin saya mendalami Dharma dan menjadi biksu. Saya rasa mereka berpikir bila saya menderita di Los Angeles dan menemukan banyak kesulitan, saya akan kembali ke New Jersey. Istri Bob, Pauline, adalah seorang wanita Asia yang berasal dari Hong Kong. Ketika saya tinggal di rumah Bob, Pauline memperlakukan saya dengan baik dan memberi banyak nasihat mengenai bagaimana menjalani hidup dan menjadi orang baik. Pauline berlaku seperti kakak yang selalu saya inginkan. Pauline khawatir tentang saya, dan kadang ia memarahi dan menasihati saya. Ia memperlakukan saya seperti kerabatnya. Ketika saya memutuskan pindah dari rumah mereka, Pauline sangat khawatir dan berbicara pada saya. Dia ingin memastikan bahwa pindah ke wihara memang keinginan saya. Saya tidak pernah melupakan kebaikan Pauline ketika saya tidak punya siapa-siapa.
Jadi saya pindah ke wihara, dan mengakhiri semua rencana orang tua saya. Bagi mereka saya selangkah lebih dekat untuk menjadi biksu. Saya mengemas barang-barang saya dalam dua tas – saya tidak punya banyak barang – dan pindah ke wihara. Bagi saya ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan, untuk tinggal bersama guru saya di wihara, di biara – apapun namanya. Kami memiliki ruang doa sendiri di dalam, sebuah gompa dengan thangka dan patung-patung. Biasanya, kecuali ada acara puja, sesi mengajar dan lainnya, hanya ada saya dan Geshe-la di wihara karena hanya kami berdua yang tinggal penuh waktu di sana.
Akhirnya, saya memohon Geshe Tsultrim Gyeltsen untuk menerima saya sebagai muridnya secara formal dan memperbolehkan saya untuk belajar di bawah bimbingannya. Tetapi, sesuai dengan Bait-Bait Pengabdian Pada Guru, saya harus meminta ijin guru pertama saya dulu. Jadi saya menelpon Kensur Rinpoche di New Jersey. Bila Kensur Rinpoche Lobsang Tharchin-la tidak mengijinkan, saya akan pergi. Kita memerlukan berkat dari guru kita untuk melakukan hal-hal spiritual. Bila keadaan tidak memungkinkan bagi kita untuk belajar dari guru kita, kita memerlukan ijin dari beliau untuk belajar dari guru lain. Bila tidak, kita tidak akan bisa mendapatkan pencapaian atau kesadaran yang lebih tinggi. Hubungan spiritual yang baik (samaya) antara guru dan murid sangatlah penting untuk mendapatkan pencapaian dan pandangan yang lebih tinggi, khususnya dalam bentuk meditasi. Memiliki samaya negatif dengan sang guru bukan hanya menghambat pertumbuhan spiritual kita pada umumnya, tetapi setiap hari samaya ini terlanggar, karma negatif yang sangat berat terakumulasi yang suatu hari akan terbuka dan membawa banyak kesulitan. Kesulitan bagi tubuh dan pikiran. Hal ini dijelaskan oleh Vajradhara dan banyak guru-guru India lainnya.
Pertama-tama, saya minta maaf kepada Kensur Rinpoche karena melarikan diri. Saya memberitahu Kensur Rinpoche apa yang terjadi, dimana saya berada dan apa yang saya lakukan. Saya juga berkata bahwa saya tidak pernah ingin meninggalkan beliau tetapi situasi di rumah dan hubungan saya dengan orang tua benar-benar sangat sulit. Jadi saya merasa tidak punya pilihan. Selain itu, orang tua saya juga menyebarkan gosip-gosip yang tidak mengenakan mengenai Kensur Rinpoche, dan saya tidak ingin mereka menyakiti guru saya dengan cara tersebut. Orang tua saya ingin Kensur Rinpoche dideportasi. Saya minta maaf kepada Kensur Rinpoche atas fitnah yang disebarkan oleh orang tua saya. Kensur Rinpoche mendengarkan dengan seksama dan berkata tidak apa. Beliau senang saya berada di tempat yang aman, dan beliau mengerti karena pada kenyataannya, beliau mengetahui bagaimana saya diperlakukan di rumah.
Orang tua angkat saya akan menuduh Kensur Rinpoche memecah belah keluarga karena memperbolehkan saya untuk menghadiri sesi ajarannya. Atas dasar ini, mereka melaporkan beliau agar pemerintah membatalkan visa beliau dan mendeportasinya. Saya tidak bisa membiarkan hal ini terjadi, jadi saya pergi dari rumah. Saya tidak bisa melepaskan praktik Dharma, dan saya juga tidak ingin menjadi sebab orang tua saya menyebabkan kesulitan bagi guru agung seperti beliau. Saya sedih meninggalkan rumah, sahabat dan beberapa kerabat yang saya sayangi. Saya juga harus mencari tumpangan kendaraan pada usia 15 tahun untuk menyeberangi Amerika dari New Jersey ke California. Saya pikir lebih baik saya mati mencari tumpangan daripada tidak bisa melakukan praktik dan belajar Dharma pada saat itu.
Saya menjelaskan pada Kensur Rinpoche bahwa saya tidak bisa kembali ke New Jersey dalam waktu dekat, tetapi saya ingin terus belajar Dharma. Kemudian saya mohon ijin untuk menjadi murid Geshe Tsultrim Gyeltsen. Inilah yang dikatakan Kensur Rinpoche pada saya,
“Kamu benar-benar beruntung bertemu dengan Geshe Tsultrim Gyeltsen yang setara dengan saya. Pengetahuannya sangatlah luar biasa. Kamu harus memperlakukannya seperti kamu memperlakukan saya.”
Saya menutup telepon dan bersujud di hadapan telepon yang saya gunakan untuk berbicara dengan kensur Rinpoche. Saya benar-benar lega. Kensur Rinpoche tidak hanya memberikan ijin bagi saya untuk belajar dengan Geshe Tsultrim Gyeltsen, tetapi cara beliau memberikan ijin benar-benar membuat keyakinan saya pada dirinya menjadi lebih kuat (bila hal ini mungkin!). Kensur Rinpoche tidak memiliki ego ketika saya minta ijin untuk belajar dari guru lain karena situasi yang mengharuskan hal ini. Bila Kensur Rinpoche berkata atau ragu, saya akan segera meninggalkan TDL karena Guru pertama saya tidak memberikan ijin bagi saya untuk tinggal. Saya harus mematuhi guru saya. Beberapa tahun setelahnya, saya akan mengunjungi guru pertama saya di New Jersey beberapa kali. Saya menjaga hubungan saya dengan beliau sebagai sesuatu yang sakral dan berprioritas tinggi. Saya tidak pernah melupakan kebaikannya. Setelah saya pindah ke India, saya juga mengunjungi beliau di Biara Sera tempat beliau berasal. Waktu itu saya tinggal di Biara Gaden, dan saya naik bis selama 16 jam ke Biara Sera untuk mengunjunginya ketika beliau berada di sana.
Tetapi satu-satunya hal yang dipikirkan Kensur Rinpoche adalah saya bisa menerima pendidikan dan praktik Dharma dari guru yang berkualifikasi. Selain itu, Kensur Rinpoche memuji Geshe-la, sesuatu hal yang tidak perlu dilakukannya. Karenanya, keyakinan saya terhadap Geshe-la bertambah dan saya tidak ragu karena guru pertama saya menyuruh saya untuk memperlakukan Geshe-la seperti dirinya. Mulai hari itu, saya tidak pernah meragukan Geshe-la sekalipun karena Guru pertama saya telah memberikan berkatnya. Saya membayangkan kedua guru saya sebagai sati dengan sang Buddha dan menghormati mereka berdua.
Saya segera melaporkan apa yang dikatakan Kensur Rinpoche kepada Geshe-la, termasuk pujian Kensur Rinpoche. Tetapi Geshe-la hanya berkata, “Ok, pergi dan buatkan saya secangkir teh.” Geshe-la suka minum teh India, jadi saya membuatnya berkali-kali setiap hari ketika saya tinggal bersama beliau. Kadang-kadang sampai delapan cangkir sehari. Tetapi ketika saya melaporkan apa yang dikatakan Kensur Rinpoche, beliau tidak bereaksi selain minta secangkir teh. Tidak ada “ceritakan lebih banyak” atau “apa lagi yang dikatakannya”. Keyakinan saya pada beliau berlipat ganda ribuan kali dan saya pikir saya benar-benar telah bertemu dengan guru agung, seseorang yang tidak tertarik dengan Delapan Dharma duniawi. Saya sangat beruntung bisa menjadi murid seorang guru dengan kualitas seperti ini. Wow!
Jadi seperti yang kalian ketahui, alasan saya melarikan diri dari New Jersey adalah karena orang tua angkat saya berusaha keras untuk mencegah saya belajar Dharma. Selama bertahun-tahun tinggal bersama mereka, saya sering dipukul dan dihukum. Hal ini benar-benar menyakitkan secara emosi dan fisik. Setelah keadaan saya lebih tenang, Geshe-la menyuruh saya menelpon ibu di New Jersey dan minta maaf atas segala sakit hati yang saya sebabkan karena melarikan diri. Berusaha membantah nasihat ini, saya berkata pada Geshe-la, “Minta maaf sama dia? Tetapi ibu yang menyiksa dan memukul saya! Saya yang dipukuli, saya yang dibentak, saya yang ditampar, disakiti selama bertahun-tahun!” Saya tidak mencoba berlaku kasar atau tidak hormat pada Geshe-la, tetapi saya tidak mengerti mengapa saya harus minta maaf pada ibu. Dana, ibu angkat saya, memiliki hati yang baik, hangat dan murah hati. Saya sangat mencintai dan merindukan beliau sampai sekarang. Tetapi ibu menderita schizophrenia dan baru ketahuan bertahun-tahun kemudian. Ketika saya masih tinggal di rumah, ibu sering mengalami gangguan emosi karena ayah selalu berselingkuh. Ibu tidak punya tempat untuk melampiaskan sakit hatinya, jadi saya menjadi terkena getahnya. Suasana di rumah sangat tegang, dan saya selalu merasa berada di ujung pisau. Kesalahan sekecil apapun bisa membuat ibu memukuli saya sampai biru lebam. Setelah pulang sekolah, sering saya menemukan piring-piring pecah dan rumah dalam keadaan seperti kapal pecah karena ibu baru menemukan bahwa ayah berselingkuh lagi.
Yang membuat keadaan lebih parah, ibu tidak ingin saya menjadi biksu. Ayah dan ibu ingin saya pergi ke universitas, mendapatkan pekerjaan, menikah dan punya anak. Mereka melakukan banyak hal untuk menghentikan upaya saya untuk belajar dan membaca buku Dharma, pergi ke wihara dan berdoa di New Jersey. Tetapi saat itu, saya tidak tahu ibu menderita schizophrenia atau sejenisnya; yang saya tahu adalah ia memukuli saya.
Jadi ketika Geshe-la meminta saya untuk menelpon ibu dan minta maaf, bisa dibayangkan betapa terkejutnya saya. Geshe-la tetap bersikeras agar saya menelpon ibu dan ketika saya menanyakan alasannya, beliau berkata,
“Karena kamu tidak boleh hanya melihat hal-hal negatif yang dilakukan ibumu – kamu juga harus melihat hal-hal positifnya. Kamu di sini sekarang. Seseorang telah memberimu makan. Seseorang telah memberimu rumah. Kamu ada di sini belajar Dharma hari ini karena kebaikan ibumu. Kamu harus menelponnya dan minta maaf atas hal-hal yang telah kamu katakan padanya dan hal-hal yang kamu pikirkan mengenai dia.”
Saya bertanya pada Geshe-la, “Bagaimana bila ibu menutup telepon?” Geshe-la berkata, “Tidak apa. Setidaknya kamu mencoba. Jadi ketika kamu melakukan sadhanamu, doanya berasal dari hati dan tulus.” Tulus ketika saya melakukan sadhana, doa dan praktik. Dari sisi diri, saya telah berdamai dengan seseorang yang berkonflik dengan saya dan saya telah melepaskan kemarahan saya. Hal ini terlepas dari apakah mereka juga meninggalkan sakit hati mereka. Saya telah menanggalkan rasa marah ini untuk berkembang secara spiritual. Karena saya bukanlah tipe orang yang tidak mematuhi Guru saya, saya menelpon ibu. Saya minta maaf karena melarikan diri, dan sesuai prediksi, dia segera menutup telepon.
Saya pergi untuk melaporkan apa yang terjadi kepada Geshe-la. Kejadian tersebut sangatlah menguras emosi dan sulit bagi saya. Tadinya saya pikir Geshe-la akan berkata “bagus” atau menghibur saya, atau memuji karena saya mematuhi instruksinya, tetapi Geshe-la hanya berkata, “Ok, sekarang buatkan saya secangkir teh.” Saya tercengang sekejap dan pergi membuatkan teh untuk Geshe-la. Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari bahwa bila Geshe-la tidak menyuruh saya menelpon ibu, ada kemungkinan saya akan menyimpan sakit hati untuk waktu yang lama. Walaupun kemarahan saya terhadap ibu wajar karena cara dia memperlakukan saya, Geshe-la mengajarkan bagaimana melepaskan dan memutuskan karma negatif agar saya tidak menyakiti ibu lagi di masa depan. Dan juga agar saya tidak tenggelam dalam rasa sakit, saya harus melepaskan hal ini. Ini adalah nasihat terbaik untuk trauma emosional. Apakah lawan bicaramu melepaskan, mengaku salah atau tidak bukan masalah. Hal ini bukan tentang mereka. Kadang-kadang, orang tersebut telah meninggal, dan kita tidak berkesempatan untuk mendengar maaf dari mereka, tetapi kita harus tetap menyembuhkan diri. Semua ini adalah untuk kesembuhan dan pertumbuhan kita. Jadi ketika kita melepaskan, kita sembuh dan berkembang. Geshe-la, dalam kebijaksanaannya yang tak terbatas, menginstruksikan saya untuk melakukan hal ini, dan saya mematuhinya. Saya tidak usah pergi ke konseling mahal di Amerika untuk mengatasi rasa sakit dan derita dalam diri. Ajaran Buddha sangat cocok untuk keadaan seperti ini, diantara yang lain.
Gesha-la berkata pada saya, “Walaupun kamu tidak berbuat apa-apa sekarang, tetapi pasti kamu sudah berbuat sesuatu di kehidupan sebelumnya untuk mengalami hal ini. Apakah kamu mau menerima karmamu atau tidak.” Beliau mengajar saya untuk tidak memilih-milih ajaran Buddha. Memilih yang mudah dan mengabaikan yang sulit tapi perlu dipraktikkan. “Bila kamu ingin mempraktikkan Dharma; bila kamu ingin mendapatkan pencapaian dan bila kamu ingin maju, kamu harus menerima bahwa ini adalah karmamu. Kamu harus melepaskannya.” Bagi Geshe-la, Delapan Bait Transformasi Pikiran bukanlah sekedar sebuah doa, tetapi sesuatu yang hidup dan harus diterapkan.
Selama delapan tahun, saya tinggal bersama Geshe-la, saya memiliki hak istimewa, kehormatan dan pahala untuk memasak, membersihkan dan melayani guru Kadampa yang agung ini. Sekali lagi, kebanyakan hanya ada kami berdua di wihara karena hanya kami yang tinggal di sana penuh waktu, dan beberapa orang lainnya pergi kerja. Anggota yang lain tinggal dan bekerja di luar, dan datang ke wihara untuk acara-acara, puja-puja dan sesi-sesi ajaran saja. Saya sendiri bekerja di tempat-tempat seperti Fotomat atau kantor properti Fred Sands dan John Douglas. Kemudian saya kembali untuk masak makan malam, dan kadang-kadang makan siang, untuk Geshe-la. Saya tinggal di lantai bawah, dan Geshe-la tinggal di lantai atas. Setiap hari, saya memiliki kesempatan mengumpulkan pahala dengan membersihkan kamar Geshe-la, membuat teh sampai delapan kali sehari – Geshe-la sangat menyukai teh – mencuci pakaiannya, membersihkan aula meditasi (gompa), berbelanja dan pada dasarnya memelihara rumahnya. Kadang-kadang Geshe-la pergi keluar, dan saya mendapatkan kehormatan untuk menemaninya dan membawa barang-barangnya.
Geshe-la juga yang mengajarkan saya membuat torma. Beliau menunjukan bahan-bahan yang digunakan, bentuk torma yang harus dibuat dan saya menghafalnya. Geshe-la hanya menunjukkan pada saya sekali dan setelahnya, saya bertanggung jawab untuk membuat semua torma yang diperlukan untuk puja, termasuk untuk kangsol Dorje Shugden setiap bulannya. Saya harus pergi berbelanja untuk membeli jelai, memanggangnya, menggilingnya untuk membuat tsampa (tepung jelai yang dibakar) untuk torma. Bukannya seperti sekarang, anda bisa pergi ke supermarket dan membelinya. Dulu, kita harus melakukan semuanya sendiri. Bila saya tidak memperhatikan dengan baik, jelainya akan hangus. Kemudian saya harus mulai lagi dari awal, dan menghabiskan lebih banyak waktu. Beberapa dari torma yang saya buat tidak terlalu bagus dan terlalu lembek dan miring, terlalu kering dan retak, atau tingginya berbeda-beda. Tetapi Geshe-la tidak pernah menegur karena beliau tahu saya membuat torma-torma ini dengan tulus dan semampu saya. Kadang-kadang ketika membuat torma, saya tidak sengaja menorehkan warna merah pada torma putih. Dan shoot! Saya harus mulai lagi dari awal. Torma harus dibuat sesempurna mungkin sesuai kemampuan saya karena mereka adalah persembahan untuk para Buddha.
Jadi pada hari-hari diadakannya puja, saya akan terburu-buru. Saya akan pergi kerja, membeli bahan-bahan torma, kembali ke wihara, membuat torma, menyiapkan puja, dan masak makan siang untuk Geshe-la dan saya sendiri. Pada hari-hari seperti ini biasanya saya benar-benar sibuk. Seperti biasa, hanya ada saya dan Geshe-la di wihara. Geshe-la kemudian berkata, “Ok, saya akan mengajarimu membuat makan siang dalam lima menit.” Saya menatap tidak percaya. Bukannya saya meragukan Geshe-la tetapi saya berpikir bagaimana mungkin membuat makan siang dalam lima menit. Saya tidak pernah mendengar hal seperti ini.
Jadi Geshe-la membawa saya ke dapur. Beliau memotong sayur seperti tomat, bawang dan bunga kol, dan melemparnya ke panci kecil. Kemudian beliau memasukan mie dan bumbu dari paket. Lima menit kemudian, makan siang sudah siap! Saya sangat terkejut karena tidak pernah melihat hal seperti ini. Geshe-la tentu saja mengenal mie instan ketika tinggal di pemukiman pengungsi di India. Kemudian Geshe-la berkata, “Ok, sekarang kamu bersih-bersih” dan beliau naik ke lantai atas untuk makan, dan saya tinggal untuk membersihkan dapur. Jadi banyak sekali momen-momen pribadi yang saya alami bersama Geshe-la, ketika kami hanya tinggal berdua.
Banyak sekali ajaran yang diberikan Geshe-la kepada kami, tetapi Geshe-la tidak pernah memberi kami inisiasi. Kata Geshe-la selama Guru beliau Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche masih hidup, kami harus mendapatkan inisiasi dari Kyabje Zong Rinpoche dan tidak perlu bagi Geshe-la untuk memberikannya. Bukannya Geshe-la tidak berkualifikasi untuk memberikan inisiasi, tetapi selama Gurunya masih ada, Geshe-la selalu merujuk pada beliau. Geshe-la sangat rendah hati dan mengabdi pada Gurunya.
Setelah kunjungan Kyabje Zong Rinpoche di wihara selesai, Geshe-la memberikan penjelasan lengkap mengenai inisiasi yang kami terima dan mengajarkan ritual dan meditasi terkait dengan inisiasi-inisiasi tersebut. Contohnya, kami menerima sogtae Dorje Shugden (inisiasi mempercayakan hidup) dari Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche. Tetapi yang mengajarkan mengenai latar belakang, sejarah, garis dan asal muasal Dorje Shugden adalah Geshe-la. Beliau menggunakan teks Yang Suci Kyabje Trijang Rinpoche “Musik yang Menyenangkan Samudera Pelindung”. Dan setiap minggu selama bertahun-tahun, Geshe-la mengajarkan Tahapan Menuju Pencerahan dari Lamrim. Beliau mengajarkan bahwa transformasi itu berasal dari cinta kasih, dan bila kita tidak berubah, berarti cinta kasih kita kurang dan hal ini tidak akan membuat kita bahagia. Geshe-la juga mengajarkan bahwa semakin besar cinta kasih yang kita miliki untuk orang lain dan diri sendiri, semakin mudah bagi kita untuk bertransformasi.
Pada saat tinggal bersama Geshe-la, saya pernah dimarahi oleh beliau beberapa kali. Saya tahu pada saat-saat seperti ini ada orang yang berpikir kelakuan Geshe-la tidak beralasan atau terlalu keras pada saya, tetapi Geshe-la adalah praktisi yang sebenarnya. Beliau hanya tertarik untuk untuk memberi manfaat bagi orang lain walaupun hal ini mungkin mempengaruhi reputasinya.
Pada suatu kesempatan, kami sedang menunggu kunjungan Yang Suci Gaden Tri Rinpoche ke 98 Jetsun Jamphel Shenphen. Sebelum Gaden Tri tiba di wihara kami di La Cienega, saya susunan altar yang tidak benar. Wihara kami telah dibersihkan dari atas sampai bawah agar dalam keadaan paripurna ketika Gaden Tri Rinpoche berkunjung, tetapi ada orang, siapapun itu, yang meletakan teks Dharma di posisi lebih rendah daripada rupang-rupang di altar.
Saya memutuskan mengambil sebuah kursi dari dapur, memanjat dan menyusun kembali altar tersebut dengan meletakan teks Dharma di tempat yang lebih tinggi. Geshe-la kebetulan lewat ketika saya sedang melakukan hal ini dan melihat kursi-kursi yang berserakan. Ada juga benda-benda yang dipindahkan dari altar. Pada saat itu, ada sekitar 20-25 orang di sana. Geshe-la segera menunjukan tanda-tanda tidak senang dan bertanya siapa yang melakukan semua ini. Saya mengaku. Di depan semua orang, Geshe-la memarahi saya dan berkata, “Siapa yang menyuruhmu melakukan ini? Saya tidak pernah menyuruhmu melakukan seperti ini. Gaden Tri Rinpoche akan segera tiba.” Gaden Tri Rinpoche benar-benar akan segera tiba, dan Geshe-la tidak ingin Gaden Tri Rinpoche masuk ke wihara dan melihat altar yang berantakan, kursi-kursi berserakan di gompa, dan ada orang yang berdiri di atas kursi menyusun altar, dan benda-beda berserakan.
Saya sangat malu ketika dimarahi Geshe-la. Tetapi saya segera mengembalikan barang-barang ini ke tempat semula dan membawa kursinya ke dapur. Ketika saya kembali, saya bersujud tiga kali pada Geshe-la dan minta maaf.
Kemudian ada orang yang menelpon bahwa Gaden Tri Rinpoche akan datang terlambat. Geshe-la datang dan berkata pada kami semua, “Sebenarnya teks Dharma harus diletakan di tempat tertinggi. Burcha benar. Tetapi saya tidak mau Gaden Rinpoche masuk dan melihat barang-barang berserakan”. Kemudian Geshe-la menyuruh kami untuk untuk mengembalikan susunan altar seperti rencana saya sebelumnya. Geshe-la sangat tidak senang dengan kejadian tersebut dan saya sangat takut. Saya pikir, “Saya akan melakukan apapun yang Geshe-la inginkan karena beliau pasti punya alasan sendiri.” Tetapi saya senang karena saya tidak berpikir buruk atau melawan. Bertahun-tahun saya tinggal bersama Geshe-la, saya tidak pernah melawan atau membantah. Saya berusaha mengikuti teks Pengabdian Pada Guru sebaik mungkin.
Saya tahu banyak orang di wihara yang menjelek-jelekan Geshe-la dan berbisik di belakang beliau. Saya tidak akan mengulang apa yang mereka katakan di sini karena hal tersebut tidak benar. Tetapi saya tahu mereka melakukan hal ini karena kadang-kadang ketika saya mencuci piring di dapur setelah makan malam atau membersihkan dapur dan menyimpan barang-barang, mereka akan mendekati saya dan mulai berbicara atau mencoba untuk melibatkan saya dalam perbincangan ini. Menurut ajaran Pengabdian pada Guru, setelah anda berlindung pada seorang guru, anda tidak boleh menjelek-jelekan atau berpikiran buruk mengenai beliau. Bahkan, anda tidak boleh berasosiasi dengan orang-orang yang menjelek-jelekan Guru anda, apalagi duduk dan bergosip bersama mereka, karena mereka bisa mempengaruhi latihanmu bila anda tidak terlalu kuat. Peraturan ini bukan dari saya, melainkan dari kode tantra dan Bait Pengabdian pada Guru. Jadi dengan sopan dan tegas, saya menyampaikan bahwa saya tidak tertarik dengan apa ingin mereka katakan. Saya rasa mereka tidak senang mendengarnya, tetapi saya telah mengambil sumpah perlindungan dengan Geshe-la dan menerima ajaran dari beliau. Walaupun saya masih muda dan suka bermain seperti remaja lainnya, saya sangat serius dengan hal-hal yang berkaitan dengan praktik Dharma khususnya Pengabdian Pada Guru. Saya sangat teguh dan serius mengenai hal ini. Pada kenyataannya, Geshe-la adalah Guru saya.
Ketika Geshe-la bersama kami, beliau adalah guru kami, tetapi di hadapan Kyabje Zong Rinpoche, Geshe-la berlaku seperti murid yang baik. Beliau menurut, rendah hati dan berlaku sesuai dengan 50 Bait Pengabdian pada Guru. Bila Kyabje Zong Rinpoche tidak menyuruhnya untuk duduk, beliau akan tetap berdiri dan tidak akan duduk sampai diminta untuk duduk. Kadang-kadang, Kyabje Zong Rinpoche lupa menyuruh Geshe-la duduk, jadi Geshe-la akan tetap berdiri selama berjam-jam, kedua tangannya tergenggam di depannya dan kepalanya sedikit menunduk, mendengarkan Kyabje Zong Rinpoche dengan serius. Beliau akan mengangguk dari waktu ke waktu dan berkata ‘ya’ untuk menanggapi Kyabje Zong Rinpoche, dan beliau akan terus seperti ini, tidak bergerak dan tidak gelisah selama berjam jam.
Beberapa orang mungkin berkata bahwa sikap seperti ini adalah fanatik, tetapi bila anda membaca cerita guru-guru agung dari India dan Tibet yang berpencapaian, anda akan menemukan persamaan mereka, Pengabdian Pada Guru yang besar. Contohnya, Naropa kepada gurunya, Tilopa; Milarepa kepada gurunya, Marpa; dua bersaudari Mekhala dan Kanakhala kepada guru mereka Krsnacharya, atau murid seperti Shunsep Jetsun dan Nangsa Obum – ada banyak sekali contoh untuk menunjukan pencapaian tidak tidak bisa dicapai tanpa Pengabdian pada Guru. Bila seseorang memiliki Pengabdian pada Guru yang besar, ini adalah pertanda bahwa mereka memiliki pencapaian atau akan mendapatkan pencapaian. Mengapa? Pengabdian pada Guru, sebenarnya bukanlah bersujud di kaki gurumu atau melayani, mencuci baju atau memasak untuk beliau. Semua ini hanyalah ekspresi luar tindakan Pengabdian pada Guru. Pengabdian pada Guru yang sebenarnya berasal dari dalam diri, yaitu transformasi. Pengabdian pada Guru sebenarnya adalah kondisi pikiran yang ingin kita capai, yang direfleksikan dalam bentuk Guru kita. Seberapa besar pengabdianmu pada sang Guru adalah seberapa besar perubahanmu sejak pertama kali bertemu dengan beliau. Bila anda tidak berubah banyak, maka anda harus melakukan refleksi diri untuk mencari sebabnya dan melakukan sesuatu mengenai hal ini.
Saya hanya ingin berbagi cerita ini kepada anda. Cerita bagaimana saya bertemu dengan Geshe Tsultrim Gyeltsen dan tinggal di Thubten Dhargye Ling selama delapan tahun, sampai saya meninggalkan Los Angeles untuk pergi ke India dan menjadi biksu. Saya tiba di Thubten Dhargye Ling karena Dharmadhatu tidak membukakan pintu mereka; karena Dr. Leo Pruden berbaik hati pada seorang remaja dan mengantarnya ke wihara dan bukan mengusirnya; karena Geshe Tsultrim Gyeltsen mengijinkan saya untuk tinggal di wihara. Bahkan Geshe-la bisa mendapatkan masalah karena saya belum berusia 18 tahun waktu itu dan secara teknis masih di bawah umur, tetapi Geshe-la mengambil resiko dan membiarkan saya tinggal. Beliau membimbing, merawat dan memberikan saya pengetahuan yang luar biasa banyaknya. Saya bisa membagikan pengetahuan ini pada orang lain dan memberi manfaat bagi mereka sampai hari ini. Dari Geshe-la atau melalui koneksi Geshe-la, saya menerima semua ajaran dan pengetahuan mengenai Dorje Shugden yang sekarang saya sampaikan pada orang lain. Jadi mungkin cerita ini bisa memberi manfaat pada beberapa orang untuk belajar dari pengalaman saya bersama Geshe-la dan waktu yang saya habiskan di TDL. Geshe-la telah menyentuh hidup saya dan bantuannya tak terhingga banyaknya, dan saya akan selalu bersyukur kepadanya.
Tsem Rinpoche
Yang Mulia Geshe Tsultrim Gyeltsen
Yang Mulia Geshe Tsultrim Gyeltsen adalah pendiri dan direktur spiritual wihara Thubten Dhargye Ling. Beliau lahir pada tahun 1924 di provinsi Kham di Tibet Timur. Orang tuanya menamakan beliau Jamphel Yeshe dan pada usia muda, beliau terinspirasi oleh contoh pamannya yang menjadi biksu di biara setempat. Ketika berusia tujuh tahun, dengan persetujuan keluarganya, beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan monastik. Selama sembilan tahun, beliau mempelajari sutra dan tantra dan menerima ajaran mengenai dialektika di bawah bimbingan Geshe Jampa Thaye, seorang guru terkemuka dari Biara Sera.
Ketika berusia enam-belas tahun, Geshe Gyeltsen memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Lhasa, ibu kota Tibet dan mendapatkan gelar Geshe dari Biara Sera. Gelar Geshe di sekolah Gelug adalah sebanding dengan gelar Doktor dalam bidang Filosofi Buddhis. Perbedaannya adalah biasanya dibutuhkan sekitar 20 tahun untuk mendapatkan gelar Geshe.
Geshe-la melakukan perjalanan selama 33 hari dan melewati 25 gunung bersama rombongan 15 pedagang dan peziarah. Di dekat Lhasa, mereka berhenti dekat Biara Gaden dimana beberapa biksu mengundang Geshe-la untuk minum teh pada hari berikutnya. Pada pagi berikutnya, Geshe-la mendaki bukit menuju Gaden, dan beliau melihat biara besar ini untuk pertama kalinya seolah menyentuh langit. Geshe-la meneteskan air mata kebahagiaan dan tanpa ragu di tempat inilah, dan bukan Sera, beliau akan melanjutkan pendidikannya. Hari tersebut adalah perayaan tercerahkannya Lama Tsongkhapa. Pada malam hari, persembahan cahaya dari lampu mentega dan suara pelafalan doa memenuhi setiap ruangan di biara. Geshe-la sangat tersentuh dengan suasana spiritual ini.
Geshe-la bergabung dengan universitas Shartse, salah satu dari dua universitas di Biara Gaden. Kepala biara saat itu adalah Kyabje Zong Rinpoche yang menaruh perhatian khusus pada kemajuan biksu muda ini. Geshe Gyeltsen belajar logika, kebijaksanaan, kasih, etika, fenomenologi, dan pelatihan pikiran di Gaden selama duapuluh tahun dan kemudian menjadi guru bagi para biksu yunior.
Setelah Pemberontakan Tibet pada tanggal 10 Maret 1959, berita Dalai Lama telah meninggalkan Tibet sampai di Gaden. Geshe-la dan enam biksu lainnya meninggalkan biara setelah sesi doa malam hari dan berangkat ke India dengan menyeberangi pegunungan Himalaya; mereka menjadi bagian dari exodus massal yang melarikan diri dari tekanan penjajah China. Geshe-la adalah salah satu dari sedikit biksu senior yang berhasil melarikan diri dari 20,000 biksu yang hidup di Gaden, Sera dan Drepung, tiga biara terbesar di Tibet pada saat itu.
Geshe Gyeltsen, bersama dengan lima puluh biksu terhormat dari masing-masing biara, bermukim di Dalhousie di India utara dimana beliau belajar selama dua tahun sebelum mengambil ujian Geshe. Ujian ini dihadiri oleh para guru dari semua sekolah Buddhisme Tibet. Minggu terakhir ujian diadakan di Dharamsala dimana Geshe-la terlibat dalam sesi debat intensif di bawah pengawasan Dalai Lama dan dua guru seniornya, almarhum Ling Rinpoche dan almarhum Kyabje Trijang Rinpoche. Beliau lulus dengan sangat baik dan mendapatkan gelar tertinggi Lharampa Geshe.
Pada tahun 1963, Geshe-la berkunjung ke Sussex, Inggris Raya untuk mengajar di Pestalozzi International Children Village. Beliau tiba bersama 22 anak-anak yatim-piatu dari Tibet atau anak-anak yang orang tuanya masih tinggal di Tibet. Selama tujuh tahun, Geshe-la mengajar anak-anak ini menulis, tata bahasa, budaya dan filosofi Buddhis.
Geshe Gyeltsen datang ke Amerika Serikat pada tahun 1976 dan sempat mendapat posisi mengajar meditasi dan bahasa Tibet di USC, UC Santa Barbara dan UCLA. Mahasiswa/i yang diajarnya meminta beliau membuka pusat mengajar dan pada tahun 1978, Geshe-la mendirikan sebuah pusat untuk belajar Buddhisme di Los Angeles.
Geshe-la meminta agar Yang Suci Dalai Lama memberi nama tempat ini. Yang Suci menamakannya Thubten Dhargye Ling, yang berarti, Tempat Dharma Berkembang. Thubten Dhargye Ling sekarang berlokasi di Long Beach dimana tradisi mengajar Geshe Gyeltsen berlanjut melalui berbagai kelas meditasi, retret dan perayaan hari keagamaan dan sesi mengajar mingguan menurut teks Buddhis tradisional.
Geshe Gyeltsen juga menulis buku “Compassion: The Key to Great Awakening,” sebuah penjelasan tentang Delapan Bait Latihan Pikiran dan Tigapuluh tujuh Praktik Bodhisattva dan sebuah buku cuma-cuma “Mirror of Wisdom”. Beliau juga mendirikan mendirikan wihara di Colorado dan Texas dan ada murid-muridnya yang berdomisili di Mexico, Alaska, Omaha dan Inggris Raya. Geshe-la terlibat dalam Buddhist Sangha Council di California Selatan, sebuah kelompok yang mewakili berbagai negara Buddhis untuk mempelajari Budaya Buddhis. Beliau juga aktif dalam mempromosikan hak asasi manusia, otonomi untuk warga Tibet. Salah satu tujuannya adalah memajukan Pendidikan dan ajaran keagamaan di komunitas Tibet di seluruh India.
Geshe Gyeltsen dikenal karena kepribadiannya yang hangat dan pengasih. Akan tetapi beliau sangat tradisional dan tidak berkompromi dalam mengajar Dharma. Kekuatan, visi dan pengabdiannya pada praktik yang dilakukannya melampaui waktu dan budaya, dan beliau terus menginspirasi murid-muridnya dengan warisan yang dibawanya dari Tibet.
Geshe-la meninggal dunia pada tanggal 13 Februari 2009 dan sangat dirindukan oleh semua murid dan sahabatnya.
Sumber: https://gstdl.org/teacher
Foto dan Video Geshe-la
Di bawah ini adalah beberapa foto dan video Geshe-la, saya sangat merindukan beliau. Setelah praktik Dorje Shugden dilarang, saya tidak bisa berbicara dengan beliau lagi, tetapi saya tahu bahwa Geshe-la tidak pernah melupakan saya. Saya mengetahui hal ini dari beberapa murid beliau. Bila saya berbicara dengan Geshe-la, maka Pemerintah Tibet di pengasingan akan membuat masalah bagi beliau. Alasannya Geshe-la mempraktikkan Dorje Shugden diam-diam, sementara saya memutuskan untuk melakukan praktik ini secara terbuka. Jadi pada tahun 1996, ketika pemerintah Tibet memproklamasikan larangan untuk mempraktikkan Dorje Shugden, banyak orang yang tetap melakukan praktik ini secara diam-diam. Saya sendiri sempat melakukan hal yang sama, tetapi kemudian memutuskan untuk tidak merahasiakannya. Geshe-la tidak pernah mengatakan hal-hal negatif mengenai Dorje Shugden.
Tidak ada kebebasan di pemukiman Tibet di India berlawanan denga napa yang ‘dipromosikan’ di Barat. Pemerintah Tibet di pengasingan dan ‘peraturan’ mereka atas pengungsi Tibet di India dan Nepal sangat jauh dari metode utopia Shangri-la yang mereka gambarkan. Kabarnya, banyak orang Tibet yang kecewa dengan pemimpin mereka. Saya pernah tinggal di sana jadi saya mengetahui hal ini. Banyak biksu dan orang awam yang pergi karena pemerintah Tibet terlalu ketat dalam mengatur mereka. Sekarang ini, masih banyak orang yang memutuskan pergi. Geshe-la memasuki cahaya jernih pada tanggal 13 Februari 2009 dan menyelesaikan meditasinya tiga hari kemudian, pada tanggal 16 Februari sekitar pukul 4 sore. Reinkarnasinya telah ditemukan dan diakui oleh Yang Suci Dalai Lama ke 14, seperti yang bisa kalian saksikan di video di bawah ini.
Pelepasan dan enam alam
oleh Yang Mulia Geshe Tsultrim Gyeltsen
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/GTGRenunciation.mp4
Karma, asal-muasal penderitaan dan jalan menuju pencerahan
Oleh Yang Mulia Geshe Tsultrim Gyeltsen
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/GTGKarmaSuffering.mp4
A short interview
with Ven. Geshe Tsultrim Gyeltsen
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/GTGInterview.mp4
Yang Suci Kyabje Zong Rinpoche menjelaskan
Manfaat dan Inisiasi Dorje Shugden
Kyabje Zong Rinpoche adalah cendekiawan terkemuka, ahli ritual dan praktisi dari tingkat tertinggi di Tibet. Atas permintaan Geshe Tsultrim Gyeltsen, salah satu pelopor yang mengajar Buddhisme Tibet di Amerika, Kyabje Zong Rinpoche memberikan penjelasan dan nasihat mengenai inisiasi kepercayaan hidup Dorje Shugden dan bagaimana melakukan dan mendapatkan manfaat maksimum dari praktik ini.
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/ZongRinpocheConfersDorjeShugdenInitiationSubtitle.mp4
Yang Suci Dalai Lama ke 14 memotong rambut
Inkarnasi Geshe Tsultrim Gyeltsen
Inkarnasi Geshe-la sepertinya tidak senang dengan Yang Suci Dalai Lama bila anda melihat video ini. Tidak biasanya. Kebanyakan inkarnasi sangat senang bertemu dengan Dalai Lama lagi.
Or view the video on the server at:
https://video.tsemtulku.com/videos/HHDLGTGHaircutCeremony.mp4
Untuk membaca informasi menarik lainnya:
- Biografi Singkat Tsem Rinpoche Dalam Foto (Bahasa Indonesia)
- Pertanyaan Mengenai Rasa Cemburu (Bahasa Indonesia)
- 35 Buddha Pengakuan (Bahasa Indonesia)
- Ritus Berlian: Sadhana Harian Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden – Pelindung Masa Kini (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Gyenze untuk Memperpanjang Umur, Meningkatkan Pahala dan Kekayaan (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Shize: Sebuah Praktik Untuk Penyembuhan dan Umur Panjang (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Wangze untuk Anugrah Daya Kuasa dan Pengaruh (Bahasa Indonesia)
- Dorje Shugden Trakze Untuk Menghalau Gangguan Ilmu Hitam & Makhluk Halus (Bahasa Indonesia)
- Proyek Pembangunan Stupa Relik Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- ALBUM: Upacara Parinirwana Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Lengkap) (Bahasa Indonesia)
- Parinirwana dari Yang Mulia Kyabje Tsem Rinpoche (Bahasa Indonesia)
- Dinasti Shailendra: Leluhur Buddhisme Mahayana di Indonesia (Bahasa Indonesia)
- Sebuah Doa Singkat Kepada Dorje Shugden (Bahasa Indonesia)
- Yang Mulia Dharmaraja Tsongkhapa (Bahasa Indonesia)
- Kyabje Zong Rinpoche: Kelahiran, Kematian & Bardo (Bahasa Indonesia)
Please support us so that we can continue to bring you more Dharma:
If you are in the United States, please note that your offerings and contributions are tax deductible. ~ the tsemrinpoche.com blog team
DISCLAIMER IN RELATION TO COMMENTS OR POSTS GIVEN BY THIRD PARTIES BELOW
Kindly note that the comments or posts given by third parties in the comment section below do not represent the views of the owner and/or host of this Blog, save for responses specifically given by the owner and/or host. All other comments or posts or any other opinions, discussions or views given below under the comment section do not represent our views and should not be regarded as such. We reserve the right to remove any comments/views which we may find offensive but due to the volume of such comments, the non removal and/or non detection of any such comments/views does not mean that we condone the same.
We do hope that the participants of any comments, posts, opinions, discussions or views below will act responsibly and do not engage nor make any statements which are defamatory in nature or which may incite and contempt or ridicule of any party, individual or their beliefs or to contravene any laws.
Please enter your details